TintaSiyasi.com -- Di tengah kemiskinan dan ketimpangan yang menjadi PR utama yang mesti diselesaikan, muncul seruan terkait pemenuhan gizi keluarga. Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Kemenko PMK) menekankan pentingnya pemenuhan gizi keluarga guna mengoptimalkan tumbuh kembang anak.
Apalagi kini cuaca kian tak menentu, maka gizi seimbang dapat membantu menjaga daya tahan tubuh, terkhusus anak-anak. Deputi Bidang Koordinasi Peningkatan Kualitas Kesehatan dan Pembangunan Kependudukan Kemenko PMK Agus Suprapto memaparkan pemenuhan gizi keluarga perlu memperhatikan kandungan makronutrien dan mikronitrien.
Berbicara terkait tumbuh kembang anak, memang menjadi sorotan, apalagi di tengah angka stunting yang sukar melandai. Semua pihak memang tampak berikhtiar untuk mencapai 14% pada 2024 dan nol stunting di 2030 mendatang (walau masih pasang surut hingga hari ini). Tetapi, seruan untuk memenuhi gizi keluarga di tengah himpitan dari segala penjuru tentu bukanlah solusi atas persoalan yang ada.
Dilansir dari jatim.antaranews.com (16/10/2022), Dinsos Surabaya mencatat lebih dari 20 ribu warga setempat masuk data kemiskinan ekstrem. Di Kabupaten Bogor, 73 ribu penduduk alami kemiskinan ektrem dengan pendapatan hanya Rp29 ribu/hari. Pula di DIY, kemiskinan dan ketimpangan yang cukup tinggi masih menjadi PR utama seperti yang diungkap Wakil Ketua DPRD DIY, Huda Tri Yudiana (repjogja.republika.co.id, 11/10/2022).
Masalah kemiskinan sejatinya bak fenomena gunung es, di mana yang terlihat di media saat ini yakni hanya beberapa kota padahal pada realitanya masih sangat banyak. Kemiskinan menjadi problem negeri yang belum terselesaikan bahkan setelah negeri ini berusia lebih dari tujuh dekade dengan dipimpin tujuh kepala negara.
Terlebih lagi, kini rakyat terhimpit beban berat ekonomi akibat naiknya BBM yang diikuti naiknya harga berbagai sembako. Maka, seruan pemenuhan gizi hanyalah narasi tanpa rasa empati. Karena bagaimana mungkin rakyat memikirkan perkara "gizi" jika untuk sepiring nasi pun susah didapat? Bagaimana mungkin rakyat dapat memenuhi seruan yang ada jika kesulitan hidup setia membayangi?
Selain itu, paradoks akan fakta ini mengindikasikan ketidakpahaman penguasa akan realita yang dihadapi rakyat. Masalah yang dihadapi rakyat adalah masalah sistemik, sedang yang dipahami penguasa sekadar permukaan belaka. Sehingga, tampak tatkala rakyat butuh penyelesaian yang mengakar, penguasa justru menawarkan solusi abal-abal dan tambal sulam.
Ya, penguasa gagal fokus dalam menjalankan kepemimpinan. Alih-alih lebih jeli melihat apa yang menjadi persoalan utama rakyat, baru kemudian mengambil solusi yang telah diwahyukan Sang Pencipta, mereka justru memandang sebelah mata problem rakyat lantas menyelesaikannya dengan solusi yang lahir dari akal lemah dan terbatas milik mereka. Sungguh teramat miris.
Pertama dan yang paling utama dilakukan penguasa adalah menyejahterakan rakyat. Kebutuhan pokok rakyat yakni sandang, pangan dan papan serta kebutuhan dasar yakni pendidikan, keamanan, dan kesehatan harus dipenuhi negara dengan langsung maupun tidak langsung dengan membuka lapangan pekerjaan agar kepala negara/pencari nafkah bisa bekerja.
Ini membutuhkan kontribusi sistem lainnya salah satunya sistem ekonomi. Negara harus memiliki sebuah pos yang mengatur pemasukan dan pengeluaran harta yang kokoh berdiri, pun jauh dari riba. Selain itu, negara juga mesti memiliki pengaturan terkait kepemilikan sehingga tidak tumpang tindih dan membabat habis kepemimpinan yang bukan haknya agar tidak terjadi ketimpangan dan kesenjangan sosial.
Dalam mengatur semua ini, dibutuhkan pemimpin yang betul-betul bisa menjadi pelayan rakyat, yang menjadi pemimpin bukan karena dorongan materi, bukan pula sekadar lip service untuk memanjakan telinga rakyat. Dalam kepemimpinannya senantiasa menjadikan Alquran dan hadis sebagai pengatur. Tentu saja, hal ini tidak akan bisa terwujud di bawah atmosfer kapitalisme.
Adalah karena di alam sekuler kapitalisme, materi menjadi pencapaian yang dielu-elukan. Bahkan ketika menjadi penguasa, tujuan utamanya adalah meraup materi. Kepemimpinannya berjalan atas kebijakan yang lahir dari akal lemah manusia. Oleh karena itu, alih-alih mewujud di dalamnya kesejahteraan, justru malapetaka bertubi-tubi yang diperoleh.
Sungguh, kesejahteraan hanya bisa terwujud di bawah negara Islam, yakni khilafah. Dengan demikian, seruan pemenuhan gizi keluarga di tengah ancaman kemiskinan sejatinya sangat tidak tepat. Bukankah pemenuhan gizi akan terlaksana apabila rakyat sejahtera? Bagaimana mungkin rakyat memenuhi seruan itu kala perut meronta untuk diisi? Wallahu a'lam bishshawab.
Oleh: Khaulah
Aktivis Back to Muslim Identity
0 Comments