TintaSiyasi.com -- Pendidikan Anak di usia dini, Nabi SAW mengajarkan, “Muru auladakum bi as-shalati wa hum abna’ sab’in.” [Ajarkanlah kepada anak-anakmu shalat, ketika mereka berusia tujuh tahun]. Hadis ini sebenarnya tidak hanya memerintahkan shalat, tetapi juga hukum syarak yang lain. Karena shalat merupakan hukum yang paling menonjol, sehingga hukum inilah yang disebutkan. Selain itu, titah ini tidak berarti anak-anak kaum Muslim baru diajari shalat dan hukum syarak yang lain ketika berusia tujuh tahun.
Di masa lalu, keluarga kaum Muslim menjadi madrasah pertama bagi putra-putrinya. Sejak sebelum lahir dan saat balita, orang tuanya telah membiasakan putra-putrinya yang masih kecil untuk menghafal Al-Qur'an dengan cara memperdengarkan bacaannya. Rutinitas itu membuat mereka mampu menghafal Al-Qur'an sebelum usia enam atau tujuh tahun. Di usia emas (golden age) seperti ini, anak-anak bisa dibentuk menjadi apapun, tergantung orang tuanya.
Setelah mereka bisa menghafal Al-Qur'an di usia enam atau tujuh tahun, mereka pun mulai menghafal kitab-kitab hadis. Saat usia sepuluh tahun, mereka pun bisa menguasai Al-Qur'an, hadis, juga kitab-kitab bahasa Arab yang berat, sekelas Alfiyah Ibn Malik. Karena itu, di era khilafah bermunculan pemuda yang sudah mampu memberikan fatwa. Iyash bin Mu’awiyah, Muhammad bin Idris as-Syafii, misalnya, sudah bisa memberikan fatwa saat usianya belum genap 15 tahun.
Selain penguasaan knowledge yang begitu luar biasa, mereka juga dibiasakan oleh orang tua-orang tua mereka untuk mengerjakan shalat, berpuasa, berzakat, infaq hingga berjihad.
Sosok Abdullah bin Zubair, misalnya, yang dikenal sebagai ksatria pemberani tidak lepas dari didikan orang tuanya; Zubair bin al-Awwam dan Asma’ binti Abu Bakar. Abdullah bin Zubair sudah diajak berperang oleh ayahnya saat berusia 8 tahun, dengan membonceng kuda sang ayah.
Penyelenggaraan Kehidupan Masyarakat
Dengan bekal ilmu dan pembentukan mental yang sehat dan kuat, ditopang dengan pembentukan sikap dan nafsiyah yang mantap, kehidupan pemuda di era khilafah jauh dari hura-hura, dugem, dan kehidupan hedonistik lainnya. Mereka tidak mengonsumsi miras, ataupun narkoba, baik sebagai dopping, pelarian, atau sejenisnya.
Karena ketika mereka mempunyai masalah, keyakinan mereka kepada Allah, qadha’ dan qadar, rizki, ajal, termasuk tawakal begitu luar biasa. Masalah apapun yang mereka hadapi bisa mereka pecahkan. Mereka pun jauh dari stres, dan tidak menjamah miras atau narkoba untuk melarikan diri dari masalah.
Kehidupan pria dan wanita pun dipisah. Tidak ada ikhtilath, khalwat, menarik perhatian lawan jenis (tabaruj), apalagi pacaran hingga perzinaan. Selain berbagai pintu ke arah sana ditutup rapat, sanksi hukumnya pun tegas dan keras, sehingga membuat siapa pun yang hendak melanggar akan berpikir ulang. Pendek kata, kehidupan sosial yang terjadi di tengah masyarakat benar-benar bersih. Kehormatan (izzah) pria dan wanita, serta kesucian hati (iffah) mereka pun terjaga. Semuanya itu, selain karena modal ilmu, ketakwaan, sikap dan nafsiyah mereka, juga sistem yang diterapkan di tengah-tengah masyarakat oleh khilafah.
Karena kehidupan mereka seperti itu, maka produktivitas generasi muda di era Khilafah ini pun luar biasa. Banyak karya ilmiah yang mereka hasilkan saat usia mereka masih muda. Begitu juga riset dan penemuan juga bisa mereka hasilkan ketika usia mereka masih sangat belia. Semuanya itu merupakan dampak dari kondusivitas kehidupan masyarakat di zamannya.
Kehidupan masyarakat yang bersih ini juga bagian dari pembinaan umum (tatsqif jama’i) yang membentuk karakter dan kepribadian generasi muda di zaman itu. Peran negara, masyarakat dan keluarga begitu luar biasa dalam membentuk karakter dan kepribadian mereka. Selain kesadaran individunya sendiri. Karena itu, tradisi seperti ini terus berlangsung dan bertahan hingga ribuan tahun. Bahkan, tradisi seperti masih dipertahankan di beberapa negeri kaum Muslim, meski Khilafah yang menaunginya telah tiada. Hal ini bisa kita lihat di Madinah, Makkah, Mauritania, Hederabad, dan beberapa wilayah lain.
Penanaman Orientasi Kehidupan
Ada ungkapan bijak, “Jika seseorang tidak menyibukkan diri dalam kebenaran, pasti sibuk dalam kebatilan.” Karena itu, selain kehidupan masyarakat yang bersih, berbagai tayangan, tontonan atau acara yang bisa menyibukkan masyarakat dalam kebatilan harus dihentikan. Mungkin awalnya mubah, tetapi lama-lama kemubahan tersebut melalaikan, bahkan menyibukkannya dalam kebatilan.
Karena itu Nabi SAW menitahkan, “Min husni Islami al-mar’i tarkuhu ma la ya’nihi.” [Di antara ciri baiknya keislaman seseorang, ketika dia bisa meninggalkan apa yang tidak ada manfaatnya bagi dirinya]. Boleh jadi sesuatu yang tidak manfaat itu mubah, tetapi sia-sia. Waktu, tenaga, pikiran, bahkan harta yang digunakannya pun hilang percuma.
Agar masyarakat, khususnya generasi muda tidak terperosok dalam kesia-siaan, maka mereka harus disibukkan dengan ketaatan. Baik membaca, mendengar atau menghafal Al-Qur'an, hadit, kitab-kitab tsaqafah para ulama, atau berdakwah di tengah-tengah umat dengan mengajar di masjid, kantor, tempat keramaian, dan sebagainya. Mereka juga bisa menyibukkan diri dengan melakukan perjalanan mencari ilmu, berjihad, atau yang lain.
Pendek kata, mereka harus benar-benar menyibukkan diri dalam ketaatan. Hanya dengan cara seperti itu, mereka tidak akan sibuk melakukan maksiat. Dengan menyibukkan diri dalam ketaatan, waktu, umur, ilmu, harta dan apapun yang mereka miliki menjadi berkah. Karena itu, dalam usia 20 tahunan, Imam an-Nawawi, misalnya bisa menghasilkan berjilid-jilid kitab. Bahkan, Imam Ahmad, bisa mengumpulkan dan hafal lebih dari satu juta hadits. Demikian juga dengan Imam Bukhari.
Semua hal ini memang membutuhkan negara dengan sistemnya yang luar biasa. Sejarah keemasan seperti ini pun hanya pernah terjadi dalam sistem khilafah, bukan yang lain. Berbeda dengan sistem sekuler saat ini, sistem Islam akan menuntun para remaja ke arah positif. Sebab sistem Islam mengajarkan sistem nilai kepada pemeluknya, termasuk remaja. Apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan, mana yang halal maupun haram, mana yang baik dan wajib dilakukan serta mana yang harus ditinggalkan. Aturan Islam yang begitu lengkap dan sempurna membuat pemeluknya memiliki panduan yang sangat jelas saat menjalani kehidupan.
