TintaSiyasi.com -- Dunia Perguruan Tinggi menjadi sorotan akhir-akhir ini. Mulai dari kasus pengkaderan yang menelan korban jiwa hingga mahalnya biaya kuliah. Di tengah kondisi ekonomi negeri yang masih sulit, biaya kuliah hadir membuat syok para orang tua. Tingginya biaya kuliah menjadi ironi di negeri yang melimpah sumber daya alamnya, negeri zamrud khatulistiwa. Mengapa biaya kuliah makin melangit? Apakah ekonomisasi sudah menular ke ranah pendidikan?
Antusiasme lulusan sekolah menengah atas atau sederajat untuk mengikuti seleksi masuk perguruan tinggi seperti SNMPTN dan SBMPTN cukup tinggi. Terbukti kedua jalur nasional itu diikuti oleh ribuan pendaftar dari seluruh negeri. Namun, sayangnya hanya sedikit yang lolos lewat jalur tersebut. Akhirnya banyak yang memilih jalur mandiri, di mana konsekuensinya harus merogoh kantong sedalam-dalamnya.
Seperti dikatakan Wakil Ketua Komisi X DPR RI, Dede Yusuf Macan Effendi bahwa biaya kuliah di tanah air saat ini masih terbilang mahal. Lebih lanjut Dede Yusuf mengatakan bahwa banyak orang tua tak melanjutkan studi kuliah sang anak lantaran terkendala biaya (kedaipena.com, 30/7/2022).
Belum kelar problem mahasiswa Drop Out (DO) atau putus kuliah akibat ekonomi morat-marit selama pandemi, kini orangtua dihadapkan lagi pada makin mahalnya biaya kuliah. Diperparah melonjaknya harga-harga kebutuhan pokok dan keperluan strategis lainnya. Sempurnalah derita rakyat dalam asuhan sistem kapitalisme.
Berbasis Sekuler Kapitalis
Indonesia ditaksir 70 persen diisi oleh pemuda produktif pada tahun 2030. Bonus demografi ini seyogianya harus dimaksimalkan potensinya. Namun, mencermati kondisi pemuda hari ini rasanya jauh panggang dari api. Kerusakan sistem tata kelola di sektor pendidikan berbasis sekuler kapitalis, makin menjauhkan para pemuda dari profil generasi pembangun peradaban gemilang.
Kekhawatiran akan pendidikan anak-anak hampir dirasakan semua orang tua. Jika sebelumnya sistem zonasi membuat polemik pada tingkat sekolah dasar sampai menengah atas. Kini untuk memasuki dunia pendidikan tinggi pun tak kalah mengkhawatirkan. Para orang tua dihadapkan pada biaya masuk yang sangat fantastis di hampir semua Perguruan Tinggi, baik Perguruan Tinggi Negeri terlebih swasta.
Akses pendidikan yang seyogianya dijangkau masyarakat dengan mudah dan murah, saat ini terasa makin sulit. Dilema anak-anak yang akhirnya putus sekolah atau putus kuliah karena persoalan biaya, sungguh sangat menyedihkan. Fenomena ini banyak terjadi saat ini, yang berkontribusi menambah panjang daftar persoalan generasi.
Padahal, ketika tiba masanya bonus demografi di negeri ini tercapai, indikator yang sangat menentukan adalah potensi generasi yang cerdas dalam segala bidang. Tentu saja sektor pendidikan menjadi hal yang urgen dan mendesak untuk menjadi fokus perhatian, sehingga bonus demografi tersebut bisa dimaksimalkan dalam membangun bangsa ke depan. Membangun peradaban yang beradab.
Namun, jika ditelisik asas sistem yang diadopsi negeri ini, optimisme untuk mencetak generasi mumpuni dengan nilai-nilai positif seakan sangat jauh dari asa. Pondasi dasar yakni sekuler kapitalisme membuat kebijakan yang ada digiring untuk memenuhi kepentingan para kapitalis. Salah satu yang bisa diindera adalah gonta ganti kurikulum dalam beberapa tahun belakangan.
