Terbaru

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Subsidi dalam Kapitalisme versus Islam


TintaSiyasi.com -- Kenaikan harga BBM membuat masifnya penolakan dari masyarakat. Betapa tidak, kenaikan harga BBM ini akan menimbulkan efek domino yang menambah kesulitan rakyat. 

Alasan klasik dari pemerintah bahwa ketika BBM terus disubsidi akan membebani APBN. Selain itu menurut pemerintah subsidi tersebut juga tidak tepat sasaran karena sebagian besar dinikmati oleh orang kaya. 

Demi meredam kemarahan rakyat atas kebijakan zalim ini, pemerintah menjanjikan akan memberikan bantuan sosial sebesar Rp600 ribu untuk 4 bulan kepada 20,65 juta keluarga Penerima Manfaat (KPM) senilai Rp12,4 triliun. Tentunya bantuan sosial ini hanyalah solusi tambal sulam. Jumlah KPM yang 20,65 juta itu tentu tidak sebanding dengan keluarga yang terdampak kenaikan harga BBM. Belum lagi tidak ada jaminan bantuan tersebut akan tepat sasaran. Selama ini bantuan sosial yang diberikan pemerintah cenderung bermasalah dan rawan dikorupsi. 

Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) penduduk dikatakan miskin jika pengeluaran kurang dari Rp472.525 per bulan atau kurang dari Rp16.000 per hari. Jumlahnya pada September 2021 sebanyak 26,50 juta orang. Belum lagi jumlah keluarga yang berpenghasilan menengah, dan pengangguran terbuka. Maka, bansos dari pemerintah tentu tidak akan menyelesaikan masalah mereka. Bansos ini justru akan menimbulkan kecemburuan sosial karena rentan tidak tepat sasaran. 


Subsidi dalam Kapitalisme

Kapitalisme yang diterapkan saat ini hampir di seluruh dunia termasuk Indonesia telah nyata memberikan banyak mudharat. Faktor penting dalam sistem ekonomi kapitalisme adalah motif keuntungan materi. Teori Adam Smith dalam bukunya yang berjudul Wealth of Nation menjelaskan konsep Laissez Faire serta prinsip Invisible Hand. Kedua konsep ini menjadi kerangka dasar pembentukan teori sistem ekonomi kapitalis yang di dalamnya memuat nilai barang dan jasa, struktur harga, harga konsumsi, dan harga penentuan produksi. Adam Smith menuliskan bahwa semua orang seharusnya bebas bekerja dan berusaha tanpa intervensi dari pemerintah. 

Dalam kapitalisme,  subsidi dianggap beban negara. Maka, pembatasan BBM dilakukan sebagai tahap awal penghapusan subsidi. Grossman dalam Sistem-Sistem Ekonomi (1995) menerangkan bahwa dalam kapitalisme terdapat dua macam pengendalian ekonomi oleh pemerintah yaitu langsung dan tidak langsung. Pengendalian langsung yaitu kebijakan yang bekerja dengan mengabaikan mekanisme pasar, seperti embargo perdagangan dan penetapan harga tertinggi suatu barang. Sementara pengendalian tidak langsung adalah yang berdasarkan mekanisme pasar seperti penetapan tarif serta bermacam pajak dan subsidi. 

Subsidi dalam kapitalisme menyangkut peran negara dalam ekonomi khususnya pelayanan publik. Kebijakannya juga berbeda-beda karena ternyata kapitalisme punya berbagai jenis aliran. Salah satunya aliran Friedrich Hayek dan Milton Friedman yang menjadi penggagas lahirnya aliran neoliberal yang memandang intervensi pemerintah dalam ekonomi adalah ancaman paling serius bagi mekanisme pasar. Maka tidak heran kenapa subsidi harus dicabut. Negara harus punya hitungan untung-rugi layaknya orang yang sedang berbisnis. Bahkan pelayanan publik murni seperti dalam bentuk subsidi dianggap suatu pemborosan dan inefisiensi (Wikipedia). Dalam skala internasional, neoliberalisme menjadi hegemoni global melalui tiga aktor utamanya yaitu: WTO, IMF, dan Bank Dunia. 

Indonesia telah lama terperangkap dalam hegemoni global ini. Maka pencabutan subsidi dengan alasan membebani negara atau yang lain hanya omong kosong. Padahal banyak faktor lain yang jauh lebih membebani negara seperti utang, korupsi, dan pembangunan infrastruktur yang dipaksakan. Beban negara terjadi karena pemasukan negara bertumpu pada pajak dan utang luar negeri. Sementara sumber daya alam yang melimpah diserahkan pengelolaannya kepada swasta lokal dan asing. 

