TintaSiyasi.com -- Kasus suap yang melibatkan Hakim Agung Sudrajad Dimyati baru-baru ini terbongkar dan menggegerkan masyarakat. Hakim yang bertugas di lembaga setingkat Mahkamah Agung, puncak seluruh peradilan dan pengadilan tertinggi di Indonesia, terbukti melakukan tindak pidana korupsi yang bahkan diduga menyeret hakim agung lainnya (politik.rmol.id, 16/10/2022). Sebuah ironi ketika lembaga penegak hukum tertinggi justru melukai fungsi dan kedudukan serta kehormatannya sendiri. Padahal, pakar hukum pidana Abdul Fickar mengatakan, fungsi yudikatif sebagai pemutus sengketa seharusnya memiliki hakim-hakim agung yang tidak terpengaruh urusan materi atau dunia (nasional.kompas.com, 26/09/2922).
Kasus ini boleh jadi hanya puncak gunung es. Yosep Parera, penyuap Hakim Agung Dimyati, mengungkapkan penyakit hukum yang terjadi di MA adalah masalah struktural (politik.rmol.id, 10/10/2022). Menurut penjelasan Yosep, semua masyarakat yang tertimpa kasus, mau tidak mau, pasti akan mengeluarkan dana untuk mencapai keadilan. Hal ini mengindikasikan suap dan jual-beli putusan sudah menjadi praktik yang biasa terjadi di Mahkamah Agung. Menyikapi hal tersebut, Menteri Koordinator bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD menyampaikan bahwa pemerintah akan membentuk konsep besar sistem peradilan di Indonesia untuk melakukan reformasi hukum peradilan (nasional.kompas.com, 04/10/2022).
Selain itu, data yang dirilis ICW juga membuktikan bahwa kasus suap menyuap yang melibatkan hakim agung ini hanyalah puncak gunung es dari seluruh kasus korupsi yang telah melanda negeri ini. ICW mencatat Indonesia kehilangan sebesar Rp 63,3 Triliun atas kasus korupsi di tahun 2021 (antikorupsi.org, 22/05/2022). Melalui proses peradilan dan prosedur hukum, hanya sebesar Rp 1,4 Triliun yang dikembalikan kepada negara dalam bentuk restitusi. Di tahun 2021 ini lah Indonesia mengalami kerugian terbesar akibat korupsi dalam 5 tahun terakhir.
Banyaknya kasus korupsi dan terkuaknya kasus terbaru menunjukkan bobroknya sistem peradilan secara struktural dan sistemik. Sistem peradilan di negeri ini jelas membutuhkan perubahan. Namun, akankah reformasi hukum peradilan yang ditawarkan pemerintah dapat mengentas kasus korupsi secara tuntas ketika sistem demokrasi kapitalisme masih tetap digunakan?
Di dalam sistem demokrasi kapitalisme, keadilan adalah sesuatu yang dapat diperjualbelikan. Adanya supply dan demand keadilan dianggap sebagai komoditas yang dapat dimanfaatkan untuk mencapai kepentingan pribadi. Di negeri yang mengagungkan demokrasi kapitalisme, pengadilan dianggap sebagai tempat untuk memenangkan keadilan dengan segala cara, bukan tempat untuk menegakkan keadilan. Cara yang digunakan untuk memenangkan keadilan adalah dengan kekuatan materi dan uang. Sedangkan lembaga peradilan adalah pihak yang menyediakan dan memberikan keadilan sesuai dengan pesanan. Di dalam kapitalisme yang menggunakan asas liberalisme, orang-orang yang dinaunginya memiliki watak materialistis dengan gaya hidup hedonis, dan menafikkan aturan Allah. Maka tidak mengherankan jika hakim agung sekalipun yang seharusnya menegakkan keadilan, justru melanggar prinsip-prinsip keadilan itu sendiri karena imbalan harta yang menggiurkan untuk memutuskan dan memuluskan suatu perkara.
Di bawah naungan kapitalisme yang menggunakan sistem politik demokrasi, aturan yang dibuat manusia dijadikan standar keadilan, padahal aturan yang dibuat manusia tersebut serba terbatas dan sarat kepentingan. Aturan hukum yang dibuat akan memihak pada siapapun yang menguntungkan. Tidak adanya sanksi yang tegas dan menjerakan bagi pelaku akan semakin menyuburkan tindak pidana korupsi.
