TintaSiyasi.com -- Aksi 212 ternyata belum mampu menghentikan kasus penistaan agama di Indonesia. Sebelumnya, kasus penistaan agama dituturkan oleh seorang pejabat yang menyinggung QS. Al-Maidah ayat 51 yang sontak saja menimbulkan kemarahan kaum Muslim dan lahirlah gerakan 212.
Kini penistaan agama kembali terjadi lewat promosi minuman keras gratis oleh Holywings yang menggunakan Nabi Muhammad dan Bunda Maria untuk mempromosikan miras. Kejadian ini bermula ketika Holywings mengunggah promosi miras gratis bagi mereka yang bernama Muhammad dan Maria di akun instagram mereka pada Kamis (23/6/2022) (kompas.com).
Adanya promosi ini cepat viral dan sontak mengundang reaksi kemarahan dari masyarakat utamanya yang beragama Islam dan Kristiani. Hal ini dikarenakan mereka menggunakan nama sosok mulia yang diagungkan kedua agama tersebut untuk mempromosikan sesuatu yang dinilai haram dan tidak baik dari perspektif masyarakat dan juga kesehatan, miras.
Kasus ini kemudian ditindaklanjuti oleh kepolisian dengan menangkap 6 karyawan Holywings yang diduga terlibat dan penutupan beberapa outlet Holywings. Sayangnya, perlu dicatat bahwa penutupan ini karena adanya permasalahan izin dan bukan karena Holywings adalah minuman keras dan sudah melakukan penistaan agama.
Upaya yang tidak tegas ini sejatinya belum bisa menutupi api kemarahan dan keraguan masyarakat bahwa penistaan agama kembali terjadi.
Tentu menjadi pertanyaan besar kenapa kemaksiatan seperti ini dapat terus terjadi dan bahkan ditoleransi oleh negara? Kita mengamati kehidupan sekarang dipenuhi kebebasan yang kebablasan. Kebebasan yang salah ini bahkan sudah mendarah daging dalam kehidupan masyarakat, baik skala mikro dalam kehidupan masyarakat sehari-hari maupun skala makro dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Kebebasan atau yang biasa kita sebut juga dengan istilah liberalisme ini juga merupakan dampak dari diterapkannya sistem demokrasi sekuler di negara ini.
Prinsip demokrasi adalah kedaulatan di tangan rakyat bukan syariat sehingga kelompok rakyat yang memegang kepercayaan atau kedaulatan sangat berpeluang memutuskan sesuatu berdasar kepentingan atau manfaat bagi dirinya atau kelompoknya, bukan untuk masyarakat. Selain itu, prinsip sekuler adalah memisahkan agama dari kehidupan sehingga tercipta kebebasan yang sebebas-bebasnya karena agama berusaha dienyahkan sebisa mungkin dari kehidupan. Tidak heran kasus penistaan agama dan juga permasalahan terkait miras ini sulit ditindak tegas oleh negara karena memegang prinsip ini. Apalagi miras dianggap sebagai penghasil pundi-pundi uang.
Dilansir dari cnnindonesia.com, Miras menyumbang 250 miliar rupiah ke negara pada Januari 2021. Tentu, selama itu dinilai menguntungkan tidak akan dilarang walaupun jelas memberi dampak negatif selain sebagai induk kemaksiatan karena menurunkan kesadaran seseorang, juga bagi kesehatan seperti sesak napas, hipertensi, stroke, dan serangan jantung (halodoc.com). Padahal, perusahaan miras juga mencari untung sebesar-besarnya, maka dari itu mereka mencoba memperbanyak pangsa pasar dengan promosi menggunakan nama Muhammad dan Maria yang secara tidak langsung berusaha mengajak lebih banyak orang utamanya ummat Islam untuk bermaksiat.
Kita mendapat gambaran parahnya pembiaran kemaksiatan dengan dalih toleransi dan besarnya peluang semakin bertambah parah. Apabila hal ini dibiarkan dan tidak ditindak tegas oleh negara, tentu akan bermunculan kemaksiatan seperti penistaan agama yang mendeskriminasi Islam.
Parahnya juga, pembiaran ini secara tidak langsung dapat mengalami normalisasi dan aturan Islam semakin diabaikan dan dianggap terlalu keras di tengah masyarakat.
Toleransi telah dijadikan “senjata” oleh oknum tertentu untuk melegalisasi dan menerima hal-hal yang dilarang oleh agama bukan lagi untuk menghargai perbedaan ajaran agama. Kita dipaksa menerima dan terbuka terhadap kemaksiatan-kemaksiatan atas anam “Toleransi” dan di sisi lain, secara tidak sadar kita justru tidak menghargai dan mendeskriminasi saudara-saudara kita yang berhijab, bercadar, dan mereka yang menjalankan agamanya dengan lurus.
