TintaSiyasi.com -- Problem anak stunting dan kurang gizi masih menjadi momok yang entah kapan selesainya. Penguasa memang tampak berusaha mengakhiri problem kritis ini, namun dengan langkah yang tak menyelesaikan hingga akar. Bahkan, apabila ditelisik justru menambah rentetan masalah baru, seperti bekerja sama dengan asing untuk selesaikan stunting.
Faktor utama terjadinya stunting adalah ekonomi keluarga. Pada laman p2ptm.kemkes.go.id dinyatakan bahwa stunting adalah masalah kurang gizi kronis yang disebabkan oleh kurangnya asupan gizi dalam waktu yang cukup lama. Hal ini mengakibatkan gangguan pertumbuhan pada anak yakni tinggi badan anak lebih rendah atau pendek (kerdil) dari standar usianya.
Penting diketahui, stunting merupakan ancaman utama terhadap kualitas manusia, juga ancaman terhadap kemampuan daya saing bangsa. Hal ini dikarenakan anak stunted, bukan hanya terganggu pertumbuhan fisiknya saja, melainkan juga terganggu perkembangan otaknya, yang mana tentu akan sangat memengaruhi kemampuan dan prestasi di sekolah, produktivitas dan kreativitas di usia-usia produktif.
Dilihat dari pokok persoalan dan dampaknya, sewajibnya pemerintah mengatasi stunting dengan cepat dan tepat. Tidak boleh sekadar memangkas daun atau ranting, tetapi harus mencabut hingga akarnya. Karena sejatinya, perkara stunting bukan perihal stunting semata tetapi ada masalah-masalah non kesehatan yang turut andil di dalamnya.
Oleh karena itu, gerakan makan telur bersama yang dilakukan Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) yang menggalang kerja sama dengan Badan Pangan Nasional atau National Food Agency (NFA) untuk upaya pencegahan stunting tidak boleh berhenti di sini. Kegiatan ini tidak boleh dianggap jurus jitu nan ampuh sehingga upaya lain tidak dilakukan (republika.co.id, 25 September 2022).
Memang telur mengandung protein yang cukup tinggi yang berefek baik bagi gizi untuk mencegah bayi stunting. Tetapi, apakah berhenti di sini saja? Apakah dapat menjangkau semua lini masyarakat terkhusus ibu hamil? Apakah dapat menyelesaikan problem stunting hingga akar? Tentu saja tidak.
Jika dilihat kolaborasi pemerintah dengan swasta dan asing, sungguh menguntungkan rakyat. Seperti yang diungkap Kepala BKKBN, Hasto bahwa kolaborasi antara BKKBN dengan pihak terkait adalah berupa peningkatan edukasi masyarakat dan sebuah implementasi berupa program gizi yang terintegrasi melalui penerapan intervensi gizi berbasis bukti, untuk memperkuat layanan gizi melalui sistem kesehatan dari tingkat nasional hingga lokal.
Akan tetapi, bisakah menurunkan angka stunting? Dan yang paling penting, bisakah ini terealisasi secara sempurna tanpa ada udang di balik batu? Mengingat kerja sama dengan asing seringkali berpeluang menjadi pintu masuk program-program asing yang bisa mengeksploitasi potensi generasi dan mengarahkannya untuk kepentingan asing.
Sejatinya, untuk mencapai target bangsa yakni stunting turun hingga 14% pada 2024 dan bebas stunting pada 2030, pemerintah harus melihat masalah stunting secara komprehensif. Ya, persoalan stunting adalah persoalan sistemik, maka penyelesaiannya menjangkau sistem, bukan semata dengan gerakan kecil seperti makan telur bersama.
Karena apabila berhenti di sini, bagaimana nasib rakyat ke depannya apabila harga kebutuhan pokok tetap di posisi tinggi? Karena mustahil negara kapitalis memberi secara cuma-cuma bagi rakyat. Inilah paradoks yang terjadi di negeri ini, di mana problem stunting tak kunjung membaik di tengah berlimpahnya kekayaan sumber pangan dan energi.
Sejatinya, dalam menangani stunting ada tiga hal yang mesti diperhatikan yakni pola makan, pola asuh, serta perbaikan sanitasi dan akses air bersih. Maka, pemerintah harusnya memfokuskan perhatiannya pada hal ini. Pertama, terkait pola makan, ibu hamil juga bayi mesti mengonsumsi makanan bergizi. Keluarga dan orang tua berperan penting merawat 1.000 hari pertama anak karena menjadi kunci sukses pencegahan stunting.
Akan tetapi, masalah ekonomi mengakibatkan orang tua abai akan hal ini. Bagaimana bisa mengonsumsi makanan bergizi jika untuk sesuap nasi saja susah diperoleh? Bagaimana memikirkan perkara stunting jika masalah menghimpit dari berbagai arah membuat tercekik? Begitulah sistem hari ini, menegasikan adanya pemenuhan kebutuhan pokok rakyat secara sempurna.
Terkait pola asuh, orang tua harusnya memiliki pengetahuan mumpuni terkait makanan, dan lainnya melalui belajar. Karena sejatinya, sosialisasi saja tidak cukup. Jadi, penguasa tidak boleh berhenti pada sosialisasi karena bahkan ada rakyat yang tidak mengerti apa-apa karena buta huruf, misalnya. Tetapi sungguh sistem hari ini menegasikan adanya pemerataan pendidikan.
Begitu juga perihal sanitasi dan akses air bersih. Potret kehidupan hari ini mengindikasikan betapa susahnya rakyat memperolehnya. Di tempat yang harusnya ramah lingkungan (tempat tinggal rakyat), pembangunan beraroma kapitalistik justru membuat rakyat menderita. Adalah polusi udara, pencemaran lingkungan, limbah pabrik yang menodai kesucian sungai dan masih banyak lainnya. Begitulah potret sistem hari ini. Ibarat hukum rimbah, yang kuat kian berkuasa dan yang lemah kian tergolek lemas.
Sungguh, mengatasi stunting dengan aturan yang lahir dari kapitalisme sama saja membuang tenaga, masih akan tumbuh bahkan dilanda gerimis. Oleh karena itu, kita butuh aturan Islam yang kaffah yang mencegah stunting dari hulu hingga hilirnya. Keterpaduan sistem Islam mulai dari sistem pendidikan, ekonomi, sanksi, kesehatan, dan lainnya sungguh akan menyelesaikan problem stunting hingga akarnya.
Wallahu a'lam bishshawab. []
Oleh: Khaulah
Aktivis Back to Muslim Identity
0 Comments