TintaSiyasi.com -- Tergelitik hati ketika membaca sebuah artikel yang memberitakan terkait pernyataan Presiden Joko Widodo yang menyampaikan kriteria seorang pemimpin.
Dilansir dari detiknews.com, Sabtu, 26 November 2022, dalam acara Gerakan Nusantara Bersatu yang digelar di Gelora Bung Karno, Jakarta.
Disebutkan bahwa Presiden Joko Widodo menyampaikan terkait ciri-ciri pemimpin yang memikirkan rakyat.
Menurutnya pemimpin yang memikirkan rakyat itu rambutnya memutih dan ada kerutan di wajahnya. Dengan kata lain kriteria seorang pemimpin itu terlihat dari penampilannya.
Tapi apakah benar ciri-ciri seorang pemimpin itu bisa dikenali dari penampilannya? Bukankah kebanyakan kita tertipu oleh sebuah penampilan?
Sebagai contoh orang yang penampilannya terlihat rapih, perlente, mengendarai mobil yang mentereng tapi ternyata dia seorang perampok. Seperti kasus sambo kemarin, dia seorang Jenderal bintang dua, punya kekayaan melimpah bahkan bisa dikatakan dia memiliki segalanya tapi ternyata dia seorang pejahat kelas kakap dengan kasus kejahatan yang mengerikan.
Lalu bisakah kita menjamin seorang pemimpin akan memikirkan, mengurusi dan mengayomi rakyatnya hanya karena dia memiliki penampilan rambut putih dan wajah berkerut?
Sungguh rendah kriteria seorang pemimpin sebuah negara jika hanya dinilai dari segi ini. Kalau parameter ini yang digunakan maka tidak akan ada aturan yang baku terkait kriteria seorang pemimpin, cukup hanya menilai dari penampilan rambut dan wajah. Lalu apa bedanya dengan pemilihan ratu kecantikan yang juga berpatokan pada penampilan fisik.
Begitulah jika sebuah negara tidak dibangun di atas pondasi sebuah ideologi yang benar, standar dalam menilai sesuatu hanya berdasarkan buah pikir dan buah rasa manusia.
Sebagaimana aturan yang tengah diterapkan saat ini yang lebih mengagungkan buah pikir manusia yaitu sistem sekuler yang meniadakan peranan pencipta dalam kehidupan manusia.
Padahal manusia sendiri merupakan makhluk yang lemah, jangankan mengatur makhluk hidup yang sekian banyaknya, mengatur dirinya sendiri pun manusia tidak akan mampu.
Oleh karena itu kriteria mencari calon pemimpin tidak bisa disandarkan pada rasa dan buah pikir manusia tapi harus disandarkan pada aturan, yang berasal dari pencipta manusia itu sendiri yaitu Rabb Penguasa Alam Semesta, Allah Subhanahu Wa Ta'ala.
Kebenaran aturan itu pun bisa difahami oleh manusia melalui risalah yang dibawa oleh para utusan Allah yaitu berupa Al-Qur'an dan Al-Hadits sehingga aturan itu memberikan ketentraman dan sesuai dengan fitrah manusia.
Kriteria Seorang Pemimpin dalam Islam
Dalam Islam seorang pemimpin negara yaitu khalifah haruslah kompeten dalam memangku kekhilafahan. Seorang khalifah wajib memenuhi tujuh syarat, jika salah satu dari syarat-syarat itu tidak terpenuhi maka pengangkatan kekhilafahannya tidak sah.
Ketujuh syarat itu diungkapkan dalam buku Asy-Syakhshiyah al-Islamiyah karya Syekh Taqiyuddin an-Nabhani halaman 47. Dalam buku itu diuraikan syarat-syarat seorang menjadi khalifah.
Pertama, Muslim, seorang khalifah tidak sah bagi orang kafir, karena kekuasaan adalah jalan yang paling efektif untuk menguasai orang lain. Sebagaimana firman Allah dalam surat An-Nisa ayat 141 berikut :
وَلَنْ يَّجْعَلَ اللّٰهُ لِلْكٰفِرِيْنَ عَلَى الْمُؤْمِنِيْنَ سَبِيْلًا
"Allah sekali-kali tidak akan memberi jalan kepada orang kafir untuk menguasai orang-orang beriman."
Kedua, laki-laki. Seorang khalifah tidak sah jika seorang wanita. Sebagaimana hadits yang diriwayatkan oleh Al-Bukhari berikut :
لَنْ يُفْلِحَ قَوْمٌ وَلَّوْا أَمْرَهُمُ امْرَأَةً
"Tidak akan beruntung, suatu kaum yang memberikan kekuasaan kepada seorang perempuan."
Ketiga dan keempat, Baligh dan berakal Khalifah tidak boleh seorang anak-anak dan harus berakal alias tidak gila. Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah Saw :
رُفِعَ الْقَلَمُ عَنْ ثَلاَثَةٍ عَنِ النَّائِمِ حَتَّى يَسْتَيْقِظَ وَعَنِ الصَّبِىِّ حَتَّى يَحْتَلِمَ وَعَنِ الْمَجْنُونِ حَتَّى يَعْقِلَ
“Pena diangkat (dibebaskan) dari tiga golongan: orang yang tidur sampai dia bangun, anak kecil sampai mimpi basah (baligh) dan orang gila sampai ia kembali sadar (berakal).” (HR. Abu Daud.
Kelima, adil. Tidak sah jika seorang khalifah orang fasik, karena keadilan merupakan syarat yang harus ada dalam akad penyerahan kekhilafahan dan keberlangsungannya.
Keenam, merdeka, seorang khalifah tidak boleh seorang budak atau dalam tawanan orang lain. Jika demikian dia tidak bisa mengatur orang lain karena dirinya sendiri juga berada dalam kekuasaan dan tawanan orang lain.
Terakhir ketujuh, seorang khalifah haruslah seorang yang mampu mengemban tugas-tugas kekhilafahan. Karena itu merupakan bagian dari konsekuensi baiat.
Demikian syarat-syarat in'iqad atau legalitas kekhilafahan bagi seorang khalifah. Jadi kriteria pemimpin dalam Islam tidaklah sesederhana yang diungkapkan di atas, semua mengandung konsekuensi yang akan berpengaruh langsung dalam perjalanan sebuah negara.
Maka, sudah semestinya kaum muslim ketika memilih seorang pemimpin negara mengikuti apa yang telah dicontohkan oleh Rasulullah Saw dan para sahabat, agar kehidupan negara yang tentram dan sejahtera bisa segera terwujud. Wallahu'alam Bishowab
Oleh: Emmy Emmalya
Analis Mutiara Umat Institute
0 Comments