TintaSiyasi.com -- Korupsi seolah tiada akhir di negeri ini. Pemberitaan media berjibun dan bergantian. Koruptor pun beragam.
Korupsi di Indonesia telah menjadi penyakit akut. Seperti kanker yang sudah mengakar kuat. Upaya mencabut hingga ke akar tampaknya tak kuat. Sebab, budaya dan pelaku korupsi tak sendiri. Mereka berjamaah dan saling melindungi untuk mencari cara selamat. Korupsi telah melembaga. Adapun lembaga pemberantas korupsi tampaknya diamputasi.
Lemahnya pemberantasan korupsi di Indonesia setidaknya bisa dilihat secara kasat mata seperti hasil putusan pengadilan kasus mafia pajak dan mafia hukum kasus Gayus Tambunan serta tidak terungkapnya aktor-aktor dibelakangnya, biasanya penanganan kasus centuri, loyonya pengusutan skandal BLBI, rekening gendut Polri, dan masih banyak lagi.
Korupsi merajalela di desa maupun di kota, dari tingkat daerah hingga tingkat pusat, baik koruptor kecil ataupun kelas kakap. Semua ini adalah korupsi yang bersifat sistemik. Sistem sekulerisme yang melahirkan banyak koruptor di negri ini. Sistem telah mendorong orang untuk melakukan korupsi, meskipun dia sebelumnya bukanlah seorang koruptor.
Wacana tentang perlunya menindak tegas para koruptor boleh saja terus bergulir. Termasuk kemungkinan pemberlakuan hukuman mati. Namun persoalannya, di tengah karut-marutnya sistem hukum di negeri ini, didukung oleh banyaknya aparat penegak hukum yang bermental bobrok (baik di eksekutif/pemerintahan, legislatif/DPR maupun yudikatif/peradilan), termasuk banyaknya markus yang bermain di berbagai lembaga pemerintahan (ditjen pajak, kepolisian, jaksa, bahkan hakim dll), tentu wacana menindak tegas para koruptor hanya akan tetap menjadi wacana.
Setidaknya ada tiga faktor penyebab suburnya kasus korupsi di negeri ini. Pertama adalah faktor individu. Individu dengan keimanan yang lemah akan mudah tergiur dengan nominal yang fantastis. Memperkaya diri dengan harta yang bukan haknya menjadi godaan. Faktor kedua adalah regulasi atau sistem yang berlaku. Regulasi yang lemah membuat celah penyalahgunaan wewenang. Selain itu ongkos politik yang mahal menjadikan mereka berpikir untuk balik modal. Di zaman sekarang seperti tidak ada makan siang gratis. Di mana ada urusan, di situ ada uang.
Faktor yang ketiga adalah sanksi yang lemah. Sudah menjadi rahasia umum bahwa hukuman koruptor lebih ringan dibanding maling ayam. Para koruptor justru ada yang mendapatkan hak istimewa berupa fasilitas mewah semasa hukuman, ada juga yang masih bisa berjalan-jalan ria. Hukuman tak membuat efek jera.
Ada yang mengatakan, penegakan hukum tidak cukup, perlu perbaikan sistem dan pengawasan kinerja. Bagaimana mau memperbaiki sistem sementara sistem demokrasilah yang membuat para “tikus berdasi” itu tetap hidup? Bagaimana mau melakukan pengawasan sementara hampir semua lembaga pemerintahan demokrasi memang berpotensi menjadi lahan korupsi? Dari lembaga eksekutif, legislatif, dan yudikatif hampir semuanya pernah terjerat kasus korupsi. Bagaimana sistem demokrasi memberi pengawasan di lembaga sumber korup? Melakukan hal ini ibarat memasukan unta ke dalam jarum. Sulit dan mustahil.
Dalam UU Tipikor pasal 2 ayat 2 terdapat aturan tentang pidana mati bagi pelaku korupsi. Sayangnya, aturan itu sebatas narasi formalitas belaka. Belum pernah ada realisasinya.
Sudah jelas sistem peradilan dalam sistem demokrasi sekuler tidak dapat menghentikan laju kasus korupsi. Semua itu hanya bisa di hentikan apabila sistem penerapan Islam ada ditengah-tengah kita saat ini. Hukum yang dapat membuat efek jera sudah di persiapkan bagi para pelaku korupsi. Sudah saatnya beralih kepada sistem tatanan kehidupan yang berasal dari Allah Ta'ala.
Wallahu a'lam Bishshowab
Oleh: Wakini
Aktivis Muslimah
0 Comments