Terbaru

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

KKB Merongrong Integrasi Negeri, Unifikasi Terhalang Kepentingan Asing?


TintaSiyasi.com -- Ujung Timur Indonesia kembali membara. Aksi beringas Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB) Papua pada Sabtu, 16 Juli 2022 di Kampung Nogolait, Distrik Kenyam, Kabupaten Nduga, Papua menambah daftar panjang korban tewas akibat serangan kelompok tersebut. 

Penyerangan yang dilakukan oleh anggota KKB yang diperkirakan berjumlah 15-20 orang tersebut menyasar sopir truk beserta keneknya dan pengendara sepeda motor di belakangnya. Senjata api laras panjang dan senjata api genggam ditembakkan secara membabi buta hingga menyebabkan 10 orang meninggal dunia dan dua orang terluka yang ditemukan di empat titik berbeda (Tribunnews.com, 17/7/2022).

Serangan sporadis yang dilakukan KKB Papua bagaikan momok yang terus merongrong integrasi negeri. Tahun ke tahun selalu saja diwarnai dengan aksi berdarah kelompok ini. Banyaknya korban yang berjatuhan baik warga sipil maupun militer sungguh menyayat hati. Apa yang salah dari negeri ini hingga begitu mudahnya darah bersimbah di tanah Ibu Pertiwi?

Selama bertahun-tahun, pemerintah berupaya menghentikan aksi KKB Papua dengan menempuh jalan dialog, berdalih merangkul agar mereka tetap menjadi bagian dari wilayah NKRI. Pemerintah pusat pun mengeluarkan kebijakan yang menetapkan Papua sebagai daerah otonomi khusus dengan dana yang jumlahnya tak main-main. Namun, tingkat efektivitas dan keberhasilannya terbukti rendah, sama sekali tidak membuahkan hasil yang diharapkan. 


Akar Masalah

Tidur di atas emas, berenang di atas minyak, namun hidup dalam kerangkeng kemiskinan dengan menjual pinang. Demikian gambaran masyarakat Papua yang hidup dalam kepapaan padahal kaya akan sumber daya alam. 

Sejatinya, tak ada satu pun manusia di muka bumi ini yang tak menginginkan hidupnya sejahtera, begitu pun dengan masyarakat Papua. Dengan ketersedian sumber daya alam yang melimpah, bahkan diketahui memiliki cadangan emas terbesar pertama dan tembaga terbesar kedua di dunia, rasanya bukanlah bermimpi di siang bolong jika rakyat Papua mengidamkan kesejahteraan. Namun, sayang beribu sayang, berdasarkan data Badan Pusat Statistik, Papua masih menjadi daerah dengan angka kemiskinan tertinggi di Indonesia.  

Rakyat Papua merasa terabaikan oleh pemerintah pusat yang terlalu fokus membangun pulau Jawa dengan segala kemegahannya. Ketidakadilan yang menimpa rakyat Papua tersebut menjadi pemicu munculnya kelompok-kelompok yang ingin melepaskan diri dari wilayah NKRI. 

Setidaknya ada lima hal yang menjadi akar masalah di Papua, yaitu:

Pertama, sejarah dan status politik integrasi papua di Indonesia. Setelah Indonesia memproklamasikan kemerdekaan di tahun 1945, Belanda sebagai eks negara penjajah Indonesia menolak mengakui Irian Barat (sekarang Provinsi Papua Barat) sebagai bagian dari wilayah NKRI. Perundingan Konferensi Meja Bundar pun dilangsungkan pada 23 Agustus 1949 antara delegasi Indonesia dan Belanda guna membahas nasib Irian Barat, namun tidak menemui titik terang. 

Polemik yang berlarut-larut ini kemudian membuat Presiden Soekarno mengerahkan kekuatan militer dalam Tri Komando Rakyat (Trikora) pembebasan Irian Barat di penghujung tahun 1961. UNTEA (sekarang dikenal dengan PBB) sebagai pihak yang menengahi, secara resmi mengembalikan kedaulatan Indonesia di Irian Barat pada 1 Mei 1963 dengan syarat Indonesia harus mengadakan referendum atau Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera). Pada 19 November 1949, hasil Pepera diumumkan. Sebanyak 1.026 anggota Dewan Musyawarah Pepera (DMP) yang mewakili 815.904 penduduk, memilih Papua tetap menjadi bagian dari NKRI. Dunia internasional melalui PBB akhirnya mengakui kedaulatan Indonesia atas Papua. 

Masalah Papua yang berlangsung dari 1949 pun dianggap telah selesai. Namun, Pepera dianggap penuh kecurangan dan intimidasi hingga memunculkan persepsi di kalangan masyarakat Papua bahwa Indonesia telah menganeksasi Papua ke dalam bangsa ini. 

Kedua, kekerasan dan pelanggaran HAM yang menyisakan ketidakadilan terhadap rakyat Papua. Rasisme sistemis yang terjadi di Indonesia, terutama terhadap warga Papua adalah isu yang tak kunjung usai hingga sekarang. 

