Terbaru

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Subsidi Setengah Hati, BLT Satu-satunya Solusi?

TintaSiyasi.com -- Geli rasanya membaca salah satu media online yang mengabarkan kondisi di Bali selepas pengumuman penyesuaian harga BBM tidak mengalami kegaduhan. Sepi-sepi saja, bahkan pembelian BBM cenderung naik, eh? Telusur lebih lanjut, nyatanya pemberitaan dengan judul vulgar seolah tak ada kepanikan dan naiknya pembelian BBM, karena memang pada dasarnya harga BBM sudah naik. Jadi, kalau kita biasa isi bensin 25 ribu sudah full, nah sekarang kalau mau full apa ya cukup dengan 25 ribu? Oh tidak. Walhasil jadilah mau tidak mau mesti rogoh dompet lebih dalam lagi. Ya wajar saja kalau kemudian kenaikan harga BBM memaksa masyarakat membeli BBM lebih banyak, yang awal 25 ribu sekarang jadi 35 ribu. Apakah hal tersebut menunjukkan daya beli masyarakat meningkat? Tentu saja no, alias salah besar. Yang benar adalah masyarakat terpaksa harus membeli BBM dengan harga yang lebih tinggi. This is the fact.

Sabtu 3 September 2022 siang lalu ketok palu pemerintah telah resmi menaikan harga BBM. Gilanya, rata-rata kenaikan harga berkisar Rp 1.700-2.550 per liter. Kalau diingat selama 8 tahun pemerintahan Presiden yang sekarang, telah terjadi 7 kali kenaikan harga BBM. Cek saja pernyataan Direktur Eksekutif Energy Watch Mamit Setiawan yang membenarkan bahwa Jokowi telah 7 kali mengubah harga BBM Subsidi. Mulai 17 November 2014, 1 Januari 2015, 1 Maret 2015, 28 Maret 2015, 30 Maret 2015, 10 Oktober 2018, dan 3 September 2022. Di tahun 2014-2018 kenaikan hanya berkisar dari Rp 400-2.000 per liter (Liputan6.com, Minggu (4/9/2022)). So, kenaikan BBM tahun ini menjadi kenaikan paling tinggi dibanding tahun-tahun sebelumnya. Nyesek banget.

Lagi-lagi kambing hitam dari tak sesuainya harga BBM konon katanya karena subsidi salah nemplok. Disinyalir banyak kaum tajir ikutan menikmati harga subsidi yang harusnya hanya boleh buat kaum papa saja. Dan alasan utama yang paling hebat adalah subsidi membebani APBN. Ujung-ujungnya kalau APBN terus-terusan memberi subsidi maka keuangan negara bisa kolaps. Jadi harus ngertilah, kalau harga BBM mesti disesuaikan supaya APBN tidak jeblok. Konon katanya meski harga per barel minyak mentah dunia turun tapi harga minyak mentah Indonesia atau bahasa kerennya ICP lagi naik. So kalau dihitung dari ICP ini tentu subsidi akan membengkak dari total yang sudah disiapin pemerintah. Kabarnya angka 502 triliun untuk subsidi energi tahun ini dianggap sudah sangat besar dan membebani APBN. Apalagi jika harga ICP naik dan harga BBM tidak disesuaikan bisa diprediksi kenaikan subsidi energi tembus 600 triliun. 

Lantas muncullah solusi klasik dari problem panik kenaikan BBM dengan bagi-bagi BLT. Rupanya pemerintah membuat jurus aman membujuk rakyat dengan uang tunai. Bak Robin Hood pahlawan kaum dhuafa, bantuan sebesar Rp 600 ribu pun dirancang untuk 20,65 juta keluarga miskin selama empat bulan. Padahal Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat jumlah penduduk miskin Indonesia pada Maret 2022 sebanyak 26,16 juta orang. Nah loh, terus yang 6 juta-an jiwa mau dapat apa dong? Ini 6 juta jiwa ya, bukan hanya 6 orang yang kelewat gak dapat BLT. Mirisnya lagi, BPS menetapkan Garis Kemiskinan pada Maret 2022 adalah mereka yang hanya punya penghasilan sebesar Rp 505.469 per bulan. Artinya mereka yang punya penghasilan atau membelanjakan uang per bulan di atas garis kemiskinan tersebut, bukan lagi kelas bawah tapi kelas mewah.

