TintaSiyasi.com -- Banyaknya Insfraktruktur yang dibangun bukan sebuah tolak ukur keberhasilan suatu negera. Dibalik insfraktruktur yang megah ada rakyat kecil yang disuruh berbenah. Maraknya kegagalan dari beberapa proyek menjadi kontroversi diberbagai kalangan.
Kritik tajam turut disampaikan Wakil Ketua Umum DPP Partai Demokrat, Benny K. Harman. Dia bertanya-tanya tentang efektivitas penggelontoran dana sebesar Rp 9,1 triliun tersebut. ‘’Kalau tidak ada penumpang, untuk apa dibangun? Bukan kah proyek itu dibuat untuk meengatasi masalah rakyat?’’ tanyanya lewat akun Twitter pribadi, Minggu (23/10).
Kritik terhadap pembangunan light rail transit atau LRT di Palembang kian marak usai Gubernur Jawa Barat, Ridwan Kamil blak-blakan menyebut proyek tersebut salah perencanaan. ‘’Saya kasih tahu kegagalan decision Rp 9 triliun itu LRT Palembang. Decision based-nya political decision, not planning decision. Ini karena mau ada Asian Games harus ada koneksi dari Palembang ke Jakabaring,’’ ujarnya di Fablab Correctio Jababeka, Cikarang, Jumat lalu (21/10). (Gelora Media, 23/10/22).
Proyek Kereta Cepat Jakarta Bandung menjadi salah satu perpanjangan investasi Cina melalui proyek Belt & Road Initiative. Di sejumlah Negara, proyek yang dibiayai BRI menuai Kontroversi. PT Kereta Cepat Indonesi China (KCIC) terus mengejar pembangunan Kerete Cepat Jakarta Bandung yang berkali-kali menuai persoalan. Salah satu masalah krusial yakni pembengkakan anggaran yang akhirnya memaksa pemerintah merogoh APBN untuk membiayainya. (Kadata.co.id, 19/10/22).
Proyek Ambisius Sekedar Pencitraan dan Menambah Beban Negara
Lintas Rel Terpadu atau LRT dan Kereta Api Cepat menambah deretan proyek yang tidak membawa manfaat optimal dan maksimal untuk rakyat. Dana besar namun tak membuat rakyat makin mudah dan nyaman hidupnya. Proyek Kereta Cepat yang anggarannya membengkak puluhan triliun, ternyata China (China Development Bank) yang meminta Indonesia menalanginya melalui APBN dan parahnya adalah proyek tersebut tidak pernah murni bersatus Bussiness To Bussines atau b2b yang seratus persen dikelola swasta tetapi juga dibantu oleh BUMN, otomatis ketika rugi maka Negara juga yang akan menanggung.
Adanya sistem yang selalu memaksakan banyaknya pengadaan proyek di Indonesia sangat jelas bahwa hal itu hanyalah demi ambisi para investor dan ambisi kekuasaan. Sistem yang hanya melahirkan para wakilnya yang tidak mampu menyerap aspirasi rakyat yang sesungguhnya, tetapi lebih mementingkan mereka yang menanam saham kekuasaan.
Islam Mengatur Pengadaan Proyek Sesuai Kebutuhan Negara
Dalam islam insfrastruktur dari sisi kepemilikan dibagi menjadi tiga jenis, insfrastruktur milik umum, insfrastruktur milik Negara dan insfrastruktur yang bisa dimiliki individu. Dalam sistem ekonomi Islam, insfrastruktur yang masuk kategori milik umum harus dikelola oleh Negara dan dibiayai dari dana milik umum. Bisa juga dari dana milik Negara, tetapi Negara tidak boleh mengambil keuntungan dari pengelolaanya.
Dari sisi jangka waktu pengadaannya insfrastruktur dalam islam dibagi menjadi dua jenis, insfrastruktur yang sangat dibutuhkan oleh rakyat dan menundanya akan menimbullkan bahaya atau dharar bagi umat. Insfrastruktur yang dibutuhkan tetapi tidak begitu mendesak dan masih bisa ditunda pengadaanya. Insfrastruktur kategori yang kedua tidak boleh dibangun jika Negara tidak memiliki dana sehingga tidak dibolehkan pembangunan insfrastruktur tersebut dengan jalan utang dan pajak. Jadi hanya boleh dibangun ketika dana APBN atau Baitul Mal mencukupi.
Adapun infrastruktur kategori yang pertama, tanpa memperhatikan ada atau tidak ada dana APBN atau Baitul Mal, harus tetap dibangun. Jika ada dana APBN atau Baitul Mal maka wajib dibiayai dari dana tersebut. Akan tetapi, jika tidak mencukupi maka negara wajib membiayai dengan memungut pajak (dharîbah) dari rakyat. Jika waktu pemungutan dharîbah memerlukan waktu yang lama, sementara infrastruktur harus segera dibangun, maka boleh negara meminjam kepada pihak lain. Pinjaman tersebut akan dibayar dari dana dharîbah yang dikumpulkan dari masyarakat. Pinjaman yang diperoleh tidak boleh ada bunga atau menyebabkan negara bergantung kepada pemberi pinjaman.
Oleh: Nurhayati, S.Ak.
Sahabat TintaSiyasi
0 Comments