TintaSiyasi.com -- Tanggal 1 September 2022 menjadi hari di mana masyarakat Indonesia bisa sejenak bernafas lega. Pasalnya, dengung kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) belum terealisasi. Namun sayang, hal tersebut tidak berlangsung lama. Bak prank ala konten kreator, ternyata harga BBM benar-benar naik pada tanggal 3 September 2022.
Pemerintah menetapkan kenaikan harga BBM (bersubsidi dan nonsubsidi) secara serentak. Pertalite dari Rp 7.650/liter menjadi Rp 10.000/liter, Solar bersubsidi dari Rp 5.150/liter menjadi Rp 6.800/liter, dan Pertamax yang termasuk BBM nonsubsidi naik dari Rp 12.500/liter menjadi Rp 14.500/liter. Tentu saja ini menjadi kabar yang tidak membahagiakan bagi masyarakat lapisan menengah ke bawah. Sebab, pasti banyak efek domino yang timbul setelahnya.
Tidak sedikit masyarakat yang pasrah dengan keadaan, menganggap penolakan atau keluh kesah ini hanya kesia-siaan. Karena mereka berpikir bahwa pemerintah tidak akan pernah menggubris suara wong cilik seperti mereka. Di sisi lain, ramai medsos berisi ketidaksetujuan masyarakat akan kenaikan harga BBM ini.
Tak hanya di medsos, gelombang penolakan atas kenaikan harga BBM pun terjadi di mana-mana. Aksi unjuk rasa itu digelar oleh kalangan buruh, mahasiswa dan banyak elemen masyarakat lain yang juga ikut turun ke jalan. Bahkan, meski kenaikan harga BBM terjadi hampir satu bulan yang lalu, aksi unjuk rasa masih tetap digelar. Seperti yang terjadi baru-baru ini, mahasiswa dari berbagai universitas di Jakarta, Jawa Barat dan Jawa Tengah menggelar demo serentak pada Jum’at, 30 September 2022.
Namun, seperti biasa segala upaya yang dilakukan masyarakat untuk menolak kebijakan yang ada kerap tidak mendapat tanggapan yang berarti. Jika kemarin ada kejutan ulang tahun di dalam gedung DPR saat rakyat menggelar unjuk rasa, kini unjuk rasa yang dilakukan mahasiswa justru dianggap sedang memperjuangkan kepentingan orang kaya.
Guna meredam gejolak penolakan kenaikan BBM, penguasa meninabobokan rakyat dengan Bantuan Langsung Tunai (BLT). Alih-alih menyelesaikan masalah kenaikan BBM, bantuan tunai yang di salurkan pemerintah justru berpotensi terjadi pembelokan dana oleh para koruptor rakus dan rentannya distribusi bantuan yang salah sasaran. Apalagi jumlah yang di saluran tentu bersifat sementara dan tidak akan sebanding dengan berbagai kenaikan harga barang yang diakibatkan oleh kenaikan harga BBM yang akan dihadapi rakyat beberapa waktu mendatang.
Pemerintah beralasan menaikkan harga BBM karena subsidi yang dikeluarkan cukup membebani APBN yang konon katanya telah mencapai Rp 502,4 triliun. Tentu dalih ini sangat kontras dengan kenyataan bahwa pemerintah tidak pernah meresa terbebani untuk membiayai pembangunan Ibu Kota Negara (IKN) yang justru terus membengkak. Padahal, dana tersebut harusnya bisa di alokasikan untuk kepentingan mendesak yang lain, mengingat pindah ibukota masih belum mendesak peruntukannya.
Sebuah fakta yang tak terbantahkan, bahwa Indonesia merupakan negara yang Allah berikan kekayaan sumber daya alam melimpah, seperti tambang. Sumur-sumur migas pun banyak terdapat di Indonesia. Sayangnya, sampai sekarang negara belum mampu mengelola secara mandiri. Sehingga pengolahan tambang mentah diserahkan ke pihak swasta bahkan asing dengan konsep bagi hasil kepada negara.
Hal ini tentu bertentangan dengan konsep pengolahan SDA dalam Islam. Dalam Islam SDA yang melimpah tidak boleh dikuasai swasta atau perorangan apalagi asing. SDA seperti tambang adalah harta umat yang harus dikelola negara untuk kepentingan umat. Sebagaimana sabda Rasulullah yang diriwayatkan oleh Abu Dawud dan Ahmad, "Kaum Muslim berserikat dalam tiga perkara yaitu Padang rumput, air dan api (barang tambang)." Maka, negara tidak boleh menjual BBM kepada rakyat dengan asas mencari keuntungan semata. Harga jual kepada rakyat sebatas harga produksi.
Dengan demikian jelas sudah bahwa kebijakan pemerintah menaikkan harga BBM apapun alasannya, wajib ditolak! Selain itu, pemerintah juga wajib mengelola BBM dan semua SDA milik rakyat sesuai dengan ketentuan syariat Islam. Namun selama negeri ini masih menerapkan sistem kapitalis sekular liberal seperti saat ini maka hal tersebut mustahil untuk direalisasikan.
Maka pertayaannya, apakah kita masih tetap betah hidup dalam sistem seperti saat ini yang terbukti menyengsarakan banyak orang atau siap kembali pada hukum Ilahi yang jelas-jelas akan mendatangkan kemaslahatan dan keberkahan? []
Oleh: Sri Utami
Aktivis Muslimah
0 Comments