Terbaru

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Rasulullah Kembali Dihina, Umat Kehilangan Taringnya


TintaSiyasi.com -- Holywings, sebuah grup usaha yang memiliki tiga jenis usaha yang berupa bar, club dan restoran. Baru-baru ini Holywings membuat promosi yang menggemparkan dua agama, yakni Islam dan Nasrani. Pasalnya, dalam promosi itu disebutkan bahwa Holywings akan memberikan minuman beralkohol secara gratis setiap hari kamis pada para pengunjung yang bernama Muhammad dan Maria. 

Sontak promosi ini menuai banyak kecaman dari umat Muslim maupun umat Nasrani, karena dinilai telah menista Rasulullah SAW dengan nama Muhammad dan Ibunda nabi Isa as, yaitu Maria serta menyandingkan keduanya dengan minuman haram. Setelah diusut pihak berwenang, maka ada 6 staf Holywings yang ditetapkan sebagai tersangka. Adapun Holywings dijerat pasal berlapis, yakni Pasal 14 Ayat 1 dan Ayat 2 UU RI No 1 Tahun 1946, Pasal 156 atau Pasal 156 a KUHP, juga Pasal 28 Ayat 2 UU RI No 19 tahun 2016 tentang perubahan atas UU RI No 11 Tahun 2008 tentang ITE. Adapun ancaman maksimal 10 tahun kurungan penjara.

Demikianlah wajah sistem demokrasi yang menganut asas kebebasan, telalu bebas hingga tak tahu mana yang boleh atau tidak boleh. Kebebasan ini mampu merusak kepribadian manusia, terlebih bagi kaum Muslim. Minuman keras (miras) yang sudah jelas keharamannya di dalam Islam, kemudian akan dilegalkan atas nama kebebasan. Tentu ini tidak diperbolehkan menurut syariah Islam. Alhasil, jika terus berlanjut seperti ini, bukan hal yang tabu lagi apabila Al-Qur'an dan Rasulullah Muhammad SAW sering dijadikan sebagai obyek pelecehan dan penistaan.

Seharusnya sebagai umat Islam, mencintai Rasulullah adalah sebuah kewajiban, maka rasa cinta terhadapnya harus lebih besar dibandingkan dengan apapun bahkan dengan dirinya sendiri, seperti yang dikatakan Rasulullah kepada Umar bin Al Khattab.

Pada suatu hari Umar bin al-Khaththab ra berkata kepada Rasulullah SAW, “Wahai Rasulullah, sungguh engkau lebih aku cintai dari segala sesuatu, kecuali dari diriku sendiri.” Beliau menjawab, “Tidak. Demi Allah, hingga aku lebih engkau cintai daripada dirimu sendiri.” Berkatalah Umar, “Demi Allah. Kalau begitu, sekarang engkau lebih aku cintai daripada diriku sendiri” (HR al-Bukhari).

Ditegaskan pula di dalam HR. al-Bukhari, bahwa belum sempurna iman salah seorang di antara kalian hingga ia menjadikan aku lebih dia cintai daripada orangtuanya, anaknya, dan segenap manusia.

Allah SWT pun mengancam dengan keras siapa saja yang cintanya kepada Allah dan Rasul-Nya terpalingkan oleh kecintaan kepada yang lain, maka bersiaplah dengan azab Allah. Sebagaimana yang tertulis di dalam firman-Nya,  
"Katakanlah, 'Jika bapak-bapak, anak-anak, saudara-saudara, istri-istri dan keluarga kalian, juga harta kekayaan yang kalian usahakan, perniagaan yang kalian khawatirkan kerugiannya dan tempat tinggal yang kalian sukai adalah lebih kalian cintai daripada Allah dan Rasul-Nya serta dari berjihad di jalan-Nya, maka tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusan (azab)-Nya'. Allah tidak memberikan petunjuk kepada kaum yang fasik” (TQS at-Taubah [9]: 24).

Syekh al-Islam Ibn Taimiyah telah menjelaskan batasan tindakan orang yang menghujat Nabi Muhammad SAW yaitu, kata-kata yang bertujuan meremehkan dan merendahkan martabat Beliau, sebagaimana dipahami kebanyakan orang, terlepas perbedaan akidah mereka, termasuk melaknat dan menjelek-jelekkan (Lihat: Ibn Taimiyyah, Ash-Shârim al-Maslûl ‘alâ Syâtim ar-Rasûl, I/563).

