Terbaru

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

RKUHP Warisan Kolonial, Potensi Menindas Rakyat

TintaSiyasi.com -- Publik kembali diresahkan dengan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP). Pasalnya, RKUHP tersebut mengandung 14 isu krusial pemidanaan, di antaranya:

Isu terkait the living law atau hukum pidana adat (Pasal 2), isu terkait pidana mati (Pasal 200), isu terkait penyerangan harkat dan martabat presiden dan wakil presiden (Pasal 218), isu terkait tindak pidana karena memiliki kekuatan gaib (Pasal 252), isu terkait unggas dan ternak yang merusak kebun yang ditaburi benih (Pasal 278-279), isu terkait tindak pidana contempt of court (Pasal 281), isu terkait penodaan agama (Pasal 304), isu terkait penganiayaan hewan (Pasal 342), isu terkait alat pencegahan kehamilan dan pengguguran kandungan (Pasal 414-416), isu terkait penggelandangan (Pasal 431), isu terkait aborsi (Pasal 469-471), isu terkait perzinaan (Pasal 417), isu terkait kohabitasi (Pasal 418), isu terkait perkosaan (Pasal 479).

Draf rancangan yang akan disahkan pada Juli 2022 bagaikan bola panas yang masih bergulir di DPR-pemerintah. Wakil Menteri Hukum dan HAM (Wamenkumham) Edward Omar Sharif Hiariej memberikan alasannya mengapa draft RKUHP terbaru hingga saat ini belum dibuka. Menurutnya, draft RUU KUHP masih perbaikan di pemerintah dan akan dibuka setelah diperbaiki. 

Tetapi yang jadi masalah, RKUHP yang tengah digodok pemerintah dan parlemen justru memuat pasal-pasal yang lebih represif terhadap warga negara ketimbang KUHP peninggalan belanda. Keberadaan RKUHP berpeluang menkriminalkan warga negara dalam berbagai hal seperti politik, ekonomi, hukum, ketahanan keluarga, dan lain-lain. Selain itu adanya juga menghidupkan lagi usaha untuk menyakralkan pemerintah, dari presiden-wakil presiden, lembaga negara, maupun pengadilan. Hal ini terlihat jelas dalam Pasal 219, Pasal 281, Pasal 305, Pasal 262, dan Pasal 354. Semuanya memuat aturan yang melindungi institusi pemerintah dari apa yang disebut “penghinaan." (Tirto.id, 13/9/2019).

Kenyataannya, KUHP yang berlaku saat ini memang merupakan hukum warisan Belanda, negara yang menjajah bangsa ini berabad-abad lamanya. Pernyataan ini juga diakui oleh Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menkum HAM) Yasonna Laoly pada 14/06/2021 sehingga wajar jika sifat UU ini mencerminkan sifat jajahan.

Dalam RKUHP, banyaknya pasal karet ini disinyalir akan mengarah pada otoritarianisme. Pasal penghinaan presiden misalnya, meski dalam putusan Mahkamah Konstitusi (MK) pada 2006, ketentuan ini sudah dinyatakan tidak relevan lagi, ternyata muncul kembali di RKUHP. Pasal ini jelas menegasikan prinsip persamaan di depan hukum, mengurangi kebebasan mengekspresikan pikiran, pendapat, kebebasan akan informasi dan prinsip kepastian hukum.

Peneliti Senior Pusat Kajian dan Analisis Data (PKAD) Fajar Kurniawan mengatakan, Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP) menunjukkan gejala otoritarianisme rezim. Ia mengungkapkan otoritarianisme rezim ini ditunjukkan dengan tertutupnya pembahasan RKUHP dan tidak terbukanya kepada publik draf terakhir dari RKUHP. Baginya, masyarakat harus mengetahui pasal-pasal yang bisa menjerat dan mengancam mereka. Tertutupnya pembahasan RKUHP ini memperlihatkan tidak ada ruang untuk memberikan koreksi kepada pemerintah.

Bila sejumlah ketentuan pasal dalam RKUHP terutama pasal penghinaan kepada negara tetap dipertahankan. Besar kemungkinan negara sedang menjustifikasi pemerintahan represif atau otoritarianisme baru. Mengulang gaya pemerintahan zaman kolonialisme dahulu. Suara-suara kritis akan dibungkam atas nama hegemoni kekuasaan, terutama suara para aktivis dakwah Islam yang menyuarakan kebenaran Islam demi perbaikan negeri, turut mengalami nasib harus meringkuk di bawah intimidasi kekuasaan. 

