TintaSiyasi.com -- Salah satu "tradisi tahunan" di Indonesia setiap musim kemarau adalah terjadinya kebakaran hutan. Persoalan ini telah menjadi PR pemerintah selama puluhan tahun, namun anehnya tidak ada upaya nyata yang bisa menghentikan tradisi "menyesakkan" ini. Muncul pertanyaan, apakah pemerintah sebenarnya tidak pernah menganggap masalah ini sebagai PR, sehingga karhutla terus terjadi setiap tahunnya tanpa tindakan berarti?
Kebakaran hutan dan lahan (Karhutla) yang terjadi di Provinsi Riau saja, telah mencapai 1.060,85 hektare. Angka luas Karhutla tersebut dihimpun selama periode Januari hingga Juli 2022. Hal tersebut diungkapkan oleh Kepala Pelaksana (Kalaksa) Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Provinsi Riau, Edy Afrizal, Jumat, 5 Agustus 2022 (kumparan.com, 05/08/2022).
Selama rentang waktu terhitung setengah tahun satu bulan tersebut, Edy menyebutkan juga, kendala yang kerap dihadapi timnya saat melakukan operasi pemadaman titik api dan firespot adalah kondisi alam dan trek lokasi kejadian Karhutla. Inilah yang kerap menjadi alasan pemerintah tidak mampu segera memadamkan api ketika terjadi kebakaran hutan.
Memang ada benarnya, bahwa kebakaran hutan sangat sulit dipadamkan ketika api telah tersulut dan terlanjur menyebar luas. Namun, bukan di situ letak persoalannya. Hal yang lebih penting yang merupakan akar masalah adalah penyebab awal terjadinya karhutla tersebut. Jika pemerintah memahami bahwa karhutla sangat sulit dikendalikan maka satu-satunya cara adalah mencegah karhutla sedemikian rupa. Alih-alih meremehkannya dan baru bertindak ketika api tidak mungkin dipadamkan lagi.
Faktanya, kebakaran hutan yang terjadi di Indonesia, bukan hanya disebabkan oleh faktor alam, seperti cuaca kering dan panas. Melainkan kebanyakan disebabkan oleh pembakaran sengaja oleh oknum perusahaan yang ingin membuka lahan. Membakar hutan dianggap cara paling mudah dan efisien untuk membuka lahan. Tentu, tindakan ini tidak mempedulikan dampak buruk kebakaran terhadap lingkungan sekitar.
Berdasarkan hukum atau undang-undang, membakar atau menyebabkan kebakaran hutan adalah perbuatan kriminal. Setiap pelaku tindak pidana karhutla akan diserahkan kepada kepolisian dan menjalani proses hukum. Untuk kasus karhutla di Riau tahun ini, Kepala Bidang (Kabid) Humas Kepolisian Daerah (Polda) Provinsi Riau, Sunarto, mengungkapkan kalau pihaknya sudah mendapatkan 8 laporan karhutla dan berhasil mengamankan 9 tersangka yang berasal dari perorangan.
Namun menghadapi kenyataan bahwa karhutla terus terjadi setiap tahun, membuktikan bahwa undang-undang yang ada tidak membuat jera para pelaku, khususnya korporasi atau para pengusaha. Membuktikan pula bahwa pemerintah kurang serius dalam menanggulangi hal ini. Penangkapan beberapa oknum pembakar hutan pun seakan-akan hanya formalitas tahunan saja.
Bukan tanpa alasan jika rakyat mencurigai bahwa pemerintah setengah hati menanggulangi karhutla dan telah "bersengkongkol" dengan korporasi. Sebab rekam jejak pejabat Indonesia penuh dengan catatan hitam korupsi. Selain itu, masyarakat paham bahwa kapitalisme pada dasarnya hanya mempedulikan keuntungan materi tanpa memperhitungkan dampak kerusakan lingkungan.