Juga telah dijelaskan bentuk-bentuk hujatan kepada Nabi SAW oleh Al-Qadhi Iyadh tentang orang yang menghujat Rasulullah SAW yaitu, orang yang mencela, mencari-cari kesalahan, menganggap pada diri Rasul SAW ada kekurangan; mencela nasab (keturunan) dan pelaksanaan agamanya; juga menjelek-jelekkan salah satu sifatnya yang mulia; menentang atau menyejajarkan Rasulullah SAW dengan orang lain dengan niat untuk mencela, menghina, mengerdilkan, menjelek-jelekkan dan mencari-cari kesalahannya (Lihat: Al-Qadhi Iyadh, Asy-Syifâ bi Ta’rîf Huqûq al-Musthafâ, hlm. 428).

Bahkan menurut al-Qadhi Iyadh, ketika seseorang menyebut Nabi SAW dengan sifatnya, seperti anak yatim atau buta huruf, meski ini merupakan sifat Beliau, akan tetapi jika labelisasi tersebut bertujuan untuk menghina Beliau atau menunjukkan kekurangan Beliau, maka orang tersebut sudah layak disebut menghina Beliau. Hal inilah yang menyebabkan seorang ulama sekaliber Abu Hatim at-Thailathali difatwakan oleh fuqaha Andalusia untuk dihukum mati. Hal yang sama dialami oleh Ibrahim al-Fazari, yang difatwakan oleh fuqaha Qairuwan dan murid Sahnun untuk dihukum mati (Lihat: Al-Qadhi Iyadh, Asy-Syifâ bi Ta’rîf Huqûq al-Musthafâ, hlm. 430).

Hal senada juga dinyatakan oleh Khalil Ibn Ishaq al-Jundi, ulama besar mazhab Maliki. Kata beliau, “Siapa saja yang mencela Nabi SAW; melaknat, mengejek, menuduh, merendahkan, melabeli dengan sifat yang bukan sifat beliau; menyebutkan kekurangan pada diri dan karakter beliau; merasa iri karena ketinggian martabat, ilmu dan kezuhudannya; menisbatkan hal-hal yang tidak pantas kepada beliau; mencela beliau dll maka hukumannya adalah dibunuh” (Lihat: Khalil Ibn Ishaq al-Jundi, Mukhtashar al-Khalîl, I/251).

Maka dengan kejadian yang telah dilakukan oleh staf Holywings tersebut sudah termasuk dalam penghinaan Rasulullah SAW yang sangat keterlaluan, dan sudah sepantasnya kalau kaum Muslim marah.

Namun, di era demokrasi ini kaum Muslim bagaikan singa yang kehilangan taringnya, auman kerasnya jangankan ditakuti, didengar saja tidak. Ini terjadi karena kaum Muslim saat ini tak lagi memiliki junnah atau pelindung. Hukum syariat tak lagi tegak di seluruh belahan bumi manapun kecuali hanya sedikit. 

Pemikiran-pemikiran negara Barat yang telah menyusup ke negeri-negeri Islam semenjak runtuhnya kekhilafahan di Turki 1924 Masehi lalu kini semakin menjamur, mengakar dan menjadi parasit yang terus menggerogoti kaum Muslim. Bahkan para pemudanya tak lagi mengenal budaya Islam. Para wanita Muslimnya tak lagi menjaga aurat dan harga dirinya, pun dengan lelakinya begitu congkak dan bangga dengan kehidupan ala kebarat-baratan yang melegalkan khamr, perjudian bahkan perzinahan. Di sinilah generasi Islam mulai terancam kehilangan jati diri sebagai seorang Muslim yang dijanjikan surga.

Berbeda pada saat kaum Muslim masih memiliki keagungan saat berada dalam naungan khilafah. Kehidupan begitu tenteram dan damai, kemajuan ilmu dan teknologi begitu pesat karena keberkahan dalam ilmu dan kehidupan yang islami. Pun dengan kekuatannya yang begitu ditakuti oleh kaum kafir, sehingga tidak ada satupun yang berani mengusik kehidupan kaum Muslim.

Tidakkah kita merindukan masa-masa itu? Tidakkah kita mengiginkan masa-masa kejayaan itu terulang kembali? Maka hanya ada satu cara untuk kita kembali mengulang masa itu, yaitu dengan memperjuangkan kembali tegaknya Islam kaffah. Menjadikan kehidupan yang islami di bawah naungan pemerintahan Islam yaitu Khilafah ala minhaj nubuwah.

Allahu a'lam bishshawab. []


Oleh: Lisa Izzate
Aktivis Muslimah Bali
Baca Juga

Post a Comment

0 Comments