Terbaru

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Pelajar Tak Bisa Sekolah, Potret Buram Infrastruktur dalam Kapitalisme


TintaSiyasi.com -- Jalan merupakan sarana untuk menghubungkan daerah satu ke daerah lainnya. Selain itu, jalan sangat berperan dalam aktivitas masyarakat, baik itu dibidang ekonomi, sosial, pendidikan, hingga kesehatan. Namun, situasi berkebalikan terjadi dibeberapa titik jalan yang rusak di wilayah Konawe Selatan.

Sebagaimana yang dilansir oleh Kendariinfo (9/9/2022), Pelajar di Desa Horodopi, Kecamatan Benua, Kabupaten Konawe Selatan (Konsel), Sulawesi Tenggara (Sultra) mengeluhkan jalan rusak di wilayah tersebut. Jalan rusak itu pun menghambat para pelajar untuk ke sekolah. Siswa kelas 11 SMKN 7 Konsel, Respi, mengatakan jalan itu merupakan satu-satunya akses untuk menimba ilmu di sekolahnya. Respi yang tinggal sekitar 13 kilometer dari sekolah mengaku setiap hari berjibaku dengan jalan rusak. Respi menjelaskan, sejumlah ruas jalan di Kecamatan Benua memang belum pernah diperbaiki sejak lama. Bukan hanya pelajar yang mengeluh, warga sekitar pun merasakan hal serupa. Bahkan jika sudah turun hujan, dia dan teman-temannya yang lain tak bisa ke sekolah karena salah satu ruas jalan sepanjang 50 meter selalu tergenang air.

Ini hanyalah sebagian contoh kecil yang terjadi di Konawe Selatan, padahal jalanan adalah termasuk fasilitas umum yang harus diberikan negara dalam keadaan baik. Artinya, negara harus memastikan bahwa jalanan di manapun harus bisa diakses oleh semua rakyat, baik itu pelajar, petani, dan yang lainnya.

Tetapi yang terjadi hari ini, seolah hal tersebut bukan urusan pemerintah. Sehingga rakyat yang harus menanggung dan menjadi korban. Wajar, negeri bersistem kapitalisme selamanya akan seperti ini. Manfaat secara materi yang menjadi prioritas. Tentu saja manfaat bagi pribadi, bukan bagi rakyatnya. Jalan berlubang dan rusak sekalipun, seolah tak peduli. Padahal jika disadari bahwa jalan merupakan kebutuhan yang sangat vital bagi masyarakat. Negara justru menggandeng swasta dalam pembangunan infrastruktur, akibatnya infrastruktur dipandang sebagai ladang bisnis. Semua tergantung pada kepentingan dan hitung-hitungan bisnis pihak swasta dan bukan untuk kepentingan rakyat. Maka yang terjadi adalah banyak jalan rusak terabaikan namun tidak kunjung diperbaiki bahkan meski itu adalah akses menuju sekolah. Betapa sengsaranya anak bangsa yang hidup miskin perhatian pemerintah.

Inilah konsekuensi penerapan kapitalisme sekuler dalam kehidupan bernegara. Penguasa tidak bertanggung jawab penuh dalam mengurus rakyatnya. Ketika pembangunan bukan didasarkan pada asas tanggung jawab, bahkan lebih mementingkan para korporat, maka bisa dipastikan mereka dengan mudah mengabaikan urusan rakyat. 

Inilah kondisi yang terjadi hari ini, jauh berbeda dengan sistem Islam. Islam sangat memprioritaskan pengurusan terhadap umat, karena berangkat dari kesadaran bahwa setiap pemimpin akan dimintai pertanggungjawaban oleh Allah SWT, maka segala hal akan didasarkan pada syariah termasuk dalam penyediaan infrastruktur. Dalam Islam, infrastruktur adalah fasilitas umum yang dibutuhkan oleh semua orang dan wajib disediakan oleh negara seperti air bersih, listrik, dan jalan raya. Pembangunan infrastruktur ini didanai dari Baitul Mal. Sumber dana Baitul Mal berasal dari fai, kharaj dan pengelolaan harta kepemilikan umum seperti sumberdaya alam secara optimal oleh negara. Ketika dana di Baitul Mal tidak tersisa, barulah negara akan mengambil pajak hanya dari kaum Muslim laki-laki dan mampu.

