TintaSiyasi.com -- Peran Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dalam mengelola aset strategis seharusnya mampu memberi pelayanan maksimal kepada rakyat. Namun sayang, sejumlah BUMN justru mengalami krisis finansial, terlilit utang dan merugi. Akhirnya, pemerintah tergoda untuk bekerjasama dengan swasta. Istilah investasi dewasa ini tampak begitu manis hingga terus digaungkan. Seakan menjadi satu-satunya jalan keluar untuk menghadapi berbagai permasalahan ekonomi dan pembangunan. Seolah lupa akan peribahasa “tidak ada makan siang gratis”.
Dikutip dari laman cnnindonesia.com, Wakil Menteri BUMN II Kartika Wirdjoatmodjo mengatakan, pemerintah akan melakukan kerja sama pengelolaan Bandara Soekarno-Hatta (Soetta) dengan pihak swasta. Kebijakan tersebut dilakukan dengan pertimbangan tren penerbangan internasional di bandara tersebut mengalami kenaikan. Adapun pola kerja sama dilakukan dengan joint venture perluasan bandara seperti halnya Bandara Kualanamu. Pemerintah optimis banyak investor yang tertarik dengan kerja sama tersebut (18/10/2022).
Sebelumnya, PT Angkasa Pura II (AP II) mencatat, jumlah kumulatif pergerakan penumpang di 20 bandara sebanyak 44,03 juta penumpang sepanjang Januari-September 2022. Jumlah ini meningkat drastis jika dibandingkan tahun sebelumnya pada periode yang sama, yaitu sebanyak 20,45 penumpang. Dari 20 bandara yang dikelola AP II, pergerakan penumpang Bandara Soetta paling aktif yaitu 29,02 juta penumpang (www.angkasapura2.co.id).
Jangan Gegabah
Meski data menunjukan peningkatan jumlah penumpang yang signifikan dibanding tahun lalu, tak seharusnya pemerintah bertindak gegabah. Ada beberapa hal yang patut dipertimbangkan sebelum memutuskan mengerjasamakan Bandara Soetta kepada pihak swasta, diantaranya:
Pertama, penerbangan Indonesia baru memasuki masa pemulihan setelah covid-19. Meski data menunjukan peningkatan yang drastis, tapi kondisi saat ini belum betul-betul stabil. Apalagi target pengerjasamaan Bandara Soetta adalah untuk menambah jalur internasional. Sebelumnya, Menteri Keuangan Sri Mulyani dan Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, Luhut Binsar Pandjaitan memprediksi krisis ekonomi global akan terjadi tahun 2023. Jika benar demikian, maka kondisi penerbangan internasional bisa berubah sewaktu-waktu.
Kedua, tingginya harga bahan bakar pesawat yaitu avtur turut mempengaruhi harga tiket pesawat. Seperti diketahui, harga avtur mempengaruhi sekitar 40% komposisi harga tiket. Harga tiket yang mahal di tengah sulitnya kondisi ekonomi rakyat tentu mempengaruhi jumlah penumpang.
Ketiga, joint venture aset strategis harus diwaspadai. Di satu sisi, penanaman modal swasta/asing memang menguntungkan. Pemerintah tidak perlu mengeluarkan banyak anggaran untuk perluasan pembangunan dan pengelolaan bandara. Di sisi lain, pemerintah harus paham bahwa para investor pasti ingin untung. Dampak jangka panjang, bisa mengarah kepada penguasaan aset strategis oleh swasta atau asing. Perusahaan swasta apalagi asing memiliki banyak pengalaman, bagaimana cara penguasaan aset tersebut.
Keempat, penguasaan aset strategis oleh swasta/asing bisa melahirkan kebijakan pro oligarki. Indonesia merupakan negara kepulauan. Transportasi udara sangat vital tidak hanya untuk mobilitas orang tapi juga barang. Jika kebijakan penerbangan lahir demi kepentingan oligarki, maka jelas rakyat banyak merugi. Terkait mobilitas barang, kebijakan penerbangan bisa mempengaruhi harga barang kebutuhan pokok rakyat.
Kelima, kedaulatan negara terancam. Bandara Soetta merupakan bandara internasional dimana menjadi pintu gerbang warga asing keluar-masuk wilayah Indonesia. Pengerjasamaan bandara dengan swasta bisa berpotensi terjadi pelonggaran aturan keluar-masuknya warga asing. Hal ini patut diwaspadai ditengah maraknya peredaran narkoba dan tenaga kerja asing illegal. Apalagi, Bandara Soetta sementara memperkuat layanan digital. Di tengah lemahnya jaminan keamanan platform layanan publik, patut disorot adanya potensi kebocoran data lebih luas.
