TintaSiyasi.com -- Hidup dalam sistem kapitalis sangatlah mahal bagi para pekerja migran. Tak terkecuali di Indonesia, negeri gemar ripah loh jinawi dari negeri Muslim di kawasan Asia Tenggara. Realitas menunjukkan, kemiskinan masih membelenggu kehidupan masyarakatnya. Belenggu kemiskinan yang membelit masyarakat Indonesia ditunjukkan dengan tingginya angka buruh migran yang mencapai 9 juta jiwa (merujuk pada pada hasil laporan dari World Bank tahun 2017). Sedangkan menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), jumlah pekerja migran Indonesia pada 2021 sebanyak 3,25 juta jiwa. Jumlah itu meningkat 1,88% dibandingkan pada tahun sebelumnya yakni sebanyak 3,19 juta jiwa.
Kemiskinan adalah the biggest trigger factor yang memaksa WNI untuk bekerja ribuan kilometer di negeri orang tanpa jaminan perlindungan memadai dari negara. Hal ini memicu problem lain yaitu kekerasan pada buruh migran, bahkan sampai bertaruh nyawa.
Baru-baru ini diberitakan sebanyak 62 WNI dikabarkan sempat disekap di Kamboja. KBRI Phnom Penh pada Minggu, 31 Juli 2022, mengevakuasi 62 WNI terduga korban tindak pidana perdagangan orang (TPPO) yang dipekerjakan di perusahaan investasi bodong serta judi online oleh perusahaan online scammer di Sihanoukville di Kamboja. WNI tersebut disekap dan disiksa. KBRI Phnom Penh mencatatkan, kasus perdagangan manusia di Kamboja bukan kali ini saja terjadi. Pada 2021, 119 WNI korban investasi bodong telah dipulangkan ke Indonesia. Tahun ini, kasus serupa semakin meningkat. Hingga Juli 2022, tercatat 291 WNI menjadi korban, dengan 133 orang di antaranya sudah berhasil dipulangkan (tempo.co, 3/8/2022).
Migrant CARE menyatakan bahwa kasus perdagangan manusia di Kamboja ini sebagai darurat. Badan itu bahkan mencatat, perkara serupa yang menimpa WNI tidak hanya terjadi di Kamboja, tetapi juga di Filipina dan Thailand. Menurut keterangan Migrant CARE, para korban berasal dari berbagai daerah antara lain Medan (Sumatra Utara), Jakarta, Depok (Jabar), Indragiri Hulu (Riau), Jember (Jatim). Dari agen yang berada di Kamboja, mereka dijanjikan akan bekerja sebagai operator, marketing dan customer service dengan gaji US$1000 – 1500, atau sekitar Rp15-22 juta. Faktanya mereka hanya menerima US$500 atau sekitar Rp 7 juta. Apabila para PMI tersebut mengundurkan diri, konsekuensinya harus membayar denda sebesar US$ 2000 – 11000, atau Rp 30-163 juta.
Korban ini ada yang diperjualbelikan, dipukul, disetrum, bahkan ada yang paspornya dibakar. Korban dijual dengan harga yang beragam, salah satunya dijual seharga US$2000 atau Rp 30 juta. Mereka dijual dari perusahaan satu ke perusahaan lain karena beberapa sebab. Mereka juga dipekerjakan tanpa kontrak dan jam kerja yang panjang. Tak heran, kondisi ini menimbulkan dampak trauma bagi para pekerja.
Fenomena Mengerikan
Fenomena mengerikan ini memperlihatkan kegagalan fantastis sistem ekonomi kapitalis sekuler dalam memenuhi hak-hak ekonomi rakyat. Sistem ini memaksa jutaan rakyat untuk bermigrasi ribuan kilometer hanya demi memenuhi kebutuhan dasar kehidupan, yakni sandang, pangan, dan papan. Kapitalisme sekuler memiliki konsekuensi yang mahal dan kejam bagi rakyat.
Janji manis kapitalisme sekuler tentang jaminan kesejahteraan harus dibedakan dari realitasnya. Secara sistemis, kapitalisme sekuler melahirkan negara korporasi, hasil perkawinan antara elite politik dan kaum pemodal (kapitalis) yang secara ‘genetik’ tidak akan bersifat pro-rakyat. Kemiskinan dan kesenjangan global adalah bukti yang sangat nyata. Kemiskinan dan rendahnya kesejahteraan di negeri ini dan juga di negara-negara dunia ketiga lainnya adalah penyebab fenomena mengglobalnya industri perburuhan di seluruh dunia.