Sejarah telah mencatat masa kepemimpinan Umar Bin Khattab tentang besarnya perhatian beliau terhadap infrastruktur, seperti kisah jalanan berlubang di Irak. Khalifah kedua yang terkenal tegas dan tegar dalam memimpin itu tiba-tiba menangis. Informasi dari salah satu ajudannya tentang peritiwa yang terjadi di tanah irak telah membuatnya sedih dan gelisah. Seekor keledai tergelincir kakinya dan jatuh ke jurang akibat jalan yang dilewati rusak dan berlubang. Melihat kesedihan Umar, sang ajudan lalu berkata, “Wahai Amirul Mukminin bukankah yang mati hanya seekor keledai?” Dengan wajah serius dan nada marah umar menjawab, “Apakah engkau sanggup menjawab di hadapan Allah ketika ditanya tentang apa yang telah kau lakukan ketika memimpin rakyatmu?” Dalam redaksi lain dijelaskan Umar bin Khattab ra berkata "Seandainya seekor keledai terperosok di kota Baghdad karena jalan rusak, aku sangat khawatir karena pasti akan ditanya oleh Allah SWT, ‘mengapa kamu tidak meratakan jalan untuknya?’.

Jika keselamatan binatang saja sangat membuat Umar takut, apalagi berkaitan dengan keselamatan jiwa manusia. Tentu, bila kita hari ini dipimpin oleh mereka yang memahami Islam dan mengatur dengan aturan Islam, tidak akan ditemui kasus sebagaimana huru hara antara pemerintah dan masyarakat. Jelas sekali terlihat bagaimana pemerintah tidak memiliki power di hadapan korporasi swasta.

Artinya, jika pemimpinnya saja belum mampu untuk menyediakan infrastruktur yang memadai seperti jalan, maka bagaimana ia mampu mensejahterakan rakyatnya? Mengingat, transportasi merupakan poros utama untuk pendistribusian kebutuhan rakyat. Jika sarana transportasi dan infrastrukturnya tidak memadai, bagaimana kebutuhan lainnya. Tentunya, memadai juga bukan dibuktikan dengan memperbanyak jalan tol yang untuk melewatinya rakyat diharuskan membayar biaya tertentu. Ini jelas berlawanan dengan konsep ingin mensejahterakan rakyat.

Pemenuhan pelayanan ini, hanya akan mampu terwujud dengan pengaturan ekonomi Islam. Hanya sistem ekonomi Islamlah yang mampu mengatur bagaimana pembagian dan peruntukkan sumber daya alam kepada masyarakat. Selain itu, fasilitas-fasilitas umum pun dibangun bukan sekadar untuk mencari keuntungan, melainkan dikelola oleh negara untuk bisa dimanfaatkan sebesar-besarnya oleh rakyat.

Begitulah tanggung jawab seorang pemimpin negara. Terlebih ada landasan iman dan takut kepada Allah SWT akan hari hisab kelak di Yaumil Akhir. Jadi, akan sangat hati-hati dalam menjalankan tugas sebagai pemimpin karena tak hanya balasan di dunia, namun juga kelak di akhirat. Dan itu hanya bisa terwujud ketika Islam menjadi landasan dalam bernegara. Pemimpin negara terpilih bukan karena voting yang saat ini bisa saja diakali atau bahkan dicurangi, tetapi syarat khusus terkait kemampuan dalam memimpin dan tentu yang utama adalah pemahamannya akan Islam secara kaffah. 

Wallahu a’lam. []


Oleh: Nani, S.Pd.I.
Pemerhati Remaja
Baca Juga

Post a Comment

0 Comments