TintaSiyasi.com -- Ramai-ramai banyak bermunculan pemberitaan, tentang bebasnya para koruptor dengan bersyarat. Para pemangku jabatan yang diamanahi oleh rakyat, nyatanya mampu menyakiti hati rakyat dengan cara yang sangat tidak terpuji. Faktanya, kejahatan korupsi yang terjadi kini pelakunya tidak pernah mendapatkan hukuman yang membuat para koruptor jera, sebaliknya justru mereka ramai-ramai diberikan potongan atau keringanan masa tahanan yang tidak tanggung-tanggung waktunya.
Dilansir dari media okezone.com (7/9/2022), disebutkan nama-nama para koruptor yang bebas bersyarat, di antaranya; Ratu Atut Chosiyah binti Alm Tubagus Hasan Shochib (12.5 tahun menjadi 9 tahun), Desi Arryani bin Abdul Halim (4 tahun), Pinangki Sirna Malasari (10 tahun menjadi 4 tahun), Syahrul Raja Sampurnajaya bin H Ahmad Muchlisin (10 tahun menjadi 8 tahun), Setyabudi Tejocahyono (16 tahun menjadi 12 tahun), Budi Susanto bin Lo Tio Song (12 tahun menjadi 8 tahun), Danis Hatmaji bin Budianto (3 tahun 6 bulan), Patrialis Akbar bin Ali Akbar (8 tahun menjadi 7 tahun), dan lain-lain.
Melihat bagaimana sepak terjang institusi hukum hari ini sungguh membuat miris masyarakat. Hasil dari proses hukum yang diberikan kepada para koruptor, seakan melihat ketumpulan institusi hukum kepada para pejabat yang melakukan tindakan korupsi selama masa jabatannya. Pengurangan hukuman dan pembebasan bersyarat secara beruntun membuat mata publik terbelalak. Inikah hukum yang berkeadilan tanpa pandang bulu di masyarakat?
Bahkan pemerintah pun telah membentuk sebuah lembaga komisi pemberantasan korupsi (KPK) yang bertugas untuk menyelidiki dan memberantas korupsi di negeri ini. Tujuan KPK ini meningkatkan daya guna dan hasil guna terhadap upaya pemberantasan tindak pidana koruspsi. Dikatakan, KPK ini bersifat independen dan bebas dari pengaruh kekuasaan mana pun dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya.
Namun, diterapkannya kapitalisme membuat segala hal yang berkaitan dengan kehidupan di masyarakat kian sulit. Seluruh bidang kehidupan telah didominasi oleh kebijakan-kebijakan yang di atur oleh para pengusung kapitalisme. Baik itu bidang ekonomi, politik, sosial budaya, dan pertahanan keamanan, tidak mampu memberikan solusi bagi pernasalahan yang timbul akibat sistem tersebut. Bahkan KPK sendiri masih terus berupaya melakukan pemberantasan korupsi negeri ini, namun masih jauh dari kata tuntas.
Begitu pun dengan hukum peradilan yang dirasa sangat berbeda perlakuan antara rakyat kelas atas seperti pejabat, penguasa, pengusaha dengan rakyat kecil tanpa kekuasaan jika melakukan pelanggaran yang sama. Seperti korupsi yang tengah viral saat ini. Jika kekuasaan dan materi ada di tangan mereka, dengan mudahnya segala hukuman yang telah ditetapkan bisa berkurang dengan sangat signifikan. Apakah benar perilaku baik di penjara, dan penyesalan mereka, ataupun alasan lainnya mampu mengurangi bahkan membebaskan hukuman yang mereka jalani? Kapankah masalah korupsi di negeri ini akan berakhir? Adakah sistem yang mampu memberantas korupsi dengan tuntas?
Pandangan Islam terhadap Korupsi
Dalam Islam, korupsi merupakan tindakan atau perbuatan seseorang yang mengancam keselamatan fisik dan tubuh manusia serta berpotensi menimbulkan kerugian pada harga diri dan kekayaan manusia sehingga tindakan atau perbuatan itu dianggap haram untuk dilakukan bahkan pelakunya harus dikenai sanksi hukum, baik diberikan di dunia maupun hukuman Allah kelak di akhirat.