Dengan mudahnya, para konglomerasi selalu lolos dari jerat hukum. Dengan kekuatan uang, segala urusan hukum pun selesai begitu saja. Perijinan pengelolaan hutan pun sangat mudah didapat. Jika pemerintah serius memperhatikan dampak lingkungan, seharusnya tidak boleh ada lagi pembukaan hutan. Kalaupun ada, harusnya dalam jumlah sangat terbatas dan diawasi dengan ketat.
Kalau kita pikir-pikir apa sulitnya melakukan hal tersebut, ketimbang berjibaku memadamkan kobaran api. Sungguh disayangkan melihat negeri ini dikalahkan oleh kekuatan korporasi. Padahal, bahaya yang ditimbulkan oleh karhutla ini tidak ringan.
Kebakaran hutan dan lahan menimbulkan kerugian yang tidak terhitung. Ratusan ribu orang menderita infeksi saluran pernapasan akut (ISPA). Kebanyakan dari mereka adalah anak-anak yang rentan terkena ISPA. Selain menurunkan kesehatan masyarakat akibat ISPA, kebakaran hutan dan lahan juga merusak habitat satwa liar.
Di antaranya habitat gajah di Taman Nasional Sembilang dan Suaka Margasatwa Padang Sugihan di Kabupaten Banyuasin, Sumatera Selatan, habis terbakar. Di Kabupaten Kubu Raya, Kalimantan Tengah, karena habitatnya diselimuti kabut asap, bayi orangutan tersangkut di areal perkebunan kelapa sawit yang terbakar akibat aktivitas pembukaan lahan. Bayi orangutan tersebut kemudian diselamatkan oleh warga dan dibawa ke kantor Balai Konservasi Sumber Daya Alam setempat.
Akibat berkurangnya habitat ini, diprediksi kuat bahwa intensitas konflik antara satwa liar dan manusia akan meningkat. Data Institute Hijau Indonesia menyatakan bahwa 12 juta hektar kawasan hutan Indonesia, rumah bagi jutaan keanekaragaman hayati, telah diubah menjadi perkebunan kelapa sawit.
Karhutla juga menyebabkan hilangnya unsur hara, rusaknya organisme dan hewan darat, rusaknya tekstur tanah, naiknya suhu global, berkurangnya keanekaragaman hayati, dan rusaknya siklus hidrologi. Kerugian jiwa dan ekologi akibat kebakaran hutan dan lahan tentu tidak ternilai harganya dibandingkan kerugian di sektor ekonomi, pariwisata, dan potensi kerugian akibat kelumpuhan penerbangan.
Pemerintah yang bertanggung jawab dan bijaksana harusnya benar-benar memperhatikan hal ini. Berbagai hal berkaitan dengan kesejahteraan rakyat harusnya menjadi perhatian utama. Berbagai kerugian akibat kebakaran hutan, tidak hanya dirasakan saat ini, tapi dirasakan juga di masa yang akan datang.
Saat ini saja, berbagai musibah bencana alam telah melanda Indonesia. Banjir dan tanah longsor kerap terjadi di musim penghujan, sedangkan pada musim kemarau terjadi kekeringan parah. Semua itu tidak lain disebabkan telah sangat berkurangnya pepohonan yang berperan sebagai penunjang tanah dan penyimpan air.
Andai saja, Indonesia adalah negara kokoh yang tidak berpegang pada prinsip kapitalisme, pastilah mudah menyelesaikan karhutla ini. Lebih-lebih Indonesia adalah negara berpenduduk mayoritas Muslim. Di mana ajaran Islam memandang bahwa sumber kebahagiaan dan kesejahteraan umat berasal dari ridha Allah, bukan dari banyaknya materi sebagaimana pandangan kaum kapitalis. Islam juga memiliki aturan lengkap tentang berbagai persoalan dan pengelolaan negara. Jika prinsip dan aturan Islam diterapkan, pasti masalah karhutla ini cepat terselesaikan. Lebih dari itu, segala permasalahan umat lainnya pun mudah untuk diatasi.
Wallahu a'lam bishshawab. []
Oleh: Dinda Kusuma W T
Sahabat TintaSiyasi
0 Comments