TintaSiyasi.com -- Pernikahan beda agama yang disahkan oleh Pengadilan Negeri (PN) Surabaya berbuntut panjang. PN Surabaya digugat atas tuduhan perbuatan melawan hukum usai mengabulkan permohonan pernikahan beda agama, yakni RA yang beragama Islam dan PDS yang beragama Kristen. Gugatan itu dilayangkan oleh empat orang, tergugat tunggalnya adalah PN Surabaya, serta turut tergugat lainnya yaitu Mahkamah Agung RI, Dinas Dukcapil Kota Surabaya, MUI, PGI, pondok pesantren Al Anwar Sarang dan pondok pesantren Al-Qur'an.
Lebih lanjut, petitum yang dimohonkan untuk mengabulkan gugatan penggugat untuk seluruhnya, menyatakan tergugat telah melakukan perbuatan melawan hukum. Kemudian akan menghukum tergugat dan turut tergugat satu untuk membatalkan putusan perkara, Nomor 916/Pdt .p/2022/PN surabaya untuk seluruhnya, atas peristiwa ini banyak pihak yang meminta MA turun tangan memberi solusi, karena bisa berubah preseden di banyak tempat.
Kontroversi nikah beda agama di negeri ini memang kerap terjadi. Pasalnya bukan kali ini saja, sejumlah peristiwa nikah beda agama dalam beberapa waktu terakhir trennya cenderung meningkat dan pelaku nikah beda agama tak segan tampil di depan publik dengan berbagai cara hingga mendapatkan legitimasi dari instansi terkait. Hal ini tentu mengundang perhatian publik bahkan dalam batas-batas tertentu hingga menciptakan keresahan di sebagian kalangan, khususnya umat Islam.
Memang benar, bahwa sejak awal masyarakat telah memahami negeri ini melarang nikah beda agama. Namun banyaknya instansi pemerintah yang membolehkan nikah beda agama atas nama toleransi, menunjukkan bahwa hukum pernikahan beda agama sedang mengalami ketidakjelasan. Tentu saja ini menjadi persoalan krusial di sisi norma hukum yang mengatur perkawinan di Indonesia.
Ketidakjelasan hukum sudah menjadi tabiat dalam sebuah negeri yang berlandaskan asas sekularisme-liberalisme. Unsur kebebasan menjadikan individu-individu diberi ruang untuk taat ataupun maksiat. Alhasil, muncullah sosok-sosok liberal di masyarakat.
Kemunculan pihak-pihak dengan sikap toleransi kebablasan merupakan hasil program moderasi beragama yang berada di bawah payung liberalisasi. Kemenag sebagai ujung tombak pelaksanaan program ini terus saja menggaungkan moderasi Islam. Padahal arus moderasi beragama ini merupakan proyek pesanan barat demi menjauhkan umat Islam dari Islam itu sendiri.
Oleh karena itu, dakwah Islam kaffah akan dituding sebagai ajaran radikal, sedangkan orang yang melanggar agama seperti pelaku pernikahan beda agama justru mendapat apresiasi dan pujian. Inilah potret terbaliknya kehidupan manusia. Yang seharusnya didukung justru dimusuhi. Yang seharusnya dimusuhi justru didukung.
Tampak jelas bahwa jaminan kebebasan dalam kehidupan sekuler itu adalah untuk bermaksiat atau melanggar syariat, bukan untuk taat syariat. Kondisi ini seharusnya bisa menyadarkan umat Islam, bahwa berislam kaffah membutuhkan sistem yang mendukung.
Kita tidak bisa menjadi seorang Muslim yang menjalankan Islam secara sempurna sementara kehidupan masyarakat sekitar dan negara yang menaungi demikian sekuler dan liberal. Satu-satunya sistem yang mampu mewujudkan Islam kaffah hanyalah dengan khilafah sebagai institusi negara yang bertanggung jawab membentuk kepribadian Islam dalam diri warga negaranya dan menjamin terlaksananya seluruh hukum Islam.
Wallahu a’lam bishshawab. []
Oleh: Yuni Indawati
(Aktivis Muslimah Bali)
0 Comments