TintaSiyasi.com -- Begitu berharganya anak hingga perlu hari khusus untuk menghargai posisi anak ini. Hari Anak Nasional diperingati setiap tanggal 23 Juli. Peringatan Hari Anak Nasional tahun ini bertajuk “Anak Terlindungi Indonesia Maju”. Namun disayangkan, berlalunya peringatan Hari Anak Nasional ini tidak diikuti dengan berlalunya permasalahan yang sedemikian banyak dialami oleh anak di negeri ini.
Mengiringi kemeriahan peringatan Hari Anak Nasional, kenyataan pahit tidak dapat ditutupi. Anak-anak negeri ini dirundung persoalan. Unit Pelaksana Teknis Daerah Perlindungan Perempuan dan Anak (UPTD PPA) Kalimantan Selatan hingga Juni 2022 menangani 12 kasus kekerasan terhadap anak di Kalsel. Kekerasan yang dialami berupa kekerasan fisik, kekerasan seksual, kesehatan mental, penelantaran, eksploitasi dan Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO). Yang mengenaskan, tidak jarang pelaku kejahatan terhadap anak ini adalah teman sebaya mereka, keluarga atau orang terdekat.
Baru-baru ini hati kita dibuat tersayat atas kematian seorang anak kelas 5 SD setelah berjuang selama satu minggu akibat depresi setelah di-bully oleh teman-temannya. Korban dipukuli dan dipaksa menyetubuhi seekor kucing dan direkam oleh mereka. Anak-anak telah mengalami kekerasan fisik, perkosaan, dicekoki miras dan modus kejahatan lainnya. Ini baru anak sebagai korban. Belum lagi anak sebagai pelaku kejahatan. Di luar nalar, bagaimana mungkin anak di bawah umur melakukan perkosaan, pembunuhan, perundungan hingga kejahatan di jalanan. Demikian pula perilaku hedonisme, mengkonsumsi narkoba dan miras serta seks bebas yang hari ini nampak sudah mulai luntur untuk dianggap sebagai perilaku bermasalah. Betapa memprihatinkan dan memilukannya keadaan ini.
Anak Itu Berharga
Berbicara anak bukan hanya berbicara tentang keluarga. Anak adalah generasi muda yang akan membentuk dan mengisi masa depan kita. Bung Karno mengatakan, “Berikan aku 1000 orang tua niscaya akan kucabut semeru dari akarnya. Berikan aku 1 pemuda niscaya akan kuguncangkan dunia.”
Rasulullah SAW juga sangat membanggakan para pemuda. Pentingnya peran mereka dalam dakwah Nabi sebagai penentu masa depan dan wajah masyarakat, dikatakan bahwa kaum tua telah menentangku dan kaum muda telah menolongku.
Fitrahnya, anak muda itu memiliki kepercayaan diri, optimisme, energi besar, dan kreatifitas. Pemuda itu bisa membuat arus. Namun sangat disayangkan, fitrah ini digerus dan dikendalikan oleh paham liberalisme sekulerisme yang menciptakan realitas negatif dan buruk. Lihat saja, CFW seketika menjadi arus yang menjalar di tempat lain. Jiwa mereka hampa, pola pikirnya materialistis sekularistis dan perilakunya liberal dan hedonis. Apa yang bisa kita harapkan dari anak-anak seperti ini bagi masa depan bangsa jika kita tidak bersegera menyelamatkannya?
Selamatkan Anak Negeri
Secara khusus Islam membicarakan mengenai anak. Di dalam surat at Tahrim ayat 6 Allah SWT berfirman yang artinya, “Wahai orang-orang yang beriman! Peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu.”
Islam tidak menghendaki sebuah keluarga termasuk anak di dalamnya terjerumus kepada dosa dan keburukan. Keluarga merupakan sekolah pertama bagi anak. Para orang tua bertanggung jawab untuk menanamkan keimanan dan ketaatan kepada anak-anak mereka serta menjadi teladan bagi mereka.
Namun keluarga bukanlah satu-satunya elemen yang bertanggung jawab terhadap anak. Keluarga, masyarakat dan negara harus bersinergi menyelematkan anak negeri. Apalah arti keluarga atau orang tua yang telah bersusah payah menanamkan iman, taat dan memberi keteladanan kepada anak-anak apabila masyarakat atau lingkungan membiarkan dan mendukung perilaku buruk tersebut. Disebabkan masyarakatnya berpersepsi sekularisme liberalisme.
Apalah daya keluarga dan masyarakat jika negara justru mengadopsi paham sekularisme liberalisme ini. Paham ini telah menghidupkan atmosfer perilaku ‘semau gue’. Bahkan orang tua atau masyarakat yang berupaya untuk menasihati atau mendakwahi bisa terseret kepada tuduhan melakukan kekerasan terhadap anak, karena dinilai mengekang kebebasan anak. Sinergi negara di mana negara memiliki segenap kewenangan dan kekuatan di berbagai bidang sangatlah dibutuhkan.
Kesamaan visi dan misi antara keluarga, masyarakat dan negara menjadi sangat penting. Visi bahwa anak harus berakidah kokoh dan taat kepada agama dengan karakter pemimpin dan problem solver bukan trouble maker. Jiwa mereka selalu terisi dengan optimisme dunia akhirat serta pola pikir yang mengendalikan energi besar mereka untuk menjadi generasi emas. Untuk itu, semua mesti bersinergi untuk menyelamatkan anak negeri ini dengan menghilangkan akar permasalahannya yakni sekularisme liberalisme. Maka tidak mustahil akan lahir sosok-sosok generasi emas seperti Usamah bin Zaid yang di usia 18 tahun sudah menjadi panglima perang menghadapi Romawi, Umar bin Abdul Aziz usia 22 tahun menjadi gubernur Madinah, Imam Syafi’i usia 15 tahun sudah menjadi seorang mufti, dan Muhammad Al Fatih pada usia 22 tahun berhasil menaklukan benteng legendaris Konstantinopel. Belum lagi ilmuwan-ilmuwan muda yang berkontribusi bagi peradaban manusia. Ini semua tidak mustahil, jika elemen keluarga, masyarakat, dan negara saling bersinergi.
Wallahu a’lam bishshawab. []
Oleh: Munajah Ulya
Pemerhati Hukum dan Sosial Kemasyarakatan
0 Comments