Terbaru

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Maraknya Penistaan, Pertanda Kebebasan yang Kebablasan


TintaSiyasi.com -- Ramai pemberitaan di berbagai media sosial, media cetak, dan media online terkait promosi Holywings Indonesia yang memberikan minuman beralkohol gratis khusus bagi pelanggan yang bernama Muhammad dan Maria. Tentu saja hal itu membuat masyarakat geram dan menganggap promosi Holywings tersebut adalah penistaan agama.

Buntut dari kejadian tersebut, Himpunan Advokat Muda Indonesia (HAMI) melaporkan Holywings ke Polda Metro Jaya. Selang beberapa waktu, bertambah lagi pihak-pihak yang melayangkan laporan, seperti Pemuda Pancasila (PP) hingga Komite Nasional Pemuda Indonesia (KNPI). Ada juga beberapa ormas yang menggeruduk Holywings sebagai bentuk protes dan ungkapan kemarahan mereka atas kejadian tersebut.

Setelah mendapat banyak protes dan kecaman dari berbagai pihak, akhirnya pihak Holywings pun meminta maaf. Dalam pernyataan terbuka, mereka meminta doa dan dukungan masyarakat agar masalah yang terjadi bisa segera diselesaikan sesuai dengan prosedur hukum yang berlaku. Mereka juga berbicara tentang nasib 3.000 karyawan serta keluarganya yang bergantung pada usaha food and beverage tersebut.

Meski sudah meminta maaf, namun pihak manajemen Holywings terkesan lepas tangan. Hal ini disebabkan karena mereka mengaku tidak mengetahui tentang promosi bermuatan SARA yang dilakukan oleh enam karyawannya, yang berujung dipolisikan. Padahal, para pekerja tersebut melakukan tindakannya untuk promosi program perusahaan, bukan untuk kepentingan pribadi dan sebuah kebijakan marketing sudah pasti hasil dari diskusi tim dengan pimpinan, jadi tidak mungkin tidak sengaja dan manajemen tidak tahu.

Kasus seperti ini akan terus berulang, sebab pada era kebebasan seperti saat ini menistakan agama dianggap sebuah tren keren karena mencerminkan kebebasan berpendapat. Ditambah lagi hukum yang ada tampak begitu lemah terhadap penistaan agama. Penegak hukum akan bereaksi ketika sebuah kasus penistaan viral dan masyarakat banyak yang melaporkan. Kemudian, setelah pelaku meminta maaf dan memberi klarifikasi masalah pun dianggap selesai tak berlanjut.

Kasus penistaan sebagaimana yang dilakukan Holywings bukan kali pertama terjadi, penistaan agama (Islam) selalu berulang dan menjadi bahan olok-olok para pembencinya. Pelakunya pun beragam, dari non-Muslim, masyarakat biasa, pejabat negara, tokoh publik, komedian hingga kalangan akademisi.

Berdasarkan data direktori putusan Mahkamah Agung (MA), ada 60 salinan putusan kasus penistaan agama sepanjang 2011 hingga Mei 2021. Agama yang paling banyak mengalami penistaan adalah Islam, yakni sebanyak 83,6%. Mirisnya, mayoritas pelakunya adalah seorang Muslim.

Berulangnya kasus penistaan agama yang banyak dilakukan juga oleh kaum Muslim, semakin membuktikan bahwa sistem kapitalisme sekuler telah mengikis habis kecintaan dan ketaatan Muslim terhadap agamanya. Akidah sekularisme menjadikan umat Muslim jauh dari Al-Qur’an dan Sunnah. Sehingga ketika agamanya dihina ia tak marah, ketika nabinya dilecehkan ia diam saja.

Padahal syariat Islam dengan tegas melarang segala bentuk penistaan terhadap Islam dan ajarannya, terlebih jika ia seorang Muslim. Pemimpin dalam sistem Islam juga akan sangat tegas terhadap para penista agama. Sebagaimana yang telah dicontohkan oleh Khalifah Umar bin Khattab yang mengatakan bahwa barang siapa mencerca Allah atau mencaci salah satu Nabi, maka bunuhlah ia (diriwayatkan oleh Al Karmani ra).

Jadi dalam Islam pelaku penistaan dan pelecehan terhadap Islam bisa dihukum mati, sebagaimana penjelasan berikut ini:

Pertama, jika pelakunya Muslim dan perbuatannya yang menistakan Islam telah menyebabkan ia murtad atau kafir. Maka sanksi bagi orang yang murtad adalah hukuman mati, namun sebelum itu tentu ia telah terlebih dahulu diminta untuk bertaubat dengan batas waktu maksimal tiga hari. Jika dia menyesal dan bertaubat, hukuman dikembalikan pada kebijakan pemimpin (khalifah). Akan tetapi, jika dia tetap tidak mau bertobat, baru dilaksanakan hukuman mati atasnya.

Kedua, jika pelakunya orang kafir, maka hukumannya sebagai berikut: jika ia kafir dzimmi, maka jaminannya batal dan bisa diusir dari wilayah Islam, bahkan dibunuh. Jika bukan kafir dzimmi, ini bisa dijadikan khalifah alasan untuk melaksanakan perang terhadap negara yang bersangkutan.

Inilah yang seharusnya dilakukan oleh pemimpin. Sayangnya dalam sistem kapitalisme, sulit mengharapkan pemimpin yang tegas. Negara lemah di hadapan gurita bisnis para kapitalis, termasuk bisnis miras. Sebagaimana bisnis haram yang dilakukan Holywings, yakni menjual miras. Sanggupkah negara menutupnya secara permanen? Pun juga akibatnya, yakni ribuan karyawan yang terancam akan kehilangan pekerjaan, akankah negara mampu memberi pekerjaan?

Maka tidak ada pilihan lain, jika ingin kasus penistaan agama tidak terulang kembali haruslah diselesaikan dari akarnya yakni mengakiri sistem kehidupan sekuler yang menjadi sumber kemaksiatan dan beralih pada sistem Islam dalam institusi negara. Dengan sistem Islam, penista agama akan kapok, bisnis miras yang jelas keharamannya akan dihapuskan, dan lapangan pekerjaan yang halal nan berkah pun bisa disediakan. []


Oleh: Annis Zakiyatul M.
Sahabat TintaSiyasi
Baca Juga

Post a Comment

0 Comments