TintaSiyasi.com -- "Hidup bebas pajak" memang sepertinya hanya ilusi dalam kapitalisme. Karna faktanya wajib pajak semakin menggila di segala sektor, menambah berat beban hidup rakyat yang saat ini sangat jauh dari kata sejahtera. Wajib pajak ini sama saja dengan membebankan rakyat untuk menanggung devisa negara yang kian defisit yang sebenarnya akibat dari kesalahan pengelolaan APBN negara.
Bagaimana tidak, sebenarnya APBN tidak akan mengalami defisit jika keuangan negara dari aspek pendapatan dan pengeluarannya dikelola dengan baik. Terutama jika aset-aset negara dan BUMN saat ini tidak banyak diprivatisasi dan sumber daya alam tidak dikuasai asing ini tentu akan sangat membantu pendapatan negara. Bahkan kas negara akan mengalami surplus jika pengelolaannya tidak ada intervensi asing di dalamnya.
Kemudian kas negara yang hakikatnya harta rakyat tidak dikorupsi (KKN) oleh para koruptur di kalangan elite politik, menindak tegas dan menyita kembali uang negara dari mereka, juga berupaya untuk efesiensi anggaran kerja dan fasilitas kerja dan hidup para pejabat di pemerintahan yang hampir memboroskan kas negara karena biayanya sangat besar, dan terutama menghentikan kebiasaan Utang Luar Negeri yang sekarang sudah di luar batas kemampuan negara untuk melunasinya, mungkin dari itu saja APBN negara kita tidak akan sampai terjadi defisit dan kas negara akan stabil membiayai kepentingan dan urusan negara dan umat.
Namun malah sangat disayangkan penguasa malah bergantung kepada Utang Luar Negeri yang makin mencekik yang menurut data di Bank Indonesia sudah mencapai lebih dari Rp.7.000 triliun. Kemudian rela menggenjot pajak kepada rakyat di tengah hidupnya yang jauh dari kata sejahtera, dan pajak dijadikan sumber utama bahkan terbesar hampir 70% menjadi pemasukan negara selain utang.
Maka wajarlah, jika seruan #stopbayarpajak ini mengindikasikan beratnya beban rakyat yg semakin menghimpit dengan beragam pajak. Belum lagi adanya opini yang membuat rakyat kecewa bahwa mereka yang anti pajak dan memboikot pajak malah akan diancam pidana maupun sanksi moral (news.detik.com).
Di saat rakyat menyuarakan keinginan bebas dari beban pajak, malah pemerintah menerapkan aturan yang memastikan tidak ada yang lolos dari jerat pajak. Kebijakan tersebut telah jelas menggambarkan betapa rezim sekuler kapitalis adalah rezim pemalak. Bukan pemberi riayah dan solusi bagi rakyat.
Deretan pajak saat ini bertambah lagi, pasca adanya kebijakan pemerintah secara resmi meluncurkan penggunaan Nomor Induk Kependudukan (NIK) sebagai Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) yang berlaku mulai 14 Juli 2022. Penggunaan NIK sebagai NPWP tersebut akan ditransisikan sampai dengan 2023, dan berlaku 1 Januari 2024 secara penuh (ekonomi.bisnis.com).
Dan Nomor Induk Kependudukan (NIK) sebagai Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) kini sudah aktif berjalan. Menurut mereka, tujuannya adalah untuk mempermudah administrasi wajib pajak dalam melakukan transaksi pelayanan pajak.
Dalam puncak perayaan Hari Pajak, Selasa (19/7), di Jakarta, Direktur Jenderal Pajak Kementerian Keuangan Suryo Utomo mengatakan sebanyak 19 juta orang dapat menggunakan Nomor Induk Kependudukan (NIK) sebagai Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP). Artinya, belasan juta orang itu sudah bisa menggunakan NIK untuk melapor SPT mulai tahun 2022.
