TintaSiyasi.com -- Jalur Gaza kembali memanas akibat serangan udara Israel. PM Israel mengatakan bahwa operasi tersebut akibat adanya “ancaman langsung” Palestinian Islamic Jihad (PIJ) atau kelompok Jihad Islam Palestina setelah penangkapan salah satu anggotanya awal pekan lalu. “PIJ menembakkan lebih dari 100 roket ke Israel sebagai tanggapan awal,” kata PM Yair Lapid seperti di kutip di BBC, Sabtu (6/8/2022).
Jumlah warga Palestina yang tewas dalam serangan Israel ke Gaza akhir pekan lalu pada hari Kamis (11/8) ada sekitar 48 orang setelah seorang gadis berusia 11 tahun dan seorang laki-laki meninggal. Secara keseluruhan lebih dari 300 warga Palestina luka-luka, ketika Israel memborbardir sasaran-sasaran Palestinian Islamic Jihad (PIJ) atau kelompok Jihad Islam Palestina sepanjang akhir pekan lalu (liputan6.com, 12/8/2022).
Hingga akhirnya serangan kedua pihak berakhir setelah menyepakati gencatan senjata yang dimediasi Mesir. Namun gencatan senjata dinodai dengan terbunuhnya dua remaja Palestina dalam serangan pasukan Israel ke sebuah rumah di Tepi Barat. Hingga memicu kemarahan kelompok-kelompok perlawanan.
Pengepungan Gaza yang terjadi selama 15 tahun oleh Israel telah membuat warga Palestina tidak dapat hidup normal. Israel dan Mesir dengan ketat membatasi pergerakan orang dan barang masuk dan keluar dari Gaza, memberlakukan blokade darat dan laut, dengan alasan masalah keamanan.
“Di Gaza tidak banyak pilihan di hadapan kita. Kami menderita dan perlahan-lahan sekarat dibawah blokade, jadi bagaimana dengan perang dan eskalasi militer Israel yang terus menghancurkan?,” kata Yasser Awadallah (44 tahun) dikutip di Republika.co.id, Ahad (14/8/2022).
Padahal mayoritas negara-negara di dunia ketika Israel mencaploknya tahun 1967 tidak mengakui dan tidak mendukung pendudukan kota Al-Quds oleh Israel. Dan ketika Amerika Serikat pada tahun 2017 di masa pemerintahan Trump dengan serampangan mengakui Al-Quds sebagai ibukota Israel.
Majelis Umum PBB dengan dukungan suara dari 128 negara. Hanya Amerika Serikat dan 8 negara kecil yang mendukung keputusan itu. Sejumlah 35 Negara memilih abstain dan 21 negara tidak hadir persidangan. Dengan begitu klaim PM Israel terpatahkan menurut hukum internasional. Namun meskipun sudah dipermalukan seperti itu, Israel dan AS tetaplah bebal.
Kota suci bagi tiga agama yang juga menjadi tempat di mana dakwah para Nabi tumbuh bersemi. Umat Kristiani meyakini, bahwa Yerusalem erat kaitannya dengan lokasi penyaliban dan kebangkitan Yesus. Teruntuk umat Islam, di negeri ini berdiam Baitul Maqdis sebagai saksi peristiwa Isra’ Miraj’, kiblat pertama kaum Muslim, dan salah satu masjid yang paling mulia.
Bagi orang-orang Yahudi, di tanah yang dinjanjikan tersebut berdiri kokoh Dinding Ratapan dan diyakininya sebagai lokasi bersemayamnya reruntuhan Kuil Sulaiman. Jika ketiga agama tersebut sama-sama menganggap suci Yerusalem. Lantas siapakah yang paling berhak menguasainya?
Sebelum pembebasan Islam, Yerusalem telah sejak lama menjadi wilayah rawan konflik yang terus menerus ditaklukan secara bergantian. Penghancuran kuil dan berbagai rumah suci menjadi hal biasa terjadi, hingga seolah dianggap sebagai rutinitas yang wajib dilakukan oleh setiap penguasa yang hendak menguasai Yerusalem.
Ketika kota suci Al-Quds jatuh ke tangan pasukan Salib, penduduknya kemudian dibantai dan dihabisi tanpa ampun sama sekali. Mereka yang berlari dan mencoba berlindung di Masjid Al-Aqsha, juga tidak luput dari pembantaian mengerikan itu.
“… di kuil ini 10.000 orang dibunuh. Tentu jika anda berada disana, Anda akan melihat hingga mata kaki kami terwarnai oleh darah-darah mereka yang dibunuh.” (Pendeta Foucher de Chartes, lahir tahun 1059, ia terlibat dalam Perang Salib I).
Dan ini sungguh berbanding terbalik ketika Khalifah Umar bin Khattab dan juga ketika Salahuddin Al-Ayyubi membebaskannya. Peristiwa memilukan ini terjadi pada tahun 492 H atau 1099 M. Ketika pasukan Salib menyerang dan menodai Al-Aqsha, sejumlah orang berhasil menyelamatkan Al-Qur’an peninggalan Khalifah Utsman bin Affan yang tersimpan di dalam Masjid Al-Aqsha.