Kapitalisme sekuler yang diterapkan di negeri-negeri Muslim dan di seluruh negeri di dunia meniscayakan prinsip pasar bebas (liberalisasi) dan model keuangan berbasis bunga (riba). Dua hal inilah yang menyebabkan kekayaan hanya beredar di kalangan segelintir kaum elite sedangkan kemiskinan dan derita menyebarluas pada penduduk mayoritas. Dalam riset yang dibuat oleh lembaga amal Oxfam disimpulkan bahwa seorang new miliarder muncul setiap 30 jam selama pandemi Covid-19. Di sisi lain, hampir satu juta orang bisa jatuh ke dalam kemiskinan ekstrem pada tingkat yang hampir sama pada tahun 2022. Oxfam menyebutkan dalam KTT Forum Ekonomi Dunia di Davos, Swiss bahwa hal ini setara dengan hampir satu juta orang setiap 33 jam, dikutip CNBC International, Senin (23/5/2022). Efek beracun selanjutnya adalah terjadinya eksploitasi transnasional pekerja migran secara massal tanpa bisa diberantas tuntas.
Kapitalisme Eksploitatif
Nilai-nilai kapitalisme berkontribusi besar dalam mengonstruksi paradigma yang eksploitatif pada kaum papa. Prinsip kebebasan kepemilikan, sangat berperan dalam membentuk manusia-manusia egois dan eksploitatif. Ada harga dan profit dalam setiap relasi sosial (aktivitas hablum minannaas) yang dibangun. Prinsip ini lantas merobohkan value kemanusiaan, moral, dan spiritual. Maka tak heran, mindset diktatorisme para majikan terhadap para pekerjanya, dengan upah minimum, tindakan sewenang-wenang, kasar, baik fisik, verbal, maupun kekerasan seksual tanpa memedulikan dampak pada para pekerja.
Di sisi lain, kita dapat mengindera dengan sangat jelas bagaimana perusahaan perekrut kerja mengatur bisnis ini sedemikian rupa dengan mencari profit dari penderitaan para buruh migran. Tidak sampai di situ, fakta pilu ini masih berlanjut ketika pemerintah di seluruh dunia Muslim minus kompetensi dalam menyejahterakan rakyat pribumi. Pemerintah lebih terlihat abai terhadap hak-hak pekerja migran yang mereka ‘ekspor’ layaknya komoditas hanya demi angka-angka remitensi ekonomi yang tak bisa dinikmati.
Kaum pekerja hari ini menjadi korban politik perburuhan kapitalisme. Sementara itu, negara absen dalam peran melindungi hak-hak mereka, baik sebagai pekerja maupun sebagai warga negara. Politik perburuhan kapitalisme tak pernah sepi dari problem kemanusiaan. Hal ini dipicu antara lain akibat cara pandang perburuhan kapitalisme yang menciptakan kasta antara majikan dan pekerja. Majikan memiliki posisi tawar yang lebih kuat karena mereka memiliki modal, sedangkan pekerja tak punya posisi tawar lebih. Diskriminasi pekerja pun tak dapat dihindari. Belum lagi problem upah buruh minimum yang diadopsi dari standar ‘living cost’ kapitalisme sebagai standar penentuan kelayakan upah bagi kaum pekerja. Sehingga, para pekerja tidak mendapatkan gaji mereka yang sesungguhnya, melainkan sekadar uang untuk bertahan hidup.
Sementara itu, negara abai dalam dua hal utama, yakni menjamin kesejahteraan rakyat di dalam negeri dan memberikan jaminan perlindungan terhadap mereka yang bekerja di luar negeri. Para pemimpin boneka negara kapitalis sekuler ini ternyata inkompeten menyeselaikan kemiskinan di negerinya dan gagal menyediakan lapangan pekerjaan yang layak bagi jutaan rakyatnya. Tak hanya itu, mereka juga gagal memerangi mega korupsi, menghentikan ketergantungan terhadap utang luar negeri dan investasi beracun dari asing, serta tidak mampu mengelola kekayaan SDA. Pemimpin seperti ini juga lebih tergiur pada kepentingan ekonomi nasional dengan menjadikan warga negaranya sendiri sebagai komoditas untuk memenuhi demand tenaga kerja domestik di luar negeri, tanpa disertai upaya sungguh-sungguh untuk menjamin perlindungan hukum bagi hak-hak pekerja di sana.
