TintaSiyasi.com -- Banyak fakta berbicara bahwa kondisi masa kini sedang tidak baik-baik saja, sebagaimana diungkapkan oleh Menkopolhukam, Mahfud M.D., bahwa demokrasi kita sekarang tidak sehat, tidak sedang baik-baik saja.
Fakta lain pun membuktikan bahwa sistem demokrasi sangat lemah sehingga tidak mampu mengatasi berbagai problematika. Ambillah contoh, permasalahan korupsi di negeri ini. Memiliki lembaga yang katanya antikorupsi, yakni KPK sebagai memberantas lembaga pemberantasan, tetapi faktanya korupsi masih terus terjadi, bahkan makin merajalela.
Kasus korupsi terbaru pun tengah menjadi sorotan, sebagaimana diungkapkan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) adanya dugaan aliran penyetoran uang senilai Rp560 miliar dari Lukas Enembe untuk bermain judi di kasino.
Ia juga diduga memiliki harta dengan jumlah yang fantastis, Enembe memiliki total harta Rp 33.784.396.870. Jumlah itu menjadikan Enembe sebagai gubernur terkaya keenam se-Indonesia. Dia juga disebut memiliki tambang emas (tribunnews.com, 25/9/2022).
Kasus Lukas Enembe yang memiliki rekening gendut dan kekayaan fantastis merupakan bukti tak terelakkan bahwa sistem demokrasi memberi banyak peluang bagi para pejabat untuk memperkaya diri sendiri. Sementara rakyat yang di kelilingi kekayaan SDA tidak dapat lepas dari penyakit akut kemiskinan.
Semestinya para penguasa menjalankan perannya untuk menjamin kehidupan rakyat agar merasakan kesejahteraan. Memenuhi segala kebutuhannya dengan hasil pengelolaan SDA yang sejatinya milik rakyat.
Faktanya, rakyat makin tertindas kemiskinan. Kebutuhan pangan sandang papan masih banyak yang terabaikan. Di satu sisi, dengan teganya para pejabat duduk di atas jabatan dengan menikmati uang hasil koruptor. Padahal uang yang dikorupsi sejatinya hak rakyat yang wajib di berikan kepada yang membutuhkan bantuan. Alhasil, rakyat membutuhkan sistem alternatif yang tidak hanya solutif, tetapi juga menyejahterakan. Sistem tersebut tidak lain adalah Islam.
Islam yang diterapkan secara komprehensif niscaya akan mencipta kesejahteraan dan menghalangi eksploitasi SDA oleh individu. Sebab, sistem ini bersumber dari Al-Qur'an dan As-Sunnah yang merupakan aturan dari Al-Khaliq Al-Mudabbir, bukan bersumber dari aturan manusia yang lemah dan terbatas.
Dalam naungan sistem Islam, niscaya semua keuangan, harta, dan kekayaan alam akan dikelola dengan sebaik-baiknya sebagai wujud tanggung jawab penguasa. Hal ini pernah dicontohkan oleh Rasulullah SAW dan para khalifah sesudahnya.
Para khalifah tidak hanya bertanggung jawab dalam menyejahterakan rakyatnya, tetapi juga memiliki ketakwaan yang tinggi dalam menjaga amanah. Misalnya, saat masa kepemimpinan Khalifah Abu Bakar ra, ketika beliau diberikan santunan Baitul Mal, dana tersebut digunakan untuk mencukupi kebutuhan keluarganya dengan cara sangat sederhana layaknya orang biasa. Bahkan sebelum Khalifah Abu Bakar ra meninggal dunia, beliau berpesan pada keluarganya untuk mengembalikan uang kepada negara sebesar 6.000 dirham, karena kehati-hatian beliau agar tidak memakan uang rakyat. Padahal harta dari Baitul Mal sudah menjadi haknya dan keluarganya.
Begitu pula ketika Umar bin Khattab ra menjabat sebagai khalifah. Kekayaan negara di Baitul Mal meningkat tajam, beliau berhasil menaklukkan Persia dan Romawi. Khalifah Umar ra selalu berhati-hati dalam mengelola uang rakyat. Ibnu Katsir dalam Kitab al-Bidayah wa an-Nihayah menukil pidato Umar, "Tidak dihalalkan bagiku dari harta milik Allah ini selain dua potong pakaian musim panas dan musim dingin, serta uang yang cukup untuk kehidupan sehari-hari seseorang diantara orang Quraisy biasa, dan aku adalah orang biasa seperti kebanyakan orang kaum Muslim."
Khilafah sangat fokus dalam memberantas tindak korupsi. Dalam Islam, tindakan gratifikasi dan suap menyuap diharamkan, dan pihak yang terlibat mendapat laknat dari Allah. Rasulullah SAW bersabda, "Allah melaknat penyuap dan yang disuap dalam urusan hukum" (H.R. Tirmidzi).
Wallahu a'lam bishshawab. []
Oleh: Suanah, S.Ag.
Aktivis Muslimah
0 Comments