Di saat subsidi kepada rakyat dianggap beban, pemerintah tetap berambisi melanjutkan proyek pembangunan Ibu Kota Negara (IKN) yang biayanya tidak sedikit yaitu sekitar Rp486 triliun yang 20 persennya diambil dari APBN. Belum lagi proyek pembangunan insfrastruktur lainnya yang mangkrak atau biayanya membengkak. Sementara pembangunan fisik seperti itu bukanlah hal yang penting dan tidak memberikan manfaat untuk banyak orang. 

Sungguh ini sangat ironi, negara yang seharusnya melayani rakyat dengan sepenuh hati justru menzalimi rakyatnya dengan berbagai kebijakan. 


Subsidi dalam Sistem Islam

Berbeda dengan kapitalisme yang menganggap subsidi adalah bentuk intervensi pemerintah, tidak membuat rakyat mandiri, serta dapat merusak persaingan ekonomi, maka Islam punya pandangan tersendiri terkait subsidi. 

Islam memandang rakyat adalah amanah. Dalam mengemban amanah ini wajib hukumnya menjadikan syariat sebagai acuan. Subsidi dari perspektif syariah, yaitu kapan subsidi boleh dan wajib diberikan. Jika subsidi dimaknai bantuan keuangan dari pemerintah untuk rakyat maka Islam juga mengadopsi ini. 

Dalam Islam, subsidi bisa dianggap sebagai satu mekanisme yang boleh dilakukan negara yang termasuk dalam kategori pemberian harta milik negara kepada individu rakyat dan itu menjadi wewenangnya khalifah. Subsidi ini bisa berupa subsidi bahan baku bagi para produsen, atau subsidi pangan bagi konsumen. 

Subsidi juga bisa diberikan pemerintah untuk sektor pelayanan publik semisal untuk jasa telekomunikasi, kesehatan, energi (BBM dan listrik), perbankan syariah, transportasi umum, dan lainnya.

Pemberian subsidi bisa dengan memberikan produk gratis kepada rakyat seperti BBM atau menjualnya dengan perhitungan pengganti biaya produksi, yang pasti terjangkau oleh semua rakyat. Atau berupa uang tunai hasil keuntungan dari sumber daya alam atau harta milik umum dan negara. Subsidi ini boleh diberikan kepada satu sektor saja semisal pertanian saja, sementara sektor industri atau yang lain tidak. Semua sesuai ijtihad khalifah demi kemashlahatan rakyat. 

Namun, ketika terjadi ketimpangan ekonomi maka, pemberian subsidi yang bersifat mubah ini berubah hukumnya menjadi wajib karena mengikuti kewajiban syariah untuk mewujudkan keseimbangan ekonomi. Hal ini untuk mencegah agar harta tidak beredar pada segolongan orang tertentu. Sesuai firman Allah SWT dalam Al-Qur'an surat Al-Hasyr ayat 7 yang artinya, "Supaya harta itu jangan hanya beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kalian."

Khalifah Umar bin Khattab pernah memberikan harta Baitul Mal kepada petani di Irak agar mereka dapat mengolah lahan pertanian mereka. 

Nabi Muhammad SAW juga pernah membagikan fa'i Bani Nadhir hanya kepada kaum Muhajirin, tidak kepada kaum Ashar karena saat itu Nabi melihat ada ketimpangan ekonomi antara mereka. 

Berkaca dari hal ini maka, subsidi BBM untuk saat ini tidak hanya boleh, tapi wajib karena telah nyata terjadi ketimpangan ekonomi di masyarakat. 

Sementara subsidi untuk sektor pendidikan, kesehatan dan keamanan maka, dalam sistem Islam negara harus menjamin pelayanannya bagi semua warga tanpa kecuali. 

Sekarang sangat jelas perbedaan subsidi dalam Islam versus kapitalisme. Yang satu menganggap tidak perlu, bahkan dianggap beban, sedangkan satu lagi menganggap ini adalah kewajiban negara sebagai bentuk periayahan terhadap rakyat. Pelayanan dan pemenuhan kebutuhan rakyat berlaku sama dan adil. Tidak ada pengkontakan termasuk Muslim dan non-Muslim. 

Hubungan penguasa dengan rakyat bukanlah layaknya pengusaha atau pedagang dan pembeli. Masihkah kita ingin bertahan menerapkan sistem kapitalisme ini? 

Wallahu a'lam bishshawab. []


Oleh: Yuli Ema Marini
Penggiat Literasi
Baca Juga

Post a Comment

0 Comments