Terbaru

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Permasalahan Food Loss and Waste Hanya Selesai dengan Islam


TintaSiyasi.com -- Peringatan hari kepedulian susut dan limbah pangan internasional atau International Day of Awareness of Food Loss and Waste (FLW) jatuh pada 29 September. Sebenarnya apa itu food loss dan food waste? Keduanya adalah sampah pangan. Lebih jauh lagi, food loss mengacu pada hasil dari fase produksi, penyimpanan, pemrosesan, dan distribusi yang terjadi sebelum makanan sampai ke konsumen. Sedangkan, food waste mengacu pada produk makanan yang fit for consumption namun secara sadar dibuang pada fase ritel atau konsumsi (hsph.hardvard.edu). U.S. Environmental Protection Agency, (2021) melaporkan bahwa FLW maghasilkan kerugian yang berdampak pada peruubahan iklim, emisi gas rumah kaca (menghasilkan CO2, gas metana) dan lingkungan seperti jamur, hama, bakteri, degradasi sumber daya air tawar, hilangnya keanekaragaman hayati dan peran ekosistem, serta penurunan kualitas tanah dan kualitas udara.

Seperti yang kita ketahui peringatan kesadaran peduli pangan terus berulang setiap tahunnya namun persoalan pangan tidak pernah terselesaikan. Dr. Nancy Aburto, wakil direktur Divisi Pangan dan Gizi FAO mengatakan: “Food insecurity, hunger and malnutrition are impacting every country in the world and no country is unaffected; 811 million people suffer hunger, two billion suffer micronutrient deficiencies – that’s vitamin and mineral deficiencies - and millions of children suffer stunting and wasting, deadly forms of under-nutrition.”

Yakni saat ini, tidak ada negara di dunia yang absen dari kerawanan pangan, kelaparan, dan kekurangan gizi. Sebaliknya, susut dan limbah pangan atau food loss and waste bukanlah sekadar teori. Secara global terjadi fenomena food loss and waste (news.un.org). Di Indonesia sendiri, Sampah makanan yang dihasilkan sebesar 23-48 juta ton pertahun dari tahun 2000 hingga 2021. Jumlah itu mampu menghidupi 61-125 juta penduduk pertahun di Indonesia. Tidak mengherankan jika Idonesia terkategori negara dengan tingkat kelaparan sedang di 2021 (globalhungerindex.org). Selain itu, Indonesia masuk peringkat tiga negara dengan tingkat kelaparan tertinggi (global intellegence unit, Bappenas).

Kondisi yang tidak semestinya ini tentu menimbulkan pertanyaan. Bagaimana bisa terdapat kondisi kerawanan pangan, kelaparan, hingga kekurangan gizi di negara yang sampah pangannya terkategori tinggi. Tidakkah ini sudah bisa disebut sebagai kegagalan tata kelola suatu negara? Bagaimana tidak? Suatu hal yang biasa terjadi di mana pun bahwa produsen dan konsumen bersikap boros terhadap bahan dan pangan itu sendiri. Pertama, melansir dari suara.com dan food.detik.com produk makanan yang berlimpah dibuang begitu saja karena sudah dibatas layak makan bahkan adakalanya masih layak makan dibuang karena tidak laku, padahal ada potensi sebelum kadaluarsa bisa dijual dengan harga murah namun bagi beberapa ritel tidak mau menurunkan standar dan harga produknya. Selain itu, produsen/pemilik ritel bisa saja memberikan produknya kepada yang membutuhkan atau disalurkan kepada badan amal sebelum kadaluarsa. Kedua, dari sisi konsumen biasa terjadi makanan yang tidak dimakan karena tidak enak atau tidak selera, makan terlalu banyak dan berujung dimuntahkan, memasan banyak makanan hanya untuk icip-icip saja, dan banyak lagi. Ini menunjukkan ada yang tidak beres dengan pola pikir dan pola sikap rakyat yang terbentuk dalam sistem negara. Bagi produsen untung rugi materi sangat diperhitungkan dan bagi konsummen sikap meliarkan kesenanagan pribadi (makanan). Kedua fakta ini biasa terjadi tanpa memerdulikan banyak saudaranya kelaparan, bisa makan namun tidak memenuhi gizi dengan lengkap hingga makanan yang tak layak makan.

Janganlah kalian beristinjak dengan menggunakan kotoran atau tulang, karena tulang adalah bahan makanan saudara kalian dari golongan jin" (HR. Tirmidzi).

Dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi, sesudah (Allah) memperbaikinya…” (TQS Al-A’raf [7]: 56).

