Terbaru

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Mimpi Negeri Bebas Korupsi


TintaSiyasi.com -- Mimpi negeri bebas korupsi sepertinya hanya akan menjadi ilusi. Pasalnya setelah 214 koruptor mendapatkan remisi di Hari Kemerdekaan Republik Indonesia atau HUT RI tahun lalu, belum lama ini Ditjen Pemasyarakatan Kemenkumham kembali memberikan remisi dan pembebasan bersyarat bagi 23 koruptor dari balik jeruji. Sebut saja mantan jaksa Pinangki Sirna Malasari yang baru dua tahun masuk bui namun kini bebas bersyarat setelah mendapatkan remisi, padahal kasus korupsi yang menjeratnya tergolong besar dan sangat mencoreng nilai keadilan negeri ini. 

Selain mantan jaksa Pinangki Sirna Malasari, ada pula mantan Gubernur Banten, Ratu Atut Chosiyah; mantan Menteri Agama, Suryadharma Ali; mantan Hakim MK, Patrialis Akbar; dan Zumi Zola mantan Gubernur Jambi yang juga mendapatkan pembebasan bersyarat dari balik jeruji. 

Mengenai hal ini Kabag Humas dan Protokol Direktorat Jenderal Pemasyarakatan Kemenkumham, Rika Aprianti menyatakan pembebasan bersyarat itu sudah sesuai dengan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2022 tentang pemasyarakatan.

Di lain pihak, anggota Komisi III DPR Fraksi Partai Persatuan Pembangunan (PPP) Arsul Sani menegaskan napi kasus korupsi atau koruptor tetap memiliki hak untuk memperoleh remisi sebab hak remisi telah diatur dalam UU Pemasyarakatan.

Tak hanya itu, Ketua KPK Firli Bahuri justru meminta masyarakat untuk menghormati keputusan pembebasan bersyarat kepada 23 napi koruptor oleh Kemenkumham tersebut. Menurutnya itu adalah keputusan hukum yang harus dihormati.

Bahkan bukan hanya mendapat remisi dan pembebasan bersyarat, berdasarkan pasal 240 Ayat 1 huruf g Undang-Undang Nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilihan Umum para koruptor tersebut juga tetap memiliki hak politik dan diperbolehkan untuk mendaftar sebagai calon anggota legislatif (caleg) di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Perwakilan Daerah (DPD), serta Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) pada Pemilihan Umum (Pemilu) 2024 sebab di dalam pasal tersebut tidak disebutkan secara khusus larangan bagi mantan narapidana kasus korupsi untuk mendaftarkan diri. 

Dari pernyataan-pernyataan tersebut nampaknya patut kita pertanyakan keseriusan negeri ini dalam pemberantasan korupsi, sebab dengan seperangkat aturan yang sangat longgar tersebut, mungkinkah korupsi benar-benar bisa dihilangkan dari bumi pertiwi? Lantas mengapa hal ini bisa terjadi?

Ternyata paham sekularismelah yang jadi biang keladi. Karena sekularisme diterapkan di negeri ini, alhasil banyak lahir aturan yang justru bertentangan dengan aturan dari Sang Pencipta. Padahal kemampuan akal manusia sangatlah terbatas dan tidak mengetahui hakikat sesuatu. Maka tidak heran bila aturan yang dihasilkan justru semakin memperburuk keadaan. 

Oleh karena itu saatnya kita sadar dan kembali kepada aturan Islam karena Islam adalah satu-satunya aturan yang datang dari Sang Pencipta manusia yang tentu paling tahu dan memahami apa yang dibutuhkan manusia.

Sebagai aturan yang sempurna, Islam memiliki seperangkat aturan yang mampu menghentikan laju kemaksiatan, termasuk di dalamnya perilaku korupsi. Perilaku korupsi akan diminimalisir dengan 3 pilar. 

