TintaSiyasi.com -- Pemerintah resmi menaikkan harga BBM yang disebut oleh Presiden RI sebagai “pilihan terakhir pemerintah”. Pemerintah mengklaim perlunya menaikkan harga BBM karena beban subsidi yang begitu besar pada keuangan negara. Padahal di sisi lain, banyak hal yang harus jadi bahan evaluasi pemerintah. Misalnya, biaya perjalanan (pejabat) dinas yang harus golongan sekian, hotel pun harus bintang sekian dengan fasilitas kamar yang tentu tak bisa dibilang murah. Semua itu sebenarnya bisa dikurangi dan bisa menghemat banyak.
Berikut data berdasarkan Warta Ekonomi.co.id. (26/8/2023), Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyatakan bahwa negara telah mengalokasikan dana subsidi dan kompensasi Bahan Bakar Minyak (BBM) sebesar Rp502,4 triliun dan berpotensi ditambah Rp195 triliun tersebut masih belum tepat sasaran, dan sebagian besarnya dinikmati oleh orang kaya. Sri mulyani telah merincikan untuk kebutuhan solar dikonsumsi sebagian untuk rumah tangga dan sebagiannya lagi dunia usaha 89 persen dari 15 hingga 17 juta kilo liter dinikmati oleh dunia usaha, dan 11 persen dinikmati oleh rumah tangga yang mampu, dan hanya 5 persen dinikmati oleh rumah tangga yang tidak mampu.
Efek domino dari kenaikan BBM pun tidak bisa diatasi dengan hanya bansos yang jumlahnya kecil dan cakupan penerimanya sangat terbatas. Terlebih jumlah rakyat miskin makin banyak, angka kriminalitas menyusul akan bertambah dan kesejahteraan makin jauh dijangkau. Di lapangan pun tak semua masyarakat miskin masuk ke dalam daftar penerima bantuan sosial, termasuk masih menyasar kepada kelompok mampu. Alhasil, yang miskin kian berat hidupnya karena harus menanggung efek domino dari kenaikan BBM.
Efek domino dari kenaikan harga BBM tentu dapat mengganggu konsumsi rumah tangga yang sederhana dalam masa pemulihan pasca pandemi. Bukan hanya masyarakat miskin yang merasakannya, tapi juga menengah termasuk industri. Bahkan dapat mengancam pertumbuhan ekonomi nasional. BLT yang diberikan pemerintah dengan jumlah Rp600 ribu/bulan tidak akan sebanding dengan berbagai kenaikkan harga BBM yang akan rakyat hadapi beberapa tahun mendatang.
Beginilah potret tata kelola kapitalisme yang makin amburadul. Akar masalahnya terletak pada paradigma kapitalisme yang menjadikan tata pengelolaan bahan bakar tunduk pada kepentingan global. Oleh karena itu, selisih harga yang tertera antara Pertamina dengan SPBU swasta tidak jauh berbeda.
Semua hajat publik terkapitalisasi dan terkelola dengan paradigma pasar bebas. Alhasil penetapan harga pun tunduk pada kebijakan global. Sektor-sektor hulu diprivatisasi asing, walaupun di sektor hilir Pertamina masih cukup mendominasi. Tapi tetap saja, sektor hilir dikendalikan dari sektor hulu.
Dalam tinjauan syariat Islam, BBM merupakan SDA yang penguasaannya milik rakyat. Haram diswastanisasi atau diprivatisasi oleh individu apalagi asing. Dengan kata lain BBM adalah barang publik yang harus dikelola negara demi maslahatan Islam melarang pengelolaannya diserahkan kepada swasta atau asing. Rasulullah bersabda, “Kaum Muslim berserikat dalam tiga perkara, yaitu padang rumput, air, dan api” (HR. Abu Dawud dan Ahmad).
Selama negeri ini masih berpijak pada kapitalisme, BBM murah akan menjadi mimpi belaka. Dengan menggunakan tata kelola Islam yang bersumber dari penerapan sistem Islam, mewujudkan BBM murah merupakan keniscayaan. Sistem ekonomi Islam menetapkan menempatkan tambang migas dengan deposit besar sebagai milik umum yang dikelola negara untuk rakyat, dengan begitu terwujudlah kesejahteraan rakyat. Harga BBM yang dijual ke rakyat hanya sebesar biaya produksinya, bukan mengacu pada harga pasar dunia. Ketika kebutuhan BBM rakyat tercukupi dengan harga yang murah, kegiatan ekonomi rakyat dan dunia usaha berjalan dengan baik. Lantas, masihkah kita berharap pada kapitalisme sebagai sistem yang mengatur kehidupan kita? “Apakah hukum jahiliah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin?” (QS. Al-Maidah: 50).
Wallahu a’lam bishshawab. []
Oleh: Nur Rahmawati, S.Pd.
Pemerhati Ekonomi
0 Comments