Jujur, efek domino kenaikan BBM tak cukup diatasi dengan adanya bansos yang jumlahnya kecil dan penerimanya sangat terbatas. BLT tak akan mampu meredam lonjakan OMB (Orang Miskin Baru) karena kenaikan harga BBM secara otomatis membawa seluruh kenaikan harga barang dan jasa. Endingnya kesejahteraan akan makin jauh untuk diraih. Kondisi sulit ini secara natural akan mudah memicu tindak kejahatan, karena keterpaksaan dan tuntutan kebutuhan hidup. Bolehlah diibaratkan BLT bagai lips balm yang dipakai untuk melembabkan dan melembutkan amarah gejolak ketidakadilan kepemilikan.

Lempar tanggung jawab atas kesejahteraan rakyat dengan hanya memberikan bantuan tunai pada sebagian rakyat, merupakan penyakit bawaan sistem kapitalis. Sistem yang sok mensyaratkan kemandirian rakyat, hakikatnya hanyalah untuk melindungi kepemilikan yang dikuasai korporasi. Salah satunya adalah sumber energi, yang mulai dari eksplorasi, pengelohan hingga distribusinya diserahkan pada swasta. Hingga tak aneh jika negeri muslim yang kaya akan sumber energi masih harus membeli BBM dari asing. Parahnya, bahan baku dari BBM yang dikelola swasta (eksplorasi energi) diambil dari negeri muslim sendiri, dengan dalih investasi dan percepatan pembangunan. 

Bagai langit dan bumi, sistem Islam berbeda secara krusial dalam pengelolaan energi dibanding dengan sistem kapitalis. Sumber daya alam merupakan kepemilikan umum yang menopang kebutuhan seluruh umat. So, tidak boleh ada tangan-tangan individu ataupun geng-geng mafia korporasi yang boleh ikutan menjamah pengelolaannya. Satu-satunya yang punya otoritas untuk mengelola hanyalah negara, sebagai wakil rakyat untuk menghadirkan kemaslahatan umat. Dalam sistem Islam rakyat dijamin mendapatkan manfaat energi secara sangat murah dan bahkan gratis. Negara akan full memikul beban subsidi, yang menjamin per individu rakyat seluruhnya menikmati manfaat energi, kaum papa maupun kaum kaya.

Subdisi atau jaminan dalam Islam atas kebutuhan dasar manusia ditunjang penuh oleh kas negara. Di mana aliran pemasukan kas negara berasal dari 3 pos yang merupakan sumber yang tak pernah habis keberadaannya. Pertama, sumber pemasukan dari bagian Fai dan Kharaj (berasal dari ghanimah -harta rampasan perang-, kharaj -pengelolaan tanah yang dibebaskan-, status tanah-tanah yang dikuasai negara, jizyah -harta yang dibayarkan oleh kafir dzimmi sebagai jaminan perlindungan harta dan jiwanya-, fai-rikaz-barang temuan, ash shawafi-tanah dari negara yang dibebaskan, harta waris yang tidak ada pewarisnya dan harta orang murtad, pajak-opsi akhir jika kas negara kosong dan hanya diambil untuk menutup kekurangan saja, insidensil). Kedua bagian kepemilikan umum (padang rumput-hutan, air, api-energi), Ketiga bagian shadaqah/zakat (zakat uang dan perdagangan, zakat pertanian dan buah-buahan, zakat ternak unta, sapi dan kambing).

At last, semua dari kita harus melek bahwa semua yang disampaikan pemerintah sebagai alasan menetapkan kenaikan BBM subsidi, hanyalah cara untuk berkelit dari tanggung jawab menjamin tersedianya BBM yang sangat murah atau bahkan gratis. Soal subsidi salah sasaran dan APBN jebol bila terus memberikan dana ratusan trilyun, just tipu-tipu belaka. Tersingkapnya wajah oplas kapitalisme tak mampu menutup cacat permanen sistem rusak buatan manusia ini. Apakah masih mau dibanggakan dan dipertahankan kebatilannya? []


Oleh: Herdiana Suci Rahayu
Freelance Writer
Baca Juga

Post a Comment

0 Comments