TintaSiyasi.com -- Tegakkan hukum, tanpa pandang bulu. Tampaknya slogan tersebut sedang menuntut pembuktian dari tuannya. Ya, kini masyarakat dibuat tercengang dengan dibebaskannya 23 narapidana korupsi dengan pembebasan bersyarat pada Selasa, 6 September. Diketahui, beberapa diantaranya adalah mantan jaksa, Pinangki Sirna Malasari; mantan Gubernur Banten, Ratu Atut Chosiyah; mantan Menteri Agama, Suryadharma Ali; mantan Hakim MK, Patrialis Akbar; dan Gubernur Jambi, Zumi Zola. Selain itu, terdapat juga mantan Dirut Jasa Marga, Desi Arryani; dan Mirawati Basri (m.merdeka.com, 7/9/2022).
Masa pidana para koruptor ini dipersingkat dengan mendapatkan remisi dan pembebasan bersyarat. Hal ini sesuai dengan keputusan Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham) dalam Peraturan Menteri Hukum dan HAM (Permenkumham) Nomor 7 tahun 2022. Aturan baru ini sebagai buntut putusan Mahkamah Agung (MA) yang membatalkan PP Nomor 99 Tahun 2012 atau yang lazim dikenal PP Pengetatan Remisi Koruptor.
Dalam aturan Permenkumham Nomor 7 tahun 2022, disebutkan bahwa bagi koruptor yang ingin mendapatkan remisi agar dapat bebas bersyarat harus memenuhi persyaratan. "Diantaranya wajib sudah membayar denda dan uang pengganti. Bagi narapidana kasus korupsi untuk mendapatkan hak remisi maupun integrasi (pembebasan bersyarat, cuti bersyarat dan cuti menjelang bebas)," ungkap Koordinator Humas dan Protokol Ditjen Pas, Rika Aprianti, dalam siaran persnya, Minggu (31/1/2022) (detik.com, 7/9/2022).
Sejumlah pihak pun akhirnya mempertanyakan dasar dari pembebasan narapidana korupsi tersebut. Mengingat ke-23 narapidana termasuk pelaku korupsi dengan angka yang fantastis dan dapat disebut koruptor kelas kakap.
Pembebasan yang dilakukan oleh pemerintah pun tanpa kejelasan yang cukup kuat. Namun demikian, pemerintah berdalih bahwa hal tersebut sesuai dengan aturan. Pembebasan bersyarat terhadap narapidana dapat diberikan dengan syarat mengacu kepada pasal 10 UU Pemasyarakatan Nomor 22 Tahun 2022, yang mana poin yang tercantum di dalamnya di antaranya berkelakuan baik, aktif mengikuti program pembinaan, serta telah menunjukan penurunan tingkat risiko. Namun, yang menjadi pertanyaan lanjutan, mengapa seolah hukum lembek terhadap mereka yang sudah jelas-jelas membuat kerugian besar bagi negara.
Seharusnya negara mampu bersikap tegas dan mencabut hak remisi dan pembebasan bersyarat bagi pelaku tindak pidana korupsi. Sebagaimana yang dikemukakan oleh Pusat Kajian Anti Korupsi (Pukat) Universitas Gadjah Mada (UGM) yang menyatakan setuju terkait wacana Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk menuntut para terdakwa kasus korupsi dengan pencabutan hak remisi dan pembebasan bersyarat. Wacana itu dinilai memungkinkan untuk diterapkan.
Peneliti Pukat UGM, Zaenur Rohman, menyampaikan bahwa kejaksaan dan KPK setiap menuntut terdakwa tipikor (tindak pidana korupsi) itu harus memberi tuntutan salah satunya pencabutan hak-hak tertentu. Salah satu hak tertentu itu adalah hak pembebasan bersyarat dan hak remisi (Beritasatu.com,11/9/2022).
Yang lebih mencengangkan,nantinya para mantan koruptor ini masih dapat melenggang untuk mengikuti kontestasi politik dan mencalonkan dirinya untuk ikut serta dipilih oleh masyarakat dalam pemilu 2024 mendatang. Hal yang sungguh mengherankan. Sudah merugikan negara, menjadi pengkhianat rakyat, mencederai konstitusi, eh nyatanya masih diberi hak istimewa.
Andai penegakan hukum semacam ini yang terus dipertontonkan, maka sangatlah wajar apabila tingkat kepercayaan masyarakat terhadap penegak hukum dipertanyakan ulang. Sebab, menunjukan dengan nyata ketidakadilan, cacatnya konstitusi penegakan hukum di negeri ini sebagai lembaga yang independen dan berwibawa, nyatanya hilang.
Upaya Komite Pemberantasan Korupsi (KPK) pun melemah, jika pada akhirnya pidana yang diberikan terkesan ringan dan seolah main-main. Kini korupsi seolah dianggap bukan lagi sebagai extraordinary crime, melainkan kejahatan yang biasa-biasa saja. Bukan tidak mungkin, nantinya justru akan melahirkan koruptor-koruptor baru. Bahkan dapat terjadi para mantan terpidana korupsi akan kembali berulah lagi. Jika begitu, lalu di mana letak efek jeranya?
Kondisi ini jelas berbeda dengam sistem sanksi dalam Islam, yang mana dibuat sebagai pencegah dan penebus. Sehingga dipastikan tidak akan ada pelaku kejahatan yang melakukan kejahatannya secara berulang atau diteladani keburukannya. Masyarakat justru akan berpikir ribuan kali untuk menjadi pelaku kejahatan yang serupa. Sebab, hukum dan sanksi dalam Islam bersikap tegas, yaitu bersifat sebagai zawajir (pencegahan) dan jawabir (penebus dosa).
Demikianlah, kejujuran begitu mahal harganya dalam Islam. Bahkan sudah menjadi akhlak yang harus dimiliki bagi setiap manusia. Islam juga sudah memberikan contoh kepemimpinan yang sesuai dengan Al-Qur'an dan As-Sunnah. Salah satunya, yaitu pemimpin yang mempunyai sikap amanah.
Diriwayatkan dari Abdullah bin Mas'ud ra, Rasulullah SAW berkata, "Hendaklah kamu berlaku jujur karena kejujuran menuntunmu pada kebenaran, dan kebenaran menuntunmu ke surga. Dan senantiasa seseorang berlaku jujur dan selalu jujur sehingga dia tercatat di sisi Allah SWT sebagai orang yang jujur. Dan hindarilah olehmu berlaku dusta karena kedustaan menuntunmu pada kejahatan, dan kejahatan menuntunmu ke neraka. Dan seseorang senantiasa berlaku dusta dan selalu dusta sehingga dia tercatat di sisi Allah SWT sebagai pendusta" (HR. Muslim).
Demikian dari Anas bin Malik ra, Nabi SAW berkhutbah di depan kami seraya berpesan, "Tidak (sempurna) iman seseorang yang tidak amanah dan tidak (sempurna) agama seseorang yang tidak menunaikan janjinya" (HR. Ahmad).
Wallahu a'lam bishshawab. []
Oleh: Riani Andriyantih, A. Md. Kom.
Aktivis Muslimah
0 Comments