Tindak pidana korupsi adalah masalah sistemik dan merupakan cacat bawaan sistem demokrasi kapitalisme. Karenanya, masalah korupsi tidak akan pernah tuntas meskipun ada perombakan sistem peradilan besar-besaran selama sistem yang digunakan tetaplah sistem demokrasi kapitalisme. Maka solusi mendasar atas permasalahan ini adalah dengan menghapuskan sistem demokrasi kapitalisme yang rusak dan merusak, menggantinya dengan sistem Islam dalam naungan Khilafah Islamiah yang menjalankan semua syariat yang telah Allah turunkan.
Sistem Islam yang tegak berlandaskan akidah Islam akan bisa menyelesaikan seluruh permasalahan umat manusia, termasuk masalah korupsi. Islam mengharamkan tindakan risywah atau suap-menyuap. Semua pihak yang terlibat mendapatkan laknat dari Allah SWT.
Dalam sebuah hadis disebutkan, Rasulullah SAW bersabda, “Laknat Allah bagi penyuap dan yang menerima suap” (HR. Ahmad, no. 6984; Ibnu Majah, no. 2313. Hadits ini dinilai sebagai hadits shahih oleh syaikh al-Albani dan syaikh Syu’aib al-Arnauth).
Dalam Riwayat lain, “Yang menyuap dan disuap masuk neraka” (HR. Ath-Thabrani).
Pun dari Abdullah bin ‘Amr, dia berkata, “Rasulullah SAW melaknat pemberi suap dan penerima suap” (HR. Ahmad, no. 6532, 6778, 6830; Abu Dawud, no. 3582; Tirmidzi, no. 1337; Ibnu Hibban, no. 5077. Hadits ini dinilai sebagai hadits shahih oleh syaikh Al-Albani dan syaikh Syu’aib al-Arnauth).
Juga dijelaskan dalam QS. Al-Baqarah ayat 188 yang artinya, “Dan janganlah sebahagian kamu memakan harta sebahagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang bathil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebahagian daripada orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu mengetahuinya.”
Atas dasar itulah khalifah melarang adanya suap-menyuap kepada siapa pun terutama para penegak hukum. Khilafah Islamiah akan serius menumpas praktik suap di dalam tubuh peradilan. Kedudukan hakim dalam sistem Islam dituntut untuk bersikap adil dengan menerapkan syariat Islam di meja pengadilan. Jabatan hakim hanya diisi oleh orang-orang alim dan bertakwa, sehingga diperlukan penanaman akidah yang kuat pada diri setiap individu agar lahir kontrol internal individu sejak dini. Para pelaku korupsi akan dikenai sanksi takzir yang kadarnya ditentukan oleh khalifah atau hakim bergantung pada tingkat kejahatannya, mulai dari nasihat, penjara, denda, pengumuman ke masyarakat, cambuk, hingga hukuman mati. Selain itu, khalifah akan mengawasi dan mengaudit kekayaan para pejabat termasuk hakim, mulai dari ia menjabat hingga akhir jabatannya. Jika ditemukan penambahan harta yang tidak wajar, negara akan menyitanya sebagai milik Baitul Mal sebagaimana yang telah dilakukan oleh Khalifah Umar bin Khattab. Maka hanya dengan sistem Islamlah yang mampu memberantas korupsi dan menciptakan keadilan di muka bumi. []
Oleh: Nisa
Aktivis Mahasiswa
Sumber:
- https://politik.rmol.id/read/2022/10/16/551021/kasus-suap-sudrajad-dimyati-merembet-ke-hakim-agung-lain-azmi-syahputra-lukai-kehormatan-hakim
- https://nasional.kompas.com/read/2022/09/26/10495581/hakim-agung-sudrajad-dimyati-tersangka-korupsi-pakar-hukum-ironis-dan
- https://hukum.rmol.id/read/2022/10/10/550357/di-hadapan-ky-penyuap-hakim-agung-ungkap-penyakit-hukum-di-ma
- https://nasional.kompas.com/read/2022/10/04/19562521/pemerintah-akan-bentuk-konsep-besar-sistem-lembaga-peradilan-indonesia
- https://antikorupsi.org/id/tren-penindakan-kasus-korupsi-tahun-2021
0 Comments