Amnesty Internasional menemukan setidaknya ada 95 kasus warga Papua meninggal di tangan aparat keamanan antara tahun 2010 hingga 2020 akibat dari oknum aparat yang tidak menempuh proses hukum dalam menangani protes damai ataupun demo yang dilakukan warga Papua. 

Selain itu, mahasiswa Papua kerap mendapatkan intimidasi, ancaman kekerasan, tindakan rasis, penggerebekan asrama hingga penangkapan sewenang-wenang. Salah satu contohnya adalah yang menimpa mahasiswa Papua di Malang dan Surabaya pada tahun 2019. Sekelompok orang tidak dikenal menyerang asrama mahasiswa Papua sembari menyeru kata-kata rasis.

Ketiga, diskriminasi dan marginalisasi masyarakat Papua di atas tanah leluhurnya. Marginalisasi di sektor ekonomi, pendidikan, politik, dan pembangunan sumber daya manusia (SDM) begitu nyata dirasakan oleh masyarakat Papua. Pada tahun 2010-2011, jumlah penduduk didominasi oleh pendatang. Para pendatang juga mendominasi di bidang agrikultural dan jasa. Selain itu, adanya Peraturan Pemerintah Nomor 77 tahun 2007 yang melarang penggunaan simbol-simbol kultural tertentu semakin menguatkan hal ini. 

Keempat, kegagalan pembangunan. Proses pembangunan yang berfokus pada pembangunan infrastruktur nyatanya tidak menyentuh akar persoalan masyarakat Papua. Proyek jalan Trans Papua yang digadang-gadang sebagai wasilah untuk menyejahterakan rakyat Papua hingga menyedot dana triliunan, justru dinikmati oleh para pendatang dan para korporat. Hal yang seharusnya diseriusi pemerintah adalah mengentaskan kemiskinan dan buruknya kualitas sumber daya manusia. Bukan justru membangun jalan raya yang rakyat asli Papua tidak bisa memanfaatkannya karena tidak memiliki kendaraan. 

Kelima, keterlibatan asing dalam kasus Papua. Eksistensi KKB yang mampu bertahan hingga saat ini tentu memunculkan pertanyaan dalam benak kita, siapa dalang di balik aksi separatisme mereka? 

Keterlibatan tokoh Papua Merdeka Benny Wenda dalam melakukan provokasi di luar negeri adalah salah satu contohnya. Benny diketahui mendapatkan suaka politik dari Inggris setelah kabur dari penjara pada tahun 2002 dibantu LSM Eropa. Ia juga mendirikan kantor Kampanye Papua Barat Merdeka di kota Oxford, Inggris. Benny sudah sejak lama aktif melakukan agitasi yang mencitrakan pemerintah Indonesia tidak becus mengurus Papua, sehingga dengan melakukan itu ia berharap akan mendapat dukungan dari seluruh dunia. 

Pada 12 Agustus 2019, Benny Wenda diundang dalam forum Kepulauan Pasifik. Dalam forum tersebut, Benny mengungkapkan penindasan warga sipil dan pelanggaran HAM yang menimpa rakyat Papua. Ia pun meminta ke negara-negara tersebut untuk mendukung agar Papua merdeka. 

Adapun negara yang mendukung Papua melepaskan diri dari NKRI secara terang-terangan adalah Vanuatu, sebuah negara kecil di Kepulauan Pasifik. Vanuatu pun mengerahkan dukungan penuh dengan cara melobi negara-negara Pasifik, khususnya Kepulauan Melanesia untuk ikut serta mendukung pembebasan Papua. 


Adu Kepentingan

Perjuangan pembebasan Irian Barat tidak lepas dari pengaruh konflik perang dingin antara ideologi kapitalisme dan ideologi komunisme. Hal ini tampak pada saat pengerahan kekuatan militer Trikora pembebasan Irian Barat. 

Indonesia mendapatkan pasokan persenjataan dari Uni Soviet (Blok Timur). Hal itu membuat Amerika Serikat (Blok Barat) khawatir pengaruh ideologi komunis tumbuh di Asia Tenggara. Dengan tekanan Amerika Serikat, Belanda akhirnya menyerahkan Irian Barat (Papua) kepada Indonesia yang dikenal dengan Perjanjian New York. 

Kini, Uni Soviet telah runtuh, tersisa Amerika Serikat yang menjadi mercusuar ideologi kapitalisme. Amerika Serikat sebagai negara adidaya yang mengusung ide imperialisme tentu tidak akan melewatkan kesempatan emas di depan mata. Dengan munculnya bibit-bibit separatisme di wilayah Papua, hal ini akan memberi keuntungan yang besar bagi mereka jika Papua berhasil melepaskan diri dari NKRI. Potensi sumber daya alam yang dimilki Papua akan dengan mudah mereka jarah. 

Selain itu, hegemoni dan dominasi Amerika Serikat sebagai negara super power akan semakin kokