TintaSiyasi.com -- Indonesia menjadi salah satu negara yang mengalami gagal ginjal akut progresif atipikal (GGAPA) pada anak-anak. Dalam rilis resmi Kementrian Koordinator bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Kemenko PMK) tercatat bahwa kasus gagal ginjal akut yang terjadi di tiga negara, yaitu Indonesia, Gambia, dan Nigeria. Berdasarkan data Kemenenkes kasus selama 2022 di Indonesia dengan total 118 kematian, kasus di Gambia dengan 50 kematian, dan di Nideria dengan 28 kematian (kompas.com).
Menurut Menteri Kesehatan RI, Budi Gunadi Sadikin kasus ini bisa terjadi karena berdasarkan hasil pemeriksaan pada sebelas pasien anak di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM), gagal ginjal akut anak terjadi karena adanya senyawa berbahaya dalam tubuh, yaitu ethylene glycol (EG), diethylene glycol (DEG), dan ethylene glycol butyl ether (EGBE). EG, DEG, dan EGBE jika masuk ke dalam tubuh seseorang bisa berubah menadi asam oksalat. Bila asam oksalat masuk ke ginjal, maka senyawa akan berubah menjadi kristal tajam kecil yang bisa merusak ginjal (cnbcindonesia.com).
Penyebab banyaknya kasus gagal ginjal akut yang terjadi pada anak di Indonesia, diduga karena penggunaan obat paracetamol sirup anak. Sehingga dalam menanggapi dugaan tersebut Kementrian Kesehatan (Kemenkes) RI memberikan instruksi agar semua apotek di Indonesia menghentikan sementara penjualan obat sirup.
Berdasarkan Surat Edaran (SE) Kemenkes Nomor SR.01.05/III/3461/2022. “Seluruh apotek sementara tidak menjual obat bebas dan atau bebas terbatas dalam bentuk sirup kepada masyarakat sampai dilakukan pengumuman resmi dari Pemerintah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.” (suara.com).
Obat sirup menjadi pilihan yang banyak dipilih orang tua dalam menangani anaknya yang sakit. Obat sirup yang banyak tersedia di apotek yang bisa dibeli tanpa resep dokter dan sangat mudah dijangkau. Sehingga menjadi langkah awal menangani anak sakit dengan membelikan obat yang dinilai sesuai dengan keluhan anaknya.
Menjadi pertanyaan besar bagi kita semua, kenapa baru saat ini dilarang. Padahal obat sirup sudah ada sejak lama dan cukup sering digunakan di kalangan masyarakat Indonesia. Namun, kenapa baru di tahun ini kasus gagal ginjal mencuat dengan indikasi penyebabnya adalah obat sirup anak.
Ternyata, kasus gagal ginjal akut ini terjadi sejak 1972 di India, yang tercatat kematian massal sejumlah 70 anak karena gagal ginjal akut yang dikaitkan dengan konsumsi obat. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) yang menemukan 12 pelanggaran dalam produksi obat tersebut, salah satunya kandungan ethylen glykol (EG) dan dyethylen glycol (DEG) yang melebihi batas, jejak kontaminasi sudah terjadi sejak 1970-an. Bermula pada 1972, kematian sejumlah 15 anak di Madras, pada 1986 sejumlah 14 anak di Mumbai, pada 1988 sejumlah 11 anak di Bihar. Satu dekade kemudian, Gurgaon 33 anak meninggal dunia karena gagal ginjal akut pada 1998. Terbaru India heboh ketika 11 anak di Jammu meninggal setelah konsumsi obat sirup terkontaminasi (cnnindonesia.com).
Jika sudah sejak lama terjadi di India dan penyebabnya sudah jelas yaitu kandungan ethylen glycol (EG) dan dhyethylen glycol (DEG). Tetapi, mengapa di Indonesia sendiri tetap memakai bahan obat sirup tersebut? Dalam bahasa bisnis, lebih tepatnya saat ini industri farmasi yang dijadikan bisnis. Penggunaan ethylene glycol (EG) maupun dhyethylen glycol (DEG) berkaitan dengan strategi pasar atau disebut pricising strategy. Bahan tersebut tetap digunakan karena harga bahan lebih murah dibandingkan bahan lain yang lebih mahal dan aman.
Begitu juga, sudut pandang masyarakat yang membutuhkan harga yang murah karena perekonomian masyarakat yang masih jauh dari kata sejahtera. Di sisi lain, kebiasaan masyarakat yang cenderung abai membaca komposisi, ingin harga murah dan cepat sembuh. Sehingga dimanfaatkan oleh pemilik modal atau industri farmasi bagaimana agar tetap mendapat keuntungan sebanyak-banyaknya, tapi masyarakat tetap mampu membeli, akhirnya menggunakan senyawa berbahaya menjadi solusi.
Sesungguhnya, ini semua tidak serta merta hanya karena kelalaian individu masyarakat dalam membaca komposisi juga disamping keterbatasan perekonomian, bukan hanya kelalaian BPOM saja yang perlu disoroti. Padahal ini adalah sebuah kelalaian negara dalam menjamin kesehatan rakyat. Ini merupakan kelalaian sistem, sehingga solusi mengganti bahan pun tidak akan menyelesaikan persoalan gagal ginjal akut ini.
Persoalan ini karena kelalaian kapitalisme yang bercokol di negeri ini, yang menjunjung tinggi asas manfaat, keuntungan, dan materi yang menjadi prinsip industri kapitalis. Siapa pun pemilik modal yang bisa memberikan keuntungan sebanyak-banyaknya akan difasilitasi kepentingannya. Sehingga tidak cukup dengan adanya kasus gagal ginjal akut ini hanya menyalahkan industri karena salah bahan, yang mana saat ini menyebabkan gagal ginjal akut dan tidak menutup kemungkinan masalah lain akan muncul jika masih digunakan.
Sangat terlihat bagaimana saat ini tidak adanya jaminan kesehatan untuk rakyat. Negara tidak bertanggung jawab dengan kesehatan rakyat dan tidak memandang kesehatan adalah kebutuhan dasar rakyat yang wajib dipenuhi negara. Masyarakat berjuang sendiri untuk kehidupannya termasuk memenuhi kebutuhan sehari-hari dan kesehatannya. Negara abai dengan urusan rakyat dan layanan kesehatan bukan jadi periayah (mengurus kesehatan) tapi sebagai industri jasa yang berorientasi keuntungan, begitu juga dalam bidang farmasi yang diharapkan bisa menyelesaikan persoalan kesehatan, tetapi saat ini malah diindustrialisasi. Selain itu, negara juga kurang dalam menjamin keamanan obat yang beredar di masyarakat.
Sangat berbeda dengan Islam yang menjaga peredaran obat dengan ketat. Islam memandang kesehatan adalah kebutuhan dasar yang harus dipenuhi secara optimal dan terjangkau. Ketika islam diterapkan, negara adalah pengurus dan penanggung jawab urusan rakyat. Mulai abad ke-12 sampai ke-17 M di Eropa, Islam telah mempengaruhi bidang farmasi dengan pesat saat itu. Terlihat dengan kembalinya minat terhadap pengobatan natural yang popular dalam pendidikan kesehatan. Melibatkan praktisi seperti herbalis dan penjual rempah untuk obat-obatan.
Selain itu, toko obat juga bermunculan di era kejayaan Abbasiyah, yang tidak hanya di Baghdad, juga di kota kecil lainnya. Sedangkan, ahli farmasi membuka apotek sendiri, meracik dan membuat obat sendiri yang tetap mendapat pengawasan ketat oleh negara. Selain itu, jaminan negara agar rakyat bisa mendapat layanan kesehatan gratis, menjamin keamanan peredaran obat di apotek dengan pengawasan yang ketat. Pengawasan dilakukan oleh pejabat atau badan pengawas obat untuk memeriksa seluruh apotek atau toko obat dengan mengukur dosis, ukuran kemurnian obat, dan komposisi obat yang diperjualbelikan. Semua dilakukan karena negara harus mencegah penggunaan bahan yang berbahaya dalam obat dan sirup yang tidak sesuai aturan.
Seperti itulah aturan Islam dalam mengawasi obat-obatan yang beredar di kalangan masyarakat. Ini menjadi bukti bagaimana Islam sangat mengutamakan kesehatan masyarakat dan wajib dipenuhi negara. Maka sudah saatnya penguasa saat ini mengamalkan pengawasan ketat sesuai yang Islam ajarkan. Namun ini semua hanya bisa dilakukan jika sistem Islam diterapkan di negeri ini. []
Oleh: Safda Sae, S.Sosio
Aktivis Dakwah Kampus
0 Comments