Terbaru

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Negara Tergadai dan Abai karena Utang Riba


TintaSiyasi.com -- Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Menko Marves) Luhut Binsar Pandjaitan mengakui bahwa utang Indonesia terbilang besar. Namun, menurutnya Indonesia mampu menbayar utang tersebut. "Orang bilang kita ini utangnya banyak, betul Rp 7.000 triliun. Tapi kita bandingkan itu hanya 41 persen dari produk domestik bruto (PDB) kita," ujar Luhut dalam acara Silaturahmi Nasional Persatuan Purnawirawan TNI AD (PPAD) Tahun 2022, di Sentul International Convention Center di Bogor, sebagaimana disiarkan YouTube PPAD TNI, Jumat (5/8/2022).

Menko Luhut menyebutkan bahwa hutang Indonesia merupakan utang produktif misalnya untuk membangun tol. Salah satu indikator bahwa utang di gunakan untuk sektor produktif adalah mengecilnya rasio utang terhadap PDB. jadi, PDB meningkat sebagai hasil dari sektor produktif tersebut faktanya rasio utang Indonesia terhadap PDB justru kian meningkat.

Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Bima Yudhistira menandaskan ketergantungan luar negeri akan berdampak negatif bagi perekonomian nasional dampak pertama yang di timbulkan ialah pinjaman dalam bentuk valas akan menyedot supplai dolar di dalam negeri. "Artinya pemerintah harus menyediakan pembayaran bunga utang dan cicilan pokok dengan stok valas yang besar wajar jika kurs rupiah menjadi mudah melemah dalam jangka panjang, " SINDOnews, jakarta, selasa (14/7/2020).

Bahkan, Indonesia ditengarai terjebak skema Ponzi, yakni utang baru untuk membayar utang yang lama, alias gali lubang tutup lubang. Pembayaran bunga utang saja sudah mencapai Rp 405,9 triliun pada tahun 2022 jumbah ini mencapai 20, 87% dari total belanja pemerintah hal ini berdampak pada ruang fisikal.

Lagi-lagi rakyat yang harus menjadi korban, riayah (pengurusan) terhadap rakyat akan makin minim. Di satu sisi target pajak makin besar. Di sisi lain negara makin berlepas tangan terhadap pemenuhan hajat rakyat ahirnya beban hidup makin berat.

Sri Mulyani sendiri merinci realisasi komponen pendapatan bersumber dari perpajakan yang mencapai Rp 676,07 triliun, penerimaan negara bukan pajak (PNBP) mencapai 177,37 triliun, dan hibah mencapai Rp 0,11 triliun.

Dengan rincian di atas membuktikan bahwa sumber pendapatan negara terbesar adalah dari pajak, inilah bukti wajah kapitalisme dalam me-riayah warga negaranya, dengan istilah "tidak ada makan gratis". Rakyat dipalak dengan berbagai macam pajak, lalu pertanyaannya utang negara untuk apa? Infrastruktur apakah mampu menjamin kesejahteraan rakyat, betulkah rakyat butuh itu semua?

Maka adakah negara yang bisa membiayai negaranya tanpa utang? Sedangkan negara-negara maju saja punya utang, seperti AS dan Jepang. Jawabannya, ada, yaitu Khilafah Islam.

Selama rentang panjang khilafah yang berlangsung 13 abad, APBN selalu cukup. Hanya pada masa akhir Utsmaniyah, khilafah mulai mengambil utang luar negeri.

Kunci keberhasilan khilafah dalam mencukupi belanja tanpa utang adalah politik ekonomi Islam. Maksudnya adalah jaminan pemenuhan terhadap semua kebutuhan primer (sandang, pangan, dan papan) setiap rakyat, serta pemenuhan kebutuhan sekunder sesuai kadar kemampuannya sebagai individu dan masyarakat.

Pemenuhan kebutuhan rakyat ini dilakukan khilafah dengan prinsip kemandirian sehingga tidak bergantung pada utang. Khilafah haram mengambil utang luar negeri karena adanya jebakan utang (debt trap) yang berbahaya bagi kedaulatan negara.

Prinsip lainnya adalah kesederhanaan dalam anggaran. Alokasi anggaran didasarkan pada prioritas kebutuhan yang wajib, darurat, dan penting. Negara dan aparatnya jauh dari sikap foya-foya. Pembangunan infrastruktur dilakukan berdasarkan analis kebutuhan yang efektif dan efisien, bukan proyek prestisius demi pencitraan bela.

Untuk memenuhi kebutuhan rakyat, khilafah mendasarkan pada konsep kepemilikan. Individu rakyat berhak memiliki kepemilikan individu sehingga mereka bisa berbisnis demi nafkah keluarga.

Negara juga mengelola kepemilikan umum secara profesional untuk kepentingan dan kesejahteraan rakyat. Kepemilikan umum ini tidak boleh di kuasai swasta (asing maupun lokal) karena mereka akan memonopoli kekayaan alam dan mencegah rakyat menikmati hasilnya.

Demikianlah kunci khilafah untuk menjadi negara yang bisa membiayai APBN tanpa utang. Hanya khilafah yang bisa mewujudkan hal ini. Walhasil, untuk bebas dari utang, kita benar-benar butuh khilafah (MNews).

Wallahu a'lam bishshawab. []


Oleh: Lafifah
Sahabat TintaSiyasi
Baca Juga

Post a Comment

0 Comments