Begitupun dalam Peta Jalan Pendidikan 2020-2035 yang diimplementasikan dalam bentuk kebijakan Merdeka Belajar berikut di dalamnya program Merdeka Belajar Kampus Merdeka (MBKM). Program-program MBKM telah memberi space begitu luas pada peran masyarakat dan Dunia Usaha-Dunia Industri (DIDU) yang digagas dalam beberapa episode. Artinya, pengelolaan pendidikan tinggi tidak lagi menjadi tanggung jawab negara, tetapi diserahkan ke mekanisme pasar untuk meningkatkan daya saing global melalui otonomi.
Dari sini terlihat jelas ketidaksinkronan antara tujuan pendidikan nasional dengan desain kurikulum pendidikan yang ada. Pun implementasi dari seluruh proses pendidikan mulai dari Sekolah Dasar hingga Perguruan Tinggi seolah tak mengakomodir visi yang akan dituju. Inilah potret sistem pendidikan dalam sistem kapitalisme. Bersandar pada asas sekuler kapitalis meniscayakan kerancuan dan kesemrawutan itu terjadi. Asas yang sangat lemah dan rusak, membuat semua yang berpijak di atasnya pun ikut rusak.
Sistem yang Mencetak Generasi Cemerlang
Role model generasi cemerlang sudah ribuan tahun lalu dicetak oleh peradaban Islam yang menerapkan sistem Islam kaffah. Sebuah sistem yang berasal dari Sang Pencipta manusia dan seluruh isi semesta. Zat yang paling tahu apa yang terbaik buat makhluk-Nya. Sejarah mengukir indah capaian-capaian pemberlakuan seluruh aturan Islam dalam semua aspek kehidupan, tak terkecuali bidang pendidikan.
Keberadaan Universitas al Muntashiriah di kota Baghdad, Irak (1227 M) memberikan beasiswa 1 dinar dan kebutuhan hidup bagi para siswa serta perawatan kesehatan gratis. Ada pula Universitas al Azhar di Mesir, Universitas Istambul di Turki, dan masih banyak lagi. Gambaran kesejahteraan dalam sistem Islam, termasuk dalam sektor pendidikan begitu nyata dan telah dirasakan bahkan hingga hari ini.
Adapun tujuan pendidikan Islam adalah membentuk manusia berkepribadian Islam yakni memiliki pola sikap dan pola pikir yang berdasar pada akidah Islam. Pendidikan dalam Islam memiliki urgensi besar dalam rangka menjaga eksistensi sebuah peradaban.
Sejak Rasulullah SAW menjadi pemimpin di Madinah, terlihat perhatian penguasa dalam mencerdaskan rakyat begitu luar biasa. Begitu seterusnya diterapkan oleh para khalifah sepeninggal Beliau. Pada masa Amirul Mukminin Umar bin Khattab membuat kebijakan dengan menggaji guru sebesar 15 dinar per bulan (setara dengan 63,75 gram emas). Khalifah Harun Al-Rasyid memberikan 1000 dinar (4250 gram emas) kepada penghapal Al-Qur’an, dan banyak lagi kebijakan dalam men-support bidang pendidikan.
Negara diamanahi oleh syariat dalam penyelenggaraan seluruh sistem pendidikan, tanpa didikte oleh asing. Menjamin terpenuhinya hak setiap warga negara dalam mengakses pendidikan. Negara menyediakan semua instrumen dan kebijakan serta pembiayaan yang diperlukan bagi dunia pendidikan.
Adapun pembiayaan seluruhnya diambil dari kas Baitul Mal. Negara secara mandiri dan berdaulat mengelola seluruh harta kepemilikan umum dan kepemilikan negara untuk digunakan bagi kemaslahatan rakyat. Pengaturan yang sangat detail dan berdasar ketakwaan kepada Allah SWT meniscayakan terlahir generasi yang ahli dalam sains dan teknologi serta faqih fiddin (ahli hadis, ahli fikih, dan semisalnya).
Inilah gambaran pengelolaan pendidikan dalam sistem Islam. Sistem yang menerapkan aturan Islam secara komprehensif. Negara sebagai penanggung jawab penuh dalam memenuhi seluruh kebutuhan dasar individu dan publik, termasuk di dalamnya aspek pendidikan. Tidak ditemui penguasa yang berlepas tangan atas amanah tersebut karena dihukumi wajib dalam pandangan hukum syarak.
Wallahu a’lam bishshawab. []
Oleh: Dr. Suryani Syahrir, S.T., M.T.
Dosen dan Pemerhati Sosial
0 Comments