Dan mereka pun pergi membawanya sambil mengungsi ke kota Damaskus. Di Damaskus saat itu ada seorang ulama yang ‘alim dan ia juga seorang Qadhi, bernama Zainuddin Al-Harawi. Pengungsi dari Al-Quds kemudian mendatangi Qadhi Al-Harawi, mereka ceritakan kemalangan yang menimpa Muslim di sana, mereka juga memberikan mushaf milik khalifah Utsman kepadanya.
Qadhi Al-Harawi kemudian bergegas ke ibukota Khilafah Abbasiyah, Baghdad untuk menemui pemimpin umat Islam saat itu, Khalifah Al Mustazhir. Pada awalnya ia tidak diizinkan untuk menemui Khalifah. Dia kemudian membuat siasat agar dipertemukan dengan Khalifah. Qadhi Al-Harawi masuk ke dalam Masjid dan mencoba makan di dalamnya padahal saat itu adalah siang hari di bulan Ramadhan. Siasatnya berhasil, ia kemudian ditangkap dan dibawa ke hadapan khalifah.
Di hadapan khalifah ia ceritakan malapetaka yang menimpa Masjid Al-Aqsha. Ketika pertama kali dibawa masuk ke dalam istana, dia berkata, ”Anda asyik bersenang-senang di sini, sementara saudara Anda di Syam dibunuh oleh pasukan Salib.” Sayangnya Khalifah saat itu masih muda dan tidak memiliki power sama sekali.
Beliau menyandang gelar khalifah akan tetapi tidak bisa berbuat apa-apa sebab kekuasaan saat itu ada di tangan Dinasti Seljuk. Khalifah tidak bisa berbuat apa-apa. Beliau hanya bisa bersimpati saja, seperti yang terjadi pada Baitul Maqdis hari ini. Dunia Muslim hanya bisa mengecamnya dengan kalimat yang sudah usang dan itu berulang kembali saat ini [di Baitul Maqdis].” (Prof. Mahmoud Imran, Sejarawan).
Dan butuh 88 tahun lamanya, ketika umat Muslim kembali dipersatukan, semangat jihad fisabilillah di dalam hati telah tertanamkan, dan Dinasti Syiah Fathimiyah di Mesir berhasil dihapuskan, di masa kepemimpinan Sultan Shalahuddin Al-Ayyubi kota suci Al-Quds dan Masjid Al-Aqsha kembali ke pangkuan Islam. (Sumber Referensi, Revival: The Muslim Response to Crusades [Al-Jazeera]).
Pada hakikatnya kondisi Israel untuk saat ini sebenarnya sama seperti kondisi Yahudi sebelum kedatangan Islam di Yatsrib. Dengan senjata nasionalisme dan sekularisme, mereka sukses melakukan intrik dan makar di kawasan Timur Tengah.
Dan jika diteliti, sebenarnya kaum Yahudi tidak pernah mengubah strategi dan gaya pertempuran mereka. Karena yang berubah hanyalah teknologi perang mereka saja. Mulai dari beladiri Krav Maga hingga teknologi Iron Dome memperlihatkan bahwa mereka bangsa defensive. Penguasaan media, lobi Yahudi, hingga pengendalian keuangan dunia adalah alat Yahudi untuk mengesankan bahwa dirinya kuat, berkuasa, dan tidak bisa dikalahkan.
Masalahnya, hingga saat ini negeri kaum Muslim yang berani berhadapan secara “serius” berperang dengan Israel. Hanya Hamas, intitusi sekelas ormas yang dengan gagah berani berhadapan muka dengan Israel. Pertanyaannya, negeri kaum Muslim mana yang mau menghadapi Israel jika mereka masih berkubang pada demokrasi, kapitalisme, nasionalisme, dan liberalisme yang merupakan senjata ampuh Israel untuk membungkam kekuatan kaum Muslim?
Teruntuk yang mengaku sebagai seorang Muslim. Kini Gaza menunggu lagi masa pembebasannya. Telah lama ia berjuang dan sudah ia buktikan bahwa ia perkasa.
Sudah seharusnya kita meyakini bahwa Islam akan kembali memimpin dunia. Khilafah ala minhajin nubuwwah akan kembali tegak. Di bawah panji Islam, tanah suci Palestina akan kembali ke tangan kaum Muslim.
Sudah saatnya umat Muslim menentukan posisinya. Perjuangan mengembalikan kembali kehidupan Islam ini hanya akan nada dua kubu yang akan saling berhadapan, antara yang haq dan yang batil, tidak ada kubu ketiga, apalagi kubu netral. Akan terlihat garis tegas yang memisahkan antara hitam dan putih. Tidak akan ada lagi spectrum abu-abu.
Cobalah resapi. Kiranya diri kita saat ini berpijak di pihak mana? Hitam, putih, atau abu-abu? Sudah seharusnya kita menentukan keperpihakan, dan memulai mempersiapkan diri menyambut perjuangan ini. Saatnya kita menentukan posisi. Masuklah ke dalam barisan sejak sekarang. Bersiaplah, sebab Islam pasti akan menang.
Wallahu a'lam bishshawab. []
Oleh: Ateh Fitriani
Sahabat TintaSiyasi
0 Comments