Adapun jumlah NIK yang dapat digunakan menjadi NPWP akan terus ditingkatkan. Sebab, proses integrasi data memang membutuhkan waktu yang cukup panjang. Angka tersebut akan terus bertambah secara bertahap dengan perpaduan sistem yang bekerja sama dengan Dinas Dukcapil Kemendagri. Bahkan bagi para Wajib Pajak lainnya yang memiliki NPWP lama tetap akan melakukan transaksi perpajakannya.
Adanya fakta demikian, peribahasa mengatakan rakyat negeri ini "sudah jatuh, tertimpa tangga pula", menggambarkan kondisi rakyat saat ini di tengah kesulitan memenuhi kebutuhan hidup ditambah mereka harus menanggung beban dan masalah finansial negara. Inilah faktanya sistem pengaturan ekonomi kapitalis saat ini yang tidak menjamin dan mengutamakan terpenuhinya kebutuhan hidup dan pelayanan terhadap kemaslahatan umat.
Berbeda halnya dengan sistem Islam. Sistem politik ekonomi Islam berupaya menjamin tercapainya pemenuhan seluruh kebutuhan pokok (primer) setiap warga negara Islam (Muslim dan non-Muslim) secara menyeluruh. Barang-barang berupa pangan, sandang, dan papan (perumahan) adalah kebutuhan pokok (primer) manusia yang harus dipenuhi.
Cara pemenuhan kebutuhan rakyat pun berbeda dengan negara yang menerapkan sistem sekuler kapitalis seperti saat ini. Khilafah tak akan melakukan pemalakan berbalut sistem gotong-royong seperti pungutan pajak disemua lini kehidupan umat secara keseluruhan. Dalam memenuhi kebutuhan rakyat, maka pembiayaan diambil dari Baitul Mal. Pemasukan Baitul Mal berasal dari hak milik individu, umum, dan negara. Pemasukan dari kepemilikan individu berupa zakat dan shadaqah. Dari sisi kepemilikan umum, pemasukannya berasal dari sumber daya alam, barang tambang besar, dan barang kebutuhan umum serta aset -aset negara dan BUMN yang dikelola negara bukan asing atau pihak swasta.
Sedangkan dari kepemilikan negara, pemasukannya berasal dari ghanimah, khumus, rikaz, usyr, fai’, kharaj dan jizyah, bukan tergantung pada pajak dan utang luar negeri seperti sekarang ini. Adapun berkaitan dengan pungutan terhadap rakyat seperti pajak atau dharibah, maka ini hanya akan dilakukan ketika Baitul Mal mengalami krisis atau kekosongan, dan ini sifatnya isidental, tidak setiap saat dan terus menerus, dan hanya berlaku kepada individu muslim dikalangan orang-orang kaya saja, bukan seluruh warga daulah. Karna kedudukan pajak dalam Islam jelas seperti disabdakan Rasulullah SAW, "Tidak akan masuk surga orang yang memungut bea cukai/pajak" [HR Ahmad, ad-Darimi dan Abu Ubaidah].
Sehingga demikianlah peran negara yang menerapkan syariah Islam secara kaffah menjalankan amanah dalam memenuhi kebutuhan rakyatnya. Tidak seperti saat ini, kezaliman terus-menerus terjadi, pungutan semakin beragam, penguasa hanya berperan sebagai regulator yang akan melanggengkan hegemoni kaum kapitalis.
Sistem politik ekonomi Islam ini hanya bisa diterapkan dalam sistem pemerintahan Islam dalam bingkai Khilafah Rasyidah minhajin nubuwwah bukan dalam sistem demokrasi kapitalis. Dan tentu saja telah terbukti melahirkan kesejahteraan, keadilan sosial bagi umat serja kemakmuran negara sampai berhasil menjadi Adidaya dunia yang kuat selama 13 abad lamanya.
Wallahu a'lam bishshawab. []
Oleh: Yeni Yulianti
Aktivis Muslimah
0 Comments