Penerapan syariat Islam dalam kehidupan sehari-hari ini memiliki motif tersendiri bagi siapa pun pemeluknya termasuk para remaja. Mengapa? Karena Islam mengajarkan bahwa kehidupan dunia hanyalah sementara. Semua amal perbuatan di dunia akan dipertanggungjawabkan kelak di akhirat. Dalam sebuah hadis diungkapkan:
Ibnu Mas’ud mengatakan, ‘Nabi tidur di atas tikar. Lalu bangun. Tampak di punggungnya bekas tikar itu.’ Aku menawarkan: ‘bolehkah aku ambilkan kasur, wahai Nabi?’ Beliau menjawab: ‘Apalah aku ini. Aku dalam kehidupan di dunia ini bagaikan seorang pengendara yang berhenti sejenak untuk istirahat, bernaung di bawah pohon. Sesudah itu berangkat lagi dan meninggalkan pohon itu’ (HR. Tirmidzi dan Ibnu Majah).
Oleh karena itu, setiap Muslim seharusnya senantiasa memperhatikan setiap amalnya. Sebagaimana firman Allah SWT yang artinya: “Dan berjaga-jagalah (bersiap-siaplah) kalian akan datangnya suatu hari yang pada saat itu kalian semua dikembalikan kepada Allah. Kemudian masing-masing diri diberi balasan yang sempurna terhadap apa yang telah dikerjakannya, sedang mereka sedikit pun tidak dianiaya (dirugikan)” (QS. Al-Baqarah [2]: 281).
Motif inilah yang akan mendorong setiap Muslim untuk melakukan perbuatan baik sesuai dengan standar yang telah ditetapkan Allah SWT, bukan sekadar baik atau keren menurut pandangan manusia. Begitu pula saat meninggalkan perbuatan yang dianggap tidak bermanfaat; dorongannya bukan sekadar rasa malas atau tidak keren, tapi karena memang Islam memandang perbuatan tersebut sebagai perbuatan yang sia-sia dan tidak berfaedah.
Demikianlah, ajaran Islam telah mampu menuntun setiap pemeluknya untuk meniti jalan yang benar agar kelak mampu membawa amal soleh yang akan mengantarkannya ke surga. Dengan demikian, para remaja tidak akan kehilangan orientasi hidupnya sebab dimensi ukhrawi ini telah tertanam dan menancap dalam jiwanya.
Apalagi Rasul SAW telah mengingatkan untuk senantiasa menjaga lima perkara sebelum datangnya lima perkara yang lain. Dari Ibnu ‘Abbas, Rasulullah SAW bersabda: “Manfaatkan lima perkara sebelum lima perkara: waktu mudamu sebelum datang waktu tuamu, waktu sehatmu sebelum datang waktu sakitmu, masa kayamu sebelum datang masa kefakiranmu, masa luangmu sebelum datang masa sibukmu, hidupmu sebelum datang kematianmu” (HR. Al Hakim).
Oleh karena itu, kehidupan remaja akan kembali menemukan jati dirinya, ketika akidah Islam ditanamkan sedini mungkin dan pembiasaan untuk terikat pada syariat Islam dimulai sejak dini. Dengan bekal akidah Islam dan pembiasaan syariat Islam, secara individual remaja telah memiliki benteng dalam dirinya untuk menangkis serangan pemikiran dari luar.
Namun, ketika serangan pemikiran ini begitu massif, maka peran keluarga dan lingkungan sekitar sangat diperlukan. Jika keluarga dan lingkungan sekitarnya pun tak mendukung maka remaja ini pun tentu akan goyah. Karenanya peran negara sangatlah sentral dalam melindungi remaja dari serangan pemikiran yang bertentangan dengan Islam. Sebab negara dengan semua kekuasaan dan perangkat yang dimilikinya akan mampu melindungi keberlangsungan kehidupan remaja.
Kehadiran negara bukan sekadar dalam membangun sarana dan prasarana atau menyediakan fasilitas atau beasiswa dan sebagainya, tapi negara sangat dibutuhkan kehadirannya dalam meluruskan pemahaman dan pemikiran yang salah mengenai orientasi kehidupan remaja. Melalui pembinaan remaja, kontrol yang ketat terhadap kurikulum pendidikan, bahkan negara harus mampu menghentikan penyebaran konten-konten yang merusak di media sosial. Dengan begitu kehidupan remaja akan menjadi sehat dan remaja akan kembali menemukan jati dirinya.
Wallahu a’lam bishshawab. []
Oleh: Noor Hidayah
Aktivis Muslimah
0 Comments