Terbaru

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

L68T Legal di Sebagian ASEAN, Indonesia Jangan Dukung Penyimpangan!


TintaSiyasi.com -- Kaum pelangi tidak henti-hentinya menunjukkan eksistensinya, selalu ingin terlihat dan ingin diterima keberadaanya. Terbukti dari beberapa negara Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara (ASEAN), Thailand dan Vietnam. Kedua negara tersebut sudah resmi di mata hukum melegalkan pernikahan sesama jenis. Dan kabarnya, Singapura yang dikenal sebagai negara maju pun ikut bersiap untuk melegalkan perilaku menyimpang tersebut. 
 
Indonesia yang diakui oleh dunia memiliki masyarakat yang mayoritas Muslim pun memiliki beberapa komunitas L68T di berbagai daerah, dikenal dengan NGO (non-governmental organization) L68T di Indonesia, misalnya GAYa Nusantara di Surabaya, Jawa Timur, Suara Kita dan Arus Pelangi di Jakarta. Angin segar untuk mereka ketika mendapati beberapa negara tetangga telah melegalkan apa yang mereka impikan dan berharap di Indonesia pun menjadi kenyataan.
 
Menanggapi hal ini, Wakil Ketua Umum Persatuan Islam (Persis), KH. Jeje Zaenudin meminta kepada pemerintah Indonesia untuk tidak ikut melegalkan perilaku L68T tersebut. “Kita sebagai bangsa Indonesia yang memiliki konstitusi berbeda dengan Vietnam dan Singapura, tentu saja tidak boleh latah ikut ikutan melegalkan perilaku L68T yang terkutuk dalam pandangan semua agama yang dianut di Indonesia,” ujar Kiai Jeje. 

Bahkan beliau menyarankan kepada pemerintah harus menggandeng organisasi keagamaan untuk memantau perkembangan L68T di Indonesia. Masyarakat Indonesia harus terus diberikan edukasi tentang larangan seks di luar ikatan pernikahan. “Pemerintah harus terus memantau perkembangan L68T, dan menggandeng semua elemen masyarakat serta organisasi keagamaan untuk terus mengedukasi masyarakat tentang larangan hubungan seks di luar ikatan perkawinan dan bahayanya hubungan seksual sejenis dari sudut norma agama, moral sosial, maupun kesehatan,” imbuhnya lengkap (Republika.co.id).
 
Tanggapan dari KH. Jeje Zaenudin sangat mewakili pendapat masyarakat di Indonesia, karena jika Indonesia ikut melegalkan perilaku menyimpang tersebut tentu saja seperti menebar racun pada generasi masa kini. L68T merupakan penyimpangan, bukan perbuatan normal yang bisa dimaklumi, dibiarkan, apalagi didukung. L68T juga merupakan penyakit berbahaya, baik dari sisi kesehatan atau perilaku. Dari sisi kesehatan, pelaku L68T rentan tertular HIV/AIDS. Sementara, dari sisi perilaku, L68T adalah kelainan mental, kotor, dan menjijikkan. 

Perlu ditegaskan, L68T bukanlah bawaan lahir. Istilah gen gay yang sering disebut sebagai gen yang dapat menentukan orientasi seksual seseorang menjadi gay dibantah oleh banyak penelitian ilmiah. Para ilmuwan tidak pernah berhasil menemukan gen homoseksual tersebut. Artinya, gen gay hanyalah akal-akalan saja untuk membenarkan tindakan L68T. Negara seyogianya mengecam perbuatan L68T dan memberangus makar para pengusungnya. Jangan memberi mereka ruang bergerak dan dukungan untuk mempromosikan kemaksiatan secara luas dan leluasa. 
 
Jelas, L68T adalah perkara yang muncul akibat penerapan sistem demokrasi sekuler, wajar jika persoalan penyimpangan seksual semisal L68T tidak dianggap sebagai bentuk kejahatan meskipun pemerintah telah banyak membuat UU. Dengan semua realitas kerusakan dan penyakit yang ditimbulkan oleh efek liberalisme, Indonesia seharusnya bisa mengambil pelajaran bahwa buah yang lahir dari ide sekuler melarang Tuhan ikut campur dalam mengurus urusan manusia dan memberi kewenangan dan kebebasan kepada akal manusia untuk membuat legislasi. Padahal ketika manusia diberi kewenangan membuat undang-undang sesungguhnya membuka celah yang lebar bagi tumbuh suburnya kerusakan. Sebab, regulasi tadi dirumuskan oleh makhluk yang memiliki keterbatasan dan gudangnya khilaf, maka sudah pasti akan selalu terjadi revisi dan kekurangan di sana sini.
 
Inilah efek negatif terbesar dari penerapan asas sekularisme, pemisahan agama dari kehidupan dan negara. Masifnya budaya pergaulan permisif dan hilangnya budaya amar makruf nahi mungkar memicu kekerasan seksual. Negara bahkan bisa menjadi legalisator kemaksiatan. Dalam perspektif hukum Islam, sistem sanksi dalam Islam mampu menyelesaikan persoalan hingga akarnya dengan efek jawabir (penghapus dosa) dan zawajir (efek jera). Islam memiliki syariat yang mampu menjaga manusia dari penyimpangan, dengan syariat tersebut manusia akan terjaga kehormatannya. Penerapan Islam secara menyeluruh dalam kehidupan akan mampu mengatasi segala problem dalam kehidupan manusia. 

وَأَنَّ هَٰذَا صِرَاطِي مُسْتَقِيمًا فَاتَّبِعُوهُ ۖ وَلَا تَتَّبِعُوا السُّبُلَ فَتَفَرَّقَ بِكُمْ عَنْ سَبِيلِهِ ۚ ذَٰلِكُمْ وَصَّاكُمْ بِهِ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ

"Dan bahwa (yang Kami perintahkan ini) adalah jalan-Ku yang lurus, maka ikutilah dia, dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan (yang lain), karena jalan-jalan itu mencerai beraikan kamu dari jalan-Nya. Yang demikian itu diperintahkan Allah agar kamu bertakwa" (QS. Al-An’am : 153).

 Wallahu a'lam bishshawab. []


Oleh: Euis Bella Bediana 
Pemerhati Sosial Kemasyarakatan
Baca Juga

Post a Comment

0 Comments