Terbaru

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Saat Kota Layak Anak Hanya Sekadar Predikat, Kekerasan Justru Meningkat

TintaSiyasi.com -- Beberapa hari terakhir, isu kekerasan pada anak kembali mencuat.  Sebuah lembaga Save the Children melakukan pendampingan terhadap 32 kasus kekerasan pada anak dan 28 kasus kekerasan terhadap perempuan di Pulau Sumba, Nusa Tenggara Timur (NTT). Hal ini telah mengingatkan kita pada salah satu proyek yang digadang-gadang mampu mensolusi masalah anak di negeri. Yakni proyek Kota Layak Anak.

Saat ini, Kota Layak Anak(KLA) makin banyak diangkat dan dijadikan prioritas pembangunan daerah. Hal ini tentu juga sebagai jawaban atas kondisi kaum ibu yang hari ini dijadikan sebagai mesin kehidupan ekonomi. Menurut UNICEF, kota ramah anak adalah kota yang menjamin hak setiap anak sebagai warga kota. Kota yang diinginkan oleh anak-anak adalah kota yang dapat menghormati hak anak-anak.

Ada 6 (enam) hal yang menjadi upaya mewujudkannya. Pertama, menyediakan akses pelayanan kesehatan, pendidikan, air bersih, sanitasi yang sehat dan bebas dari pencemaran lingkungan. Kedua, menyediakan kebijakan dan anggaran khusus untuk anak. Ketiga, menyediakan lingkungan yang aman dan nyaman sehingga memungkinkan anak dapat berkembang. Keempat, keseimbangan di bidang sosial, ekonomi, dan terlindungi dari pengaruh kerusakan lingkungan dan bencana alam. Kelima, dengan memberikan perhatian khusus pada anak yang bekerja di jalan, mengalami eksploitasi seksual, hidup dengan kecacatan atau tanpa dukungan orang tua. Keenam, adanya wadah bagi anak-anak untuk berperan serta dalam pembuatan keputusan yang berpengaruh langsung pada kehidupan anak-anak (perkim.id).

Kota layak anak di Indonesia untuk tahun ini dinilaisudah lebih terarah dengan adanya Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 2021 tentang Kebijakan Kabupaten/Kota Layak Anak (KLA). Dalam peraturan tersebut dijelaskan, bahwa kebijakan KLA bertujuan untuk mewujudkan sistem pembangunan yang menjamin pemenuhan hak anak dan perlindungan khusus anak yang dilakukan secara terencana, menyeluruh, dan berkelanjutan. Namun, apakah usaha dan tujuan yang seakan ‘mulia’ tersebut sudah dirasakan dan mampu menjawab problematika yang menimpa anak khususnya di Indonesia hari ini?

Apalagi tiap tahunnya, jumlah KLA makin bertambah. Di tahun 2021, sebanyak 275 daerah di Indonesia menerima penghargaan Kabupaten dan Kota Layak Anak dari Kementrian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak(KPPPA), karena dinilai memiliki komitmen tinggi memenuhi hak dan pelindungan anak. Sedangkan di tahun sebelumnya yakni tahun 2019, ada 249 Kabupaten dan Kota yang menerima penghargaan yang sama. Dan tahun 2022 ini, bertambah lagi sebanyak 320 daerah. Pertanyaannya, apakah dengan bertambahnya daerah KLA ini berbanding lurus dengan kenyataan ‘baiknya’ kondisi anak Indonesia?


Kenyataan Pahit Nasib Anak Indonesia di Balik Isu KLA

Tak bisa dipungkiri, upaya untuk memberikan perlindungan dan pemenuhan yang layak terhadap anak di negeri ini ternyata jauh panggang dari api. Kondisi anak negeri sedang tidak baik-baik saja. Tercatat, korban kekerasan terhadap anak meningkat dari 12.285 pada 2019, d pada 2020, dan menjadi 15.972 di sepanjang tahun 2021.  Dan di tahun 2022 ini saja, per Januari hingga Maret terlapor 979 anak menjadi korban kekerasan seksual (kompas.com).
 