Pertama dari sisi individu, Islam dengan sistem pendidikannya yang berlandaskan akidah Islam mampu menghasilkan pribadi-pribadi yang bertakwa. Dengan ketaqwaan yang dimiliki maka akan melahirkan rasa takut kepada Allah dan akan menjadi rem ketika muncul godaan korupsi di depan mata. 

Kemudian yang kedua dari sisi masyarakat. Masyarakat yang hidup dalam sistem Islam akan memiliki kepedulian yang tinggi terhadap kemaksiatan yang terjadi, semangat amar makruf nahi mungkar senantiasa terjaga sehingga akan mampu menjadi pengontrol dalam mencegah kemungkaran yang dilakukan baik oleh individu maupun negara. Selain itu, masyarakat yang dididik dengan Islam juga tidak akan menggunakan cara instan dalam memuluskan kepentingan sehingga tidak membuka celah untuk terjadi tindak korupsi. 

Dan pilar yang ketiga yakni negara. Negara yang menerapkan sistem Islam akan menerapkan seperangkat aturan untuk meminimalisir terjadinya tindak kejahatan, termasuk korupsi di tubuh pemerintahan. Langkah-langkah yang dilakukan negara di antaranya adalah dengan memberikan gaji yang memadai kepada para aparaturnya, dengan gaji yang memadai diharapkan mereka akan mampu memenuhi kebutuhan primer, sekunder hingga tersier mereka. 

Meskipun gaji besar tidak bisa menjadi jaminan tidak akan terjadi korupsi di pemerintahan, namun setidaknya negara telah menutup celah awal mengapa korupsi terjadi yakni dari minimnya gaji. 

Kemudian, dalam mengangkat aparatur negara, negara akan menetapkan syarat-syarat berdasarkan Islam, di antaranya adil dan bertakwa di samping syarat profesionalitas yang tentu harus ada. Dengan syarat inilah diharapkan para aparatur negara memiliki kontrol pribadi yang kuat ketika menjalankan tugas-tugasnya. 

Tak hanya itu, negara juga akan melakukan perhitungan kekayaan kepada aparaturnya baik sebelum maupun sesudah masa jabatan. Jika ditemukan penambahan yang tidak wajar, maka negara akan meminta pembuktian tentang penambahan yang tidak wajar tersebut, dan bila tidak mampu membuktikan maka negara akan menyita penambahan harta yang tidak wajar tersebut dan menyimpannya di Baitul Mal.

Terakhir, bila negara telah melakukan langkah preventif namun tetap ada aparatur negara yang melakukan tindakan korupsi, maka negara akan menetapkan hukuman yang berat kepada para pelaku korupsi tersebut. Meski korupsi tidak termasuk mencuri dalam pengertian syariah, sehingga tidak menjadikannya termasuk dalam ketegori hudud (bagi pencuri diberi hukuman potong tangan). Tetapi, ada aturan lain yang dapat diterapkan untuk menghukum para pelaku korupsi yakni penerapan takzir. Takzir merupakan hukuman untuk kejahatan yang sanksinya diserahkan kepada ijtihad hakim. Adapun bentuk sanksinya bisa berupa publikasi, stigmatisasi, peringatan, penyitaan harta, pengasingan, cambuk hingga hukuman mati. 

Tak hanya itu, bagi para pelaku korupsi maka akan dicabut hak politiknya sehingga ia tidak diperbolehkan lagi untuk menduduki kursi di pemerintahan, sebab dengan mereka melakukan korupsi sesungguhnya mereka telah berlaku tidak adil, padahal adil adalah kriteria yang menjadikannya layak menjadi seorang pejabat di pemerintahan. 

Inilah seperangkat aturan yang Rasulullah contohkan dan terbukti efektif dalam memberantas korupsi di pemerintahan. Maka sudah sepantasnya kita pun mencontoh apa yang Rasulullah lakukan agar mimpi negeri bebas korupsi bisa jadi kenyataan. Insyaallah. []


Oleh: Nuril Izzati
Sahabat TintaSiyasi
Baca Juga

Post a Comment

0 Comments