TintaSiyasi.com -- Pakar Hukum dan Masyarakat Prof. Dr. Suteki, S.H., M.Hum. menyampaikan bahwa motif itu penting untuk menilai tingkat kesengajaan dan ada tidaknya rencana melakukan tindakan pidana.
"Motif
itu penting untuk menilai tingkat kesengajaan dan ada tidaknya perencanaan
dalam melakukan tindak pidana, misalnya pembunuhan,” ujarnya dalam diskusi bertajuk
Empat Hal yang Luput dari Kasus Ferdy Sambo yang Terancam Pidana Mati,
Rabu (10/08/2022) di Youtube Prof. Suteki.
Menurut Guru
Besar Fakultas Hukum Undip itu, kalau pada pembunuhan biasa, maka perbuatan
dilakukan seketika pada waktu timbul niat. “Sedangkan pada pembunuhan
berencana, ketika timbul niat maka tidak langsung dilaksanakan, tetapi ada waktu
untuk berpikir bagaimana cara melakukan pembunuhan,” ujarnya.
“Motifnya
memang beda-beda orang itu melakukan pembunuhan. Seketika itu muncul langsung,
apabila terlibat cekcok kemudian mau bunuh,” paparnya.
Ia
mencontohkan, misal motifnya balas dendam. Ada upaya untuk menyingkirkan karena
rivalitas atau ingin menyingkirkan karena akan membongkar sesuatu rahasia.
"Akan
direncanakan, itu disebut sebagai pembunuhan berencana. Motif yang berbeda
antara yang seketika dan perencanaan tertentu,” tuturnya.
Sesuai Pasal
Prof. Suteki
mengatakan, hukuman berbeda sesuai dengan pasal atas perkara pidana. “Seketika,
itu lebih tepat ke Pasal 338 pembunuhan biasa, ancamannya 15 tahun paling lama,”
sebutnya.
“Sedangkan
pembunuhan terkait Brigadir (J) ini, sudah ada 2, 3, 4 orang termasuk Irjen
Ferdy Sambo (FS) itu pelakunya, diancam paling tinggi pidana mati, seumur
hidup, atau paling lama 20 tahun. Karena termasuk Pasal 340 pembunuhan
berencana,” terangnya.
Tersangka
yang lain, ia melihat, motif dari Ferdy Sambo (FS), sebagai pelaku pembunuhan
terhadap Brigadir (J) adalah kesengajaan yang direncanakan.
“Jadi bukan
tiba-tiba muncul membunuh karena alasan yang tiba-tiba,” kata Prof. Suteki itu.
Tiga
tersangka yang lain juga termasuk FS, menurut dia, lebih tepat dijerat Pasal
340 subsider 338. “Jadi kalau misal, lepas dari pasal 340 pembunuhan berencana,
nanti akan tetap terjerat dengan pelaku pembunuhan biasa, yaitu 338,” jelasnya.
“Tetapi
apabila sudah ditetapkan pembunuhan berencana, termasuk orang yang menyuruh itu
disebut pelaku. Bukan yang menembak langsung, karena sebagai penganjur,
menyuruh melakukan,” tambahnya.
Hubungan FS dengan Km-50
Prof. Suteki
juga mengungkapkan, banyak pernyataan di media social, ‘Dari Duren Tiga ke KM 50’.
“Kalau mau mengaitkan hubungan FS sangat mungkin. Dalam bidang hukum itu tidak
selalu sebab akibat, tetapi hubungan pengaitan,” ujar dia.
Ketika kasus
KM 50 FPI terjadi, menurutnya, sekitar Desember 2020. FS berada di posisi Kadiv
Propam. “Ketika menangani KM 50 itu, FS mengerahkan sekitar 30 anggota Tim
Propam untuk mengungkap kasus tersebut,” tutur dia.
Ia
menegaskan, persoalan adanya divisi Propam dalam kasus ditembaknya enam laskar
FPI, bukan karena indikasi pelanggaran. “Namun, bertugas memeriksa penggunaan
kekuatan sudah sesuai perekap atau belum. Berarti arahnya ke kode etik,”
paparnya.
Hasilnya
apa? Lanjut dia, kasus KM 50 berakhir dengan sidang putusan majelis hakim yang
memvonis kedua terdakwa lepas. “Jadi terbebas lepas dari segala tuntutan yang
ada,” jelasnya.
Fakta
selanjutnya, papar dia, kedua terdakwa itu tidak dijatuhi hukuman, karena
alasan pembenaran yakni menembak untuk membela diri.
“Kalau kita
pikir bagaimana kaitan antara putusan hakim dengan hasil pemeriksaan di Propam,
tentu ada yang menyatakan sudah sesuai perekap Polri, melakukan pembelaan yang
terpaksa,” ungkapnya.
Jadi, tambah
dia lagi, pertimbangan hakim untuk menguatkan putusan untuk kedua terdakwa itu,
harus terlepas dari segala tuntutan.
“Kalau kita
mau menghubungkan ke yang lain dalam kemungkinan perbedaan fakta yang
ditemukan. Misal, antara pihak penegak hukum dengan Komnas HAM, tetapi berbeda
bentuk dengan Tim Amin Rais dan juga Marwanto Batu Bara,” terangnya.
“Sekarang
mana yang benar? Sampai sekarang masih bisa dikatakan misteri. Kemudian ada
upaya untuk ‘membersihkan’ jejak itu dengan melenyapkan atau memusnahkan
TKP," tandasnya.
Masyarakat
bertanya, tambahnya, dimana arus area KM 50. Adakah hubungan geng FS dengan KM 50.
“Ketika
penanganan kasus Brigadir (J) ini busuk. Ada kemungkinan menduga berarti,
penanganan kasus-kasus besar yang menyita perhatian masyarakat, juga ada
kemungkinan terjadi pembusukan di sini,” pungkasnya.[] Mariyam Sundari
0 Comments