Padahal dalam sistem pemerintahan demokrasi, kebebasan berpendapat adalah salah satu pilarnya. Secara teoritis demokrasi memberi ruang yang hampir tidak terbatas pada ruang kritik. Artinya sistem pemerintahan demokrasi memiliki batas yang tegas dan berbeda dengan pemerintahan diktator dari sisi keterlibatan publik. 

RKHUP yang di dalamnya terdapat beberapa undang-undang sejatinya potret buram dari demokrasi, di mana aturan dibuat oleh manusia. Padahal pada dasarnya manusia adalah makhluk yang lemah dan cenderung mengikuti hawa nafsu. Wajar, aturan yang dilahirkan pun cenderung untuk memuaskan kepentingan pribadi dan kelompok tertentu. Bahkan bisa berubah-ubah tergantung kepentingan tersebut. 

Karut-marut pembuatan produk hukum pidana dalam sistem demokrasi bukanlah hal yang baru. Penyebabnya karena mekanisme pembuatan hukum diserahkan pada manusia yang berpotensi berubah-ubah sesuai dengan kepentingan penguasa. Karena itu produk-produk dalam sistem ini menimbulkan kekacauan dan penderitaan bagi masyarakat. 

Adapun dalam sistem demokrasi, aspirasi masyarakat diklaim akan diakomodir oleh pihak berwenang, padahal hal itu hanya isapan jempol belaka. Buktinya UU Ciptaker, buktinya meskipun dari awal mendapat penolakan kuat dari masyarakat namun tetap disahkan. Ini menunjukkan selama sistem sekularisme demokrasi yang berkuasa, keadilan hukum jauh panggang dari api. 

Berbeda dengan hukum yang menerapkan Islam secara kaffah yakni khilafah. Dalam Islam hukum pidana telah ditetapkan oleh syariat. Islam memandang tolok ukur kejahatan adalah kemaksiatan. Siapapun yang melakukan kemaksiatan, berarti ia telah melakukan kejahatan yang akan mendapatkan sanksi tegas. 

Islam telah menetapkan sanksi untuk beberapa kemaksiatan, di antaranya:

Pertama. Hudud, yaitu sanksi yang sudah ditetapkan kadarnya oleh Allah atas beberapa kemaksiatan. Seperti zina, homoseksual, mendatangi wanita pada duburnya, menuduh wanita baik-baik berzina, peminum khamer, pembunuh, pencurian, pembegal, pemberontak dan murtad. 

Kedua. Jinayah, yaitu sanksi yang diberikan atas penganiayaan jiwa (pembunuhan) dan anggota tubuh. Sanksi ini mewajibkan qishasha (balasan setimpal) atau dayat (denda). 

Ketiga. Takzir, yaitu sanksi yang bentuknya tidak ditetapkan secara spesifik oleh syar'i. Dalam takzir boleh menerima pemaafan dan pengguguran oleh hakim. Yang masuk pelanggaran dalam bentuk takzir di antaranya,  pelanggaran kehormatan kelompok, pelanggaran harga diri, perbuatan yang membahayakan akal, penipuan terhadap harta, penipuan dalam muamalat, dan lain-lain yang berbentuk takzir. 

Keempat. Mukhalafat, yaitu sanksi yang dijatuhkan oleh penguasa kepada orang yang menentang perintah penguasa, baik perintah kepala negara (lhilafah), para pembantunya, dan orang-orang yang aktivitasnya berkaitan dengan kekuasaan. 

Inilah hukum pidana dalam Islam yang telah ditetapkan oleh khilafah selama kurang lebih 1300 tahun lamanya. Hukum ini bersumber dari Al-Khaliq (Pencipta) yakni Allah SWT, bukan bersumber dari manusia sebagai sistem demokrasi kapitalisme yang ditetapkan saat ini. 

Wallahu a'lam bishshawab. []


Oleh: Siti Zulaikha, S.Pd
Aktivis Muslimah dan Pegiat Literasi
Baca Juga

Post a Comment

0 Comments