Ini baru perkara kekerasan seksual. Sedangkan masalah yang dihadapi anak hari ini sangatlah kompleks, mulai dari perundungan hingga masalah terabaikannya nasib mereka dalam mendapatkan hak pendidikan dan kehidupan yang layak. Laporan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) menunjukkan, ada 75.303 orang anak putus sekolah (tingkat SD) di tahun 2021. Data ini mengalami peningkatan dibanding tahun 2020 yakni sebanyak 44.516 (katadata.co.id).

Kenyataan pahit yang dialami anak Indonesia termasuk anak di belahan dunia, jelas bukan bersifat kasuistik semata. Melainkan ada pengaruh sistem tatanan kehidupan yang menaunginya. Hal ini bisa kita lihat dari rusaknya kondisi sosial hari ini, termasuk juga buruknya pelayanan kesehatan, pendidikan hingga abaikan para penguasa negeri untuk sekadar memastikan apakah anak Indonesia sudah terpenuhi seluruh haknya. Sistem tatanan kehidupan sekularistik yang menjauhkan aturan agama dari kehidupan menjadi sumber awal kerusakan tatanan kehidupan hari ini.

Pemerintah yang harusnya menjadi pilar paling kuat dalam melindungi dan memenuhi hak anak, kini hanya menjadi regulator bagi semakin kuatnya ‘bisnis’ kaum kapitalis. Berdalih KLA, pembangunan Kabupaten/Kota lebih didominasi memenuhi keinginan pemilik modal dalam penataan kota. Terlihat dari pembangunan fisik seperti alun-alun ramah anak, mall ramah anak dan tempat-tempat wisata yang dibalut dengan slogan ‘layak anak atau ramah anak’. Sikap pemerintah yang kapitalistik inilah yang hakikatnya menjadi alasan atas persoalan anak yang tak kunjung usai bahkan makin parah. 


Islam, Solusi Hakiki Atas Persoalan yang Menimpa Generasi

Rasulullah SAW sang “qudwah hasanah” telah menyatakan bahwa anak merupakan buah hati dan makhluk suci. “Anak adalah ‘buah hati’, karena itu termasuk dari wangi surga” (HR Tirmidzi). Beliau telah menetapkan dan memberi contoh langsung bahwa negara lah yang menjadi penanggung jawab utama bagi semua kebutuhan rakyatnya termasuk anak. Dalam hadis riwayat Imam Bukhari Muslim, Rasulullah SAW bersabda: “Seorang Imam (khalifah/kepala negara) adalah pemelihara dan pengatur urusan rakyat dan ia akan dimintai pertanggungjawaban atas urusan rakyatnya.

Melalui tegaknya pemerintahan Islam, semua hak-hak anak jelas akan dipenuhi. Bukan sekadar retorika belaka, atau hanya dibahas dalam forum-forum nasional dan internasional tanpa adanya realita. Islam hadir sebagai solusi dalam menjamin nasib anak di dunia dan juga akhiratnya. Islam memandang anak sebagai bagian dari masyarakat juga harus mendapatkan hak-haknya secara utuh dan benar sehingga mereka dapat tumbuh dan berkembang sebagaimana mestinya. Maka, jaminan Islam terhadap anak dimulai dari jaminan hidup baik saat berada dalam rahim ibunya hingga dia lahir ke dunia. Termasuk di dalamnya, jaminan pendidikan, keamanan, kesehatan, dan kehidupan sosial yang jauh dari kekerasan, baik fisik maupun seksual. 

Jaminan Islam ini merupakan wujud dari jaminan Allah SWT yang bersifat pasti atas semua makhluknya, terutama manusia. Melalui penerapan syariah Islam yang sempurna atas dasar keimanan kepada Allah SWT, pemerintahan Islam mampu mewujudkan perlindungan terhadap anak.  Maka, tegaknya Islam dalam Institusi Khilafah Islamiah merupakan perkara darurat untuk mengeluarkan anak dari kenyataan pahit yang mereka alami hari ini. Wallahu a’lam. []


Oleh: Yulida Hasanah 
Aktivis Muslimah Brebes
Baca Juga

Post a Comment

0 Comments