Hukum Islam memandang pidana mati dan potong tangan dapat dibenarkan, karena sesuai dengan yang disampaikan dalam Al-Qur'an. Hal ini telah diatur dalam hukum qisas, hudud, dan takzir. Terhadap kejahatan korupsi, dalam hukum Islam korupsi bisa dianalogikan sebagai ghulul dan sarqah.
Maka jika seseorang melakukan kejahatan seperti korupsi, dalam Islam hukumannya telah ditentukan. Seperti menggelapkan uang negara dalam syariat Islam disebut al-ghulul, yakni mencuri ghanimah (harta rampasan perang) atau menyembunyikan sebagiannya (untuk) dimiliki sebelum menyampaikannya ke tempat pembagian, meskipun yang diambilnya sesuatu yang nilainya relatif kecil bahkan hanya sebatas benang dan jarum.
Dasar hukum dari al-ghulul adalah dalil-dalil, di antaranya dalam Al-Qur'an sebagai berikut:
“Tidak mungkin seorang nabi berkhianat (dalam urusan harta rampasan barang). Barang siapa yang berkhianat (dalam urusan rampasan perang) maka pada hari kiamat ia akan datang membawa apa yang dikhianatkannya itu, kemudian tiap-tiap akan diberi pembalasan tentang apa yang ia kerjakan dengan (pembalasan) setimpal, sedang mereka tidak dianiaya” (QS. Ali Imran ayat 161).
Disebutkan juga bahwa mencuri atau menggelapkan uang dari Baitul Mal (kas negara) dan zakat dari kaum Muslim juga disebut al-ghulul. Berdasarkan hadis Rasulullah SAW, sebagai berikut:
“Serahkanlah benang dan jarum. Hindarilah Al-ghulul, sebab ia akan mempermalukan orang yang melakukannya pada hari kiamat kelak.” Maksud Rasulullah dengan mengingatkan hal tersebut yaitu melarang mengambil sesuatu yang bukan haknya walaupun hanya seutas benang dan sebuah jarum.
Mu’adz bin Jabal berkata, “Rasulullah SAW telah mengutus saya ke Negeri Yaman. Ketika saya baru berangkat, ia mengirim seseorang untuk memanggil saya kembali, maka saya pun kembali.” Nabi bersabda, “Apakah engkau mengetahui mengapa saya mengirim orang untuk menyuruhmu kembali? Janganlah kamu mengambil sesuatu apa pun tanpa izin saya, karena hal itu adalah ghulul (korupsi). Barang siapa melakukan ghulul, ia akan membawa barang ghulul itu pada hari kiamat. Untuk itu saya memanggilmu, dan sekarang berangkatlah untuk tugasmu” (HR. At-Tirmidzi).
Begitulah Islam dalam mengatur bagaimana seseorang mendapatkan amanah dan memberikan balasan jika melanggarnya. Korupsi bagaikan virus yang dapat menyebar dengan cepat, maka jika sistem yang digunakan seakan menghalalkan tindakan korupsi pasti virus seperti ini akan sangat mudah menyebar bagaikan kilat, dari yang kalangan paling atas hingga masyarakat bawah secara sistemis. Maka, sudah barang tentu tindakan korupsi ini harus segera diberantas dengan sistem yang tepat dan yang selalu memberikan kemaslahatan bagi seluruh umat manusia. Dan hanya dengan kembali kepada syariat-Nya hal tersebut dapat terwujud. Islam kaffah telah membawa keadilan bagi siapa pun, karena hukum Allah memang diciptakan untuk makhluk-Nya agar dapat hidup bahagia, selamat dunia akhirat.
Wallahu a’lam bishshawab. []
Oleh: Desi Wulan Sari, M.Si.
Sahabat TintaSiyasi
0 Comments