Berbagai upaya dan inisiatif global untuk menyelesaikan sengkarut perburuhan selalu menemui jalan buntu. Upaya di semua level, baik revisi UU perburuhan, perjanjian maupun kesepakatan antara negara pengirim dan negara tujuan, hingga pembentukan serikat pekerja sekalipun selalu kandas karena tidak pernah menyentuh akar persoalan. Selama kepentingan ekonomi berada di atas hak-hak pekerja sebagaimana anjuran kapitalisme, selama itu pula problem perburuhan akan tetap ada.
Dunia Butuh Arus Baru Perekonomian
Sungguh, derasnya arus ekonomi kapitalisme global yang diadopsi ratusan negara di dunia harus dibendung bahkan dimusnahkan. Dunia membutuhkan arus baru tata kelola perekonomian yang sekaligus akan membenahi kekacauan dunia perburuhan saat ini. Dunia membutuhkan Islam. Islam mengonstruksi masyarakat dengan fondasi akidah. Konsep kehidupannya berjalan dalam rangka ibadah kepada Allah SWT. Sedangkan identitas masyarakatnya begitu khas, yakni memandang kemuliaan dari sisi ketakwaan, bukan fisik ataupun material. Islam tidak pernah membangun value kehidupan yang menempatkan materi di atas moralitas atau uang di atas harkat dan martabat manusia, sekalipun mereka miskin. Nilai-nilai inilah yang mampu meminimalisir eksploitasi dan kezaliman antarsesama manusia. Sungguh, sebuah gambaran masyarakat yang berkepribadian kuat lagi bermartabat dalam sebuah peradaban manusia.
Nilai dan hukum Islam menciptakan iklim bisnis berada dalam orbit halal haram. Dalam konteks ketenagakerjaan, Islam tidak memiliki problem serius soal perburuhan apalagi sampai menjadi momok menakutkan seperti sekarang. Hal ini karena Islam memiliki prinsip-prinsip dalam politik perburuhan yang mampu menangkal persoalan perburuhan. Di antaranya, prinsip kesetaraan antara majikan dan pekerja. Relasi keduanya adalah relasi yang harusnya saling menguntungkan. Haram bagi satu pihak menzalimi pihak lain. Islam juga menetapkan upah yang adil, bukan berdasarkan living cost. Standar Islam dalam pemberian upah adalah manfaat tenaga yang diberikan pekerja. Karena itu, tidak akan terjadi eksploitasi pekerja oleh majikan. Majikan akan tunduk di bawah regulasi syariat untuk memberikan upah yang layak dan tepat waktu berdasarkan kesepakatan. Jika terjadi sengketa antara keduanya, maka pakarlah yang akan menentukan upah sepadan. Pakar ini dipilih oleh kedua belah pihak. Jika keduanya tidak menemukan kata sepakat, maka negaralah yang memilihkan pakar untuk mereka, dan negaralah yang akan ‘memaksa’ kedua belah pihak untuk mengikuti keputusan pakar tersebut. Dalam hal ini Islam mengaturnya dalam hukum-hukum yang rinci tentang ijarotul ajir (kontrak kerja) sesuai syariat.
Sungguh, kita semua menginginkan keadilan bagi semua orang. Ketika kapitalisme hanya menebar janji palsu, Islam telah nyata memberikan bukti konkret. Implementasi syariat Islam dalam institusi negara bernama khilafah memberikan teladan paling baik sepanjang sejarah berbilang abad dalam memberikan perlindungan penuh bagi seluruh rakyat, termasuk kaum pekerja.
Oleh karenanya, perlu arus dakwah yang masif kepada seluruh umat untuk terus mempromosikan Islam sebagai way of life di tengah kebuntuan yang diciptakan kapitalisme sekuler. Dengan begitu, umat akan memahami hakikat Islam, menerimanya, dan mau bergerak untuk ikut memperjuangkan tegaknya Islam dalam kancah kehidupan.
Wallahu a'lam bishshawab. []
Oleh: Pipit Agustin
Forum Hijrah Kafah
0 Comments