TintaSiyasi.com -- Wong ko ngene kok dibanding-bandingke, saing saingke, yo mesti kalah.
Itulah sepenggal lirik lagu yang dibawakan oleh Farel, penyanyi cilik asal Banyuwangi, pada acara peringatan kemerdekaan Indonesia ke-77, di Istana Negara. Acara yang dihadiri oleh presiden bersama staff nya serta para tamu undangan itu mendapat kejutan dengan penampilan Farel yang menyanyi lagu berjudul Ojo Dibandingke.
Lagu yang dinyanyikan Farel tersebut bercerita tentang lemahnya kemampuan seseorang apabila dibandingkan dengan yang lainnya. Jika ditarik dari maknanya, apakah lagu ini juga cerminan rendahnya bangsa ini? Judul acaranya upacara kemerdekaan, tetapi isi lagunya justru jauh dari kemenangan, bahkan menunjukkan kekalahan.
Coba kita telaah prestasi bangsa ini yang bisa dibilang masih banyak kalahnya. Kita lihat dari segi menangani pengangguran, yo mesti kalah. Dalam mengentaskan kemiskinan, yo mesti kalah. Dalam menuntaskan korupsi, yo mesti kalah. Terbukti dari masih banyaknya kasus korupsi yang terus bermunculan. Angka kemiskinan dan pengangguran juga masih tinggi. Pokoknya, banyak hal-hal lain yang kita yo mesti kalah bila dibandingkan dengan negara lain. Sudahlah kalah, mentalnya susah berubah menjadi lebih baik sehingga tidak mau dibanding-bandingkan.
Hingga puluhan tahun merdeka, rupanya negeri ini masih terus berjuang menghadapi ragam persoalan. Di dunia pendidikan, dengan kurikulum yang terus-menerus berubah menunjukkan kebingungan pemerintah dalam mengelola pendidikan bagi rakyat. Dalam hal ekonomi, bermacam masalah terus membeli seperti halnya kelangkaan BBM subsidi dan ancaman kenaikan harga. Baru-baru ini, naiknya pertalite menjadi 10.000 diprediksi akan menaikkan inflasi 7%-8%.
Fenomena anak muda pinggiran Jakarta yang berlomba-lomba tampil menarik di Sudirman hingga drama mafia di kepolisian yang menghabisi anggotanya sendiri menjadi sorotan tajam yang tidak bisa dinafikan. Masih banyak lagi deretan kasus yang menunjukkan bahwa kondisi negeri ini tidak baik-baik saja dan belum benar-benar merdeka.
Setiap tahun kita memperingati hari kemerdekaan. Dengan berbagai lomba yang kita suguhkan, rela berpanas-panasan di bawah terik matahari saat upacara, serta segala materi dan waktu yang kita korbankan, seperti itukah kemerdekaan?
Kita tidak bisa menutup mata bahwa kemiskinan, kriminalitas, dan kebodohan masih menjangkiti negeri ini. Kekayaan alam dikuasai segelintir orang. Kesenjangan sosial kian menganga lebar. Fasilitas kesehatan hanya bisa dinikmati bagi yang berduit. Konten tidak berfaedah berseliweran di media sosial maupun di dunia nyata dengan gamblangnya menjadi kiblat para remaja. Muncullah beragam mental illness yang mendera generasi muda itu hingga berbuah banyak kriminalitas. Mental pembebek juga menjadi masalah yang membuat negeri ini sulit maju.
Rasa-rasanya merdeka hanya memindahkan penjajahan saja, dari penjajahan yang terang-terangan memerangi dengan senjata api kepada penjajahan dengan pemikiran. Sampai kapan umat ini terus terkekang dengan penjajahan?
Umat butuh kemerdekaan yang hakiki, bukan sekadar klaim merdeka tapi masih terpuruk dalam penjajahan yang hanya beda versi saja, sebagaimana misi kemerdekaan yang Rasul sampaikan pada penduduk Najran yang berbunyi:
«… أَمّا بَعْدُ فَإِنّي أَدْعُوكُمْ إلَى عِبَادَةِ اللّهِ مِنْ عِبَادَةِ الْعِبَادِ وَأَدْعُوكُمْ إلَى وِلاَيَةِ اللّهِ مِنْ وِلاَيَةِ الْعِبَادِ …»
…Amma badu. Aku menyeru kalian untuk menghambakan diri kepada Allah dan meninggalkan penghambaan kepada sesama hamba (manusia). Aku pun menyeru kalian agar berada dalam kekuasaan Allah dan membebaskan diri dari penguasaan oleh sesama hamba (manusia)… (Al-Hafizh Ibnu Katsir, Al-Bidayah wa an-Nihayah, V/553).
Kemerdekaan ini harus ditempuh oleh semua elemen, baik individu, masyarakat, juga negara. Individu berperilaku benar sesuai keyakinannya. Tidak boleh menghalangi Muslim untuk tunduk pada Rabbnya. Setiap orang dihormati kebebasannya selama masih dalam koridornya. Tidak dibiarkan adanya perilaku membebek pada tren yang sedang booming saat ini tanpa mengetahui manfaatnya. Setiap perbuatan dilakukan karena ada panduannya, bukan sekadar keinginan pribadi semata atau mengikuti perkembangan zaman supaya tetap memiliki gengsi.
Masyarakat bisa terbebas dari jeratan budaya asing ciptaan manusia yang membuat mereka semakin jauh dari Islam. Kita bisa dengan bebas memilih corak peradaban sesuai dengan yang Allah perintahkan. Syariat Islam akan selalu menjadi rujukan.
Begitu juga negara bisa membebaskan diri dari penjajahan fisik, politik, ekonomi, dan budaya. Negara akan menerapkan peraturannya tanpa campur tangan negara lain. Tidak terikat dan tidak ada tekanan dari negara lain dalam segala kebijakannya. Bagi Muslim, tentu negara ini adalah negara yang menerapkan syariat Allah. Selama peraturan yang diterapkan berasal dari manusia, maka selama itu juga kita belum merdeka.
Sudah seharusnya umat berjuang untuk terlepas dari belenggu penguasaan sesama manusia. Kemerdekaan sesungguhnya adalah bila terlepas dari belenggu demokrasi yang membuat manusia menaati kesepakatan manusia tanpa peduli sesuai dengan syariat-Nya. Merdeka juga berarti terlepas dari tuduhan radikal saat menyuarakan Islam. Kita juga bebas berlomba menjadi umat terbaik yang terus melakukan amar makruf nahi mungkar tanpa takut disebut intoleran. Bebas sejatinya adalah menerapkan syariat Islam tanpa ada tekanan dari makhluk mana pun, menjadi hamba yang benar-benar menjalankan aturan-Nya.
Wallahu a’lam bishshawab. []
Oleh: Zakiyaturrohmah, S.Pd.
Sahabat TintaSiyasi
0 Comments