Siapa pun orang mukmin yang memberi makan mukmin lain saat lapar, Allah akan memberinya makan dari buah surga, siapa pun mukmin yang memberi minum mukmin lain saat dahaga, Allah akan memberinya minum pada hari kiamat dengan minuman yang penghabisannya adalah beraroma wangi kesturi, siapa pun mukmin yang memberi pakaian mukmin lain saat telanjang, Allah akan memberi pakaian dari sutera surga” (HR. At-Tirmizi No. 2449).

Dari Abdullah bin Umar bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berkata: “Ketahuilah bahwa setiap dari kalian adalah pemimpin dan setiap dari kalian akan dimintai pertanggung jawaban atas kepemimpinannya, seorang pemimpin umat manusia adalah pemimpin bagi mereka dan ia bertanggung jawab dengan kepemimpinannya atas mereka, ….” (HR Abu Dawud).

Dalam Islam perbuatan boros, termasuk membuang-buang makanan adalah hal yang jelas dilarang sedangkan sedekah itu adalah sunah. Dan bagi pemimpin adalah suatu kewajiban untuk mengurus (meriayah) rakyatnya. Jika pedoman ini digunakan maka tentu food loss and waste serta kerawanan pangan, kelaparan, dan kurang gizi tidak akan terjadi. Mengambil contoh Indonesia yang merupakan negeri mayoritas Muslim nyatanya aturan dan solusi Islam tidak digunakan sebagai cara pandang hidup. Bukankah solusi dan aturan Islam seharusnya dipakai dalam berkehidupan?

Kondisi ini terjadi secara sistemis tidak hanya di Indonesia tapi di seluruh dunia. Jika demikian bukankah akar masalahnya ada pada cara pandang hidup yang salah? Sebagaimana disadari bahwa dunia saat ini dipimpin oleh ideologi kapitalisme, maka cara pandang hidupnya adalah karakter kapitalisme itu sendiri yakni sekuler dan materi (keuntungan/manfaat). Ialah kewajaran dalam sistem kehidupan kapitalisme, bahwa keuntungan adalah yang utama dan agama tidak untuk sistem kehidupan. Baginya agama hanya di ranah pribadi saja (ibadah). Tidak heran jika justru secara sistemis perilaku konsumtif, tidak peduli lingkungan dan sesama selama ada keuntungan terus diliarkan melalui program melalui food, fun, fashion, music, and film melalui media. Ketika ideologi ini menjadi cara pandang hidup manusia hari ini, maka kondisi food loss and waste dan kerawanan pangan, kelaparan, dan kurang gizi tentu tak terselesaikan tuntas. 

Dari hasil pengkajian dari buku/ijtihad Syekh Taqiyuddin an-Nabhani, dapat dan diketahui beberapa poin, antara lain: 

Pertama, setiap ideologi memiliki karakteristik untuk senantiasa menanamkan dan menyebarkan ideologi itu agar senantiasa diemban oleh pengembannya. 
Kedua, penguasa/pemimpin negeri tidak mampu menjaga rayatnya dari sikap boros, berorientasi pada materi dan manfaat, dan tidak perduli sesama, serta negarapun tak mampu memastikan rakyatnta terurus dengan baik dan benar. 
Ketiga, kapitalisme mengehegemoni penduduk dunia dengan sekularisme yang ditanamkan dan memanfaatkan naluri yang dimiliki manusia untuk senantiasa diaruskan untuk pemenuhan secara bebas, meskipun ada batasan-batasan yang dibuat oleh pemangku kebijakan namun tidak sedikit banyak darinya tidak mampu menghentikan pelanggaran syariat. Inilah akar masalah sistemik hari ini.

Maka solusi hari ini yang bisa dilakukan adalah mengkaji ilmu terkait seperti teknik lingkungan, gizi, biologi, dan lain-lain (fardhu kifayah) dan Islam sebagai the way of life yang shahih dan pasti menyelamatkan di dunia dan akhirat yang setiap aturannya saling melengkapi (fardhu ain) karena itu adalah kunci untuk menuntaskan permasalahan ini. Tidak sampai di situ, butuh juga penyadaran secara sistemis. Dan bersama-sama mereinstall cara pandang yang salah menuju cara pandang yang dijamin benar, menyelamatkan, sesui fitrah manusia. Sehingga tidak hanya persoalan food loss and waste dan kerawanan pangan, namun permasalahan di segala lini kehidupan dengan dikembalikan lagi cara pandangnya pada cara pandang yang benar. 

Wallahu a’lam. []


Oleh: Ani
Alumni Universitas Airlangga
Baca Juga

Post a Comment

0 Comments