TintaSiyasi.com -- Dugaan pemaksaan pemakaian jilbab yang menimpa salah satu siswi di SMAN 1 Banguntapan, Bantul, DIY, yang viral di media sosial, kembali menuai narasi buruk terhadap jilbab. Lagi dan lagi, jilbab dianggap menjadi simbol yang mengekang kebebasan, khususnya di kalangan siswi Muslimah.
Seperti yang dikabarkan oleh detik.com (29/7/2022), seorang siswi Kelas X di SMAN 1 Banguntapan, Bantul, DIY, diduga dipaksa oleh gurunya memakai jilbab ketika Masa Pengenalan Lingkungan Sekolah (MPLS). Akibat pemaksaan tersebut, siswa bersangkutan dikabarkan terkena depresi.
Beragam tanggapan pun muncul dari berbagai pihak menanggapi kasus tersebut. Sebutlah salah satunya datang dari Kepala Disdikpora DIY Didik Wardaya yang turut angkat suara. Ia menyampaikan bahwa tidak boleh ada paksaan terkait jilbab, jika belum ada kesadaran secara individu. Jadi, tidak boleh dipaksa apalagi ini sekolahnpemerintah bukan sekolah berbasis agama, dan kita harus menghargai kebhinekaan yang ada. Demikian juga dengan Ombudsman RI, Kepala ORI DIY Budhi Masturi menyatakan bahwa pemaksaan penggunaan jilbab di sekolah yang bukan berbasis agama, dapat masuk sebagai kategori perundungan (kumparan.com, 31/7/2022).
Polemik jilbab ini tak ayal lagi menjadi sorotan tajam. Sayangnya, bukan soal cara pendekatan yang digunakan oleh sekolah yang menjadi sorotan, melainkan terkait kewajiban berhijab. Padahal diketahui jilbab merupakan kewajiban yang datang dari Allah SWT sekaligus menjadi identitas Muslimah, sebagaimana yang termaktub di dalam Al-Qur'an, surah An-Nur ayat 31, yang mengatur terkait aturan kerudung/khimar/hijab. Begitu juga dalam surah Al-Ahzab ayat 59 yang mengatur terkait jilbab/baju kurung/pakai lurus tanpa sekat/gamis. Kedua ayat ini merupakan hukum syarak bagi Muslimah tentang kewajiban menutup aurat menggunakan kerudung dan jilbab.
Ironisnya, kewajiban ini justru dinarasikan sebagai bentuk pengekangan dan pelanggaran hak asasi, bahkan mencederai kebhinekaan. Di sisi lain, kasus ini menambah daftar panjang berbagai kasus yang dijadikan dalih untuk mem-framing buruk aturan Islam beserta simbolnya, yakni dengan opini-opini sesat yang menyesatkan yang menggiring umat untuk menjauhkan aturan Islam dalam diri umat.
Berkaca dari kasus ini, tampak jelas bahwa saat ini syariah Islam senantiasa dibenturkan dengan sistem yang ada, termasuk dalam sistem pendidikan. Padahal hari ini sekularismelah yang menjadi landasan kurikulum pendidikan generasi. Tidak heran, jika agama hanya sekadar identitas tertulis. Namun faktanya, aturannya dijauhkan dari kehidupan.
Sistem pendidikan sekuler nyata menjadi ancaman bagi generasi, karena melahirkan generasi yang berpikir liberal, yang mana kebebasan yang kebablasan menjadi hal yang biasa. Tidaklah heran, jika siswi Muslimah pun merasa dipaksa saat sekolahnya memiliki aturan untuk memakai jilbab. Maka sangatlah wajar, jika lahir generasi yang rapuh, generasi yang bermental sakit, dan tidak sedikit yang mengalami krisis identitas bahkan lupa pada penciptanya. Sebab, sekularisme menjadi penggawa pendidikan hari ini.
Andai kita mau kembalikan pada fungsi pendidikan seutuhnya, semestinya dapat menjadi wadah pembentukan dan pencetak generasi yang bertakwa. Namun kini, nyatanya sulit untuk dilakukan jika asas dari pendidikan ini hanya sekedar mencetak insan yang baik secara nilai akademik, tetapi suul adab dan jauh dari takwa.
Sejatinya, harapan untuk mencetak generasi terbaik kian jauh panggang dari api selama sistem sekuler tetap dipelihara dan dijunjung tinggi. Semestinya, kita merindukan sistem pendidikan terbaik yang pernah tercatat dengan tinta emas dalam naungan peradaban mulia, yang pernah berjaya 13 abad lamanya, yaitu sistem pendidikan Islam.
Dalam naungan sistem pendidikan Islam, niscaya akan lahir generasi yang bersyaksiyah islamiah (berkepribadian islami) dengan pola pikir dan pola sikap sesuai dengan Islam, yang mana syariat menjadi tolok ukur keilmuan. Segala kebaikan, kesempurnaan akhlak, kecerdasan, serta adab akan tampak, karena akidah menjadi pondasinya. Sehingga lahir insan yang bertakwa dengan ketaatan total terhadap hukum syarak.
Sistem pendidikan inilah yang melahirkan generasi terbaik, yakni para ulama, para ilmuwan hebat dan para ahli yang mumpuni di bidangnya. Namanya pun harum sepanjang masa. Sebutlah salah satunya, yakni Fatimah Al-Fihri, pendiri perguruan tinggi modern pertama di masa keemasan Islam, yakni universitas tertua Al-Qarawiyyin yang terletak di Maroko.
Alhasil, kerinduan akan tegaknya sistem Islam secara kaffah makin kita rindu dan nantikan. Sebab, keberhasilannya bukanlah omong kosong belaka. Kehebatan dan kemuliaannya bukanlah mimpi di siang bolong. Jelas, ini menjadi tugas kita untuk memperjuangkan dan mempersiapkan kembalinya sistem Islam dalam bingkai khilafah sebagai mercusuar dunia. Insyaallah.
Wallahu a'lam bishshawab. []
Oleh: Riani Andriyantih, A.Md.Kom.
Muslimah Aktivis Dakwah
0 Comments