Isu Toleransi akan selalu lekat dengan Islam karena Islam merupakan suatu Ideologi. Ideologi Islam mempunyai konsep berdasar tauhid serta metode untuk menjalankan kehidupan dari sesederhana bagaimana menjalankan rutinitas bangun pagi sampai bagaimana mengelola negara. Kumpulan peraturan hidup yang terpancar dari ideologi Islam tidak hanya berlaku bagi ummat Islam, tapi juga untuk mengelola kehidupan masyarakat dunia dan alam semesta.
Maka kesempurnaan aturan itulah, Islam dikatakan rahmatan lil ’alamin. Ideologi ini memiliki tabiat ingin menguasai dan akan berusaha memperluas pengaruhnya ke seluruh penjuru dunia. Ideologi yang menguasai dunia saat ini adalah ideologi kapitalisme. Ideologi kapitalisme ini memiliki asas mempercayai agama namun menjauhkan agama sebisa mungkin dari kehidupan. Dari kapitalisme inilah, lahir sistem demokrasi sekuler juga liberalisme.
Selama ideologi kapitalisme ini bercokol, maka Islam akan berusaha dijauhkan dan didiskriminasi agar kebangkitan Islam tidak terjadi. Hal ini dapat kita lihat dalam lingkungan sekitar kita saat ini. Banyak umat Islam yang tidak mengenal bahkan enggan menggunakan Islam juga negara yang tidak bertindak tegas dalam penanganan kasus ini.
Selain itu dalam kasus LG87 yang mulai marak di masyarakat, dan tidak adanya hukum yang tegas yang menghukum mereka. Kemaksiatan atas nama kebebasan yang terus dibiarkan ini tentu akan merusak peradaban manusia. Manusia hidup semauanya, tidak terikat aturan dan mengedepankan logikanya yang terbatas.
Kemaksiatan yang dilakukan oleh individu akan menimbulkan dosa dan kerugian bagi orang lain, sedangkan kemaksiatan yang diamkan apalagi difasilitasi negara akan membuat jalan tol menuju neraka dan hancurnya peradaban suatu negara. Maka dari itu, pengelolaan negara bukan lagi membicarakan terkait individu lagi. Kebijakan yang benar dan memihak masyarakat akan sulit lahir ketika negara menerapkan sistem yang salah dalam pengelolaanya.
Selama sistem kapitalisme yang dipakai maka kebijakan yang lahir bukan berdasar kesejahteraan rakyat melainkan hanya berdasar asas manfaat yang menguntungkan segelintir orang. Kita dapat mengambil kesimpulan bahwa adanya peristiwa ini bukan serta merta terjadi. Permasalahan ini merupakan efek domino dari diterapkannya sistem kapitalisme ini. Sistem kapitalisme ini membuat kita terpuruk dari berbagai segi, saling bertengkar di segi sosial, terpuruk dari segi kesehatan, lemah dari segi ekonomi, dan lain-lain. Maka, mengatasi hal ini secara tuntas tidak bisa dilakukan dengan solusi parsial seperti menangkap pelakunya saja tapi tidak ada tindak hukum yang tegas juga tidak ada upaya-upaya preventif untuk menghentikan produksinya, mencegah peredarannya, dan seterusnya.
Di mana ini merupakan otoritas negara yang bisa melakukannya. Negara atas dasar demokrasi sekuler yang merupakan anak kapitalisme tidak akan mengatasi ini secara tuntas karena memang tidak memprioritaskan agama dalam kehidupan.
Maka dari itu, solusi hakiki dari permasalahan-permasalahan ini adalah dengan memperbaiki konsep yang digunakan dalam mengelola suatu negara.
Kita sebagai umat Islam meyakini aturan yang terbaik adalah aturan yang datang dari Allah dan telah diajarkan oleh Rasul-Nya kepada kita lewat Al-Qur'an dan hadis, itulah yang kita kenal dengan syariat. Penerapan syariat sebagai dasar pengelolaan kehidupan baik kehidupan sehari hari maupun juga mengelola berbangsa dan bernegara. Hal ini hanya bisa diterapkan apabila pengelolaan negara menggunakan ideologi Islam dalam bingkai khilafah.
Negara menggunakan konsep Islam dalam mengatasi berbagai masalah sendi kehidupan baik skala mikro hingga skala makro. Tentu, pembahasan bagaimana Islam dalam bingkai negara khilafah mengatur kehidupan segi Individu, sosial masyarakat, ekonomi, politik, dan seterusnya.
Wallahu a'lam bishshawab. []
Oleh: Dina Amel
Aktivis Muslimah
0 Comments