Terbaru

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Harga BBM Kekeh Dinaikkan, Inflasi Tak Terelakkan?


TintaSiyasi.com -- Pemerintah resmi menaikkan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) subsidi Per 3 September lalu, Harga BBM jenis Pertalite naik menjadi Rp10.000 per liter dari sebelumnya Rp7.650 per liter. Lalu, harga solar naik dari Rp5.150 per liter menjadi Rp6.800 per liter. Kemudian harga Pertamax naik dari Rp 12.500 menjadi Rp 14.500 per liter.

Dilansir dari merdeka.com, Presiden Jokowi mengaku keputusan penyesuaian harga BBM bersubsidi adalah hal yang berat. "Pemerintah telah berupaya sekuat tenaga untuk melindungi rakyat dari gejolak harga minyak dunia. Saya sebetulnya ingin harga BBM di dalam negeri tetap terjangkau dari subsidi APBN," ungkap Jokowi dalam konferensi persnya di Istana Negara, Jakarta, Sabtu (3/9).

Berdalih, apa daya anggaran APBN sudah makin bengkak. Menteri Keuangan Sri Mulyani menjelaskan, selama ini pemerintah telah menaikan anggaran kompensasi dan subsidi 3 kali lipat dari yang dianggarkan dalam APBN 2022. Semula hanya Rp152,2 triliun kini menjadi Rp502,4 triliun. Diperkirakan kompensasi dan subsidi energi bisa jebol hingga Rp 600 triliun jika harga BBM tidak dilakukan penyesuaian.

Di sisi lain, Nailul Huda selaku Ekonom Indef menilai, kenaikan harga BBM akan mendorong kenaikan inflasi hingga 7 persen dari yang saat ini mencapai 4,69 persen pada Agustus 2022.

Tidak berhenti di situ, kenaikan harga BBM otomatis akan diikuti oleh naiknya harga transportasi serta barang dan jasa lainnya. Hal tersebut dapat mengganggu konsumsi rumah tangga yang sedang dalam masa pemulihan pasca pandemi. Bahkan dapat mengancam pertumbuhan ekonomi nasional. BLT Rp150 ribu/bulan tidak akan sebanding dengan berbagai kenaikan harga barang imbas dari kenaikan BBM yang akan rakyat hadapi beberapa tahun mendatang.

Bagai disuguhkan buah simalakama. Maju mundur kena. Begitulah potret tata kelola kapitalisme yang kian amburadul. Negara memandang rakyat sebagai beban. Doktrin kapitalisme mengajarkan bahwa negara menyerahkan kegiatan ekonomi sepenuhnya pada mekanisme pasar. Negara tak boleh ikut campur. Sehingga rakyat diharuskan bisa hidup mandiri tanpa embel-embel subsidi.

Pakar Ekonom dan Politikus, Dr. Rizal Ramli mengeklaim punya solusi agar harga BBM tidak perlu naik di tengah tekanan APBN. "Menaikan harga BBM? Pemerintah hentikan pengeluaran yang tidak perlu, seperti proyek ibukota," tulis Dr. Rizal Ramli di Twitter pribadinya (Warta Ekonomi, 6/9/2022).

Pemerintah mengaku terbebani menyubsidi BBM untuk rakyat, tetapi tidak pernah merasa terbebani membiayai proyek IKN dan kereta cepat yang terus membengkak. Pembangunan IKN sendiri ditargetkan memiliki anggaran sebesar Rp466 triliun. Dari jumlah tersebut, APBN menanggung sekitar 20% atau Rp89,4 triliun. Lalu, ada proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung yang juga didanai APBN sebesar Rp4,3 triliun. Belum lagi DPR RI yang "merengek" anggaran sebesar Rp955 juta untuk mencetak kalender yang anggarannya dari APBN 2022 saat ini. 

Mengapa subsidi untuk rakyat selalu dianggap beban, sedangkan anggaran yang tidak urgen dan mendesak justru diprioritaskan?

Sejak Indonesia mengadopsi ekonomi kapitalisme, barang tambang berupa migas ini sudah salah status kepemilikannya. Tidak heran jika rakyat sebagai pemilik sah telah kehilangan kedaulatannya atas SDA yang dimiliki. Padahal dalam Islam, barang tambang seperti minyak bumi beserta turunannya seperti bensin, gas, dan lain-lain, semuanya telah ditetapkan oleh syariah sebagai milik umum. Subsidi BBM itu bukanlah beban yang harus dihilangkan. Karena Islam mewajibkan negara menyediakan BBM secara murah dimana rakyat hanya cukup mengganti biaya produksinya saja. Islam telah melarang negara "berbisnis" barang kebutuhan dasar rakyat. Negara harus mengatur produksi dan distribusi aset-aset tersebut sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat.

Problematika di negeri ini kian pelik. Hanya Islamlah yang mampu menuntaskannya. Islam itu agama yang komprehensif. Seperangkat aturannya lahir berdasarkan wahyu bukan nafsu. []


Oleh: Purnamasari
Sahabat TintaSiyasi
Baca Juga

Post a Comment

0 Comments