Bahaya Swastanisasi Sektor Publik
Semakin hari, pemerintah tampak semakin rajin mengampanyekan kebijakan investasi dalam pembiayaan pembangunan dan pengelolaan infrastruktur. Dengan kebijakan tersebut diharapkan mampu menyolusi masalah ekonomi yang membelit negeri. Sayangnya kesadaran pemerintah terkait bahaya investasi sangat minim. Padahal, banyak pakar yang memberi kritik terkait arah kebijakan pemerintah. Kucuran dana dari pihak swasta/asing yang begitu banyak tak sebanding dengan dampak jangka panjang yang akan membebani rakyat.
Jika mau berfikir jernih, investasi bisa berujung pada penjajahan atau imperialisme di sektor ekonomi. Infrastruktur dibangun dengan mengundang swasta/asing atas nama investasi. Setelah pembangunan selesai kemudian diserahkan pengelolaannya kepada investor. Pada akhirnya, banyak bangunan infrastruktur, termasuk jalan tol dan pelabuhan yang dijual kepada pihak swasta/asing. Rakyat Indonesia tidak bisa menikmati pembangunan secara gratis. Sebaliknya, yang dirasakan rakyat adalah menyewa fasilitas publik di atas tanah sendiri.
Demikian halnya dengan joint venture Bandara Soetta. Swasta/asing dipersilahkan menanamkan modal kemudian mengelola Bandara. Berbicara tentang pengelolaan berarti terkait juga dengan kebijakan. Membiarkan swasta mengelola bandara berarti mengkerdilkan peran PT Angkasa Pura yang notabene perusahaan milik negara. Jika pengelolaan Bandara Soetta di tangan swasta, maka segala sesuatu terkait penerbangan disesuaikan dengan kondisi pasar dunia.
Dampaknya, harga tiket pesawat melambung tinggi hingga rakyat pun tak mampu beli. Sektor pariwisata yang sementara digiatkan pemerintah terancam mati suri. Biaya operasional modal transportasi udara yang besar jika tidak diimbangi jumlah penumpang yang cukup, turut membuat manajemen penumpang berantakan. Jika sudah demikian, harga tiket pesawat akan dinaikan lagi dan lagi. Dampak lainnya, harga kebutuhan rakyat yang didistribusikan melalui pesawat akan membumbung tinggi.Jelas, pihak yang diuntungkan adalah oligarki.
Kerja sama pemerintah dengan pihak swasta pada sektor publik atau sering disebut dengan public private partnership pada dasarnya lahir dari idiologi kapitalis. Ideologi ini membebaskan siapa saja yang memiliki modal menguasai sektor publik. Menjadi wajar jika kebijakan turunan dari Ideologi kapitalis tidak pro rakyat. Hal ini karena kapitalisme lahir dari sekularisme yang memisahkan agama dari kehidupan dunia, termasuk kebijakan negara. Sekularisme ini menjadikan para pengambil kebijakan krisis empati terhadap rakyatnya sendiri.
Allah SWT berfirman,
“Barangsiapa berbuat kebaikan seberat zarrah pun, niscaya ia akan melihat (balasan) nya. Dan barangsiapa berbuat keburukan seberat zarrah pun, niscaya ia akan meihat (balasan) nya” (TQS. Al Zalzalah: 7-8).
Investasi dilakukan dengan alasan efisiensi anggaran. Kebijakan yang tampak disepelekan tapi berpengaruh besar bagi kehidupan rakyat. Indonesia memiliki Sumber Daya Alam (SDA) yang melimpah, tapi tidak dinikmati rakyat secara maksimal. Hal ini karena pengelolaan SDA dari hulu sampai hilir dikuasai swasta/asing atas nama investasi. Tidak puas menguasai SDA, swasta/asing pun mengincar aset strategis negara. Saat ini, rakyat menanti keberadaan sebuah rezim yang berani mengimplementasikan syariat Islam dalam segala sendi kehidupan. Hingga pemerintah tidak lagi membebek kepada permainan para kapitalis.
Wallahu ‘alam bishshowab.
Oleh : Ikhtiyatoh, S.Sos
Pemerhati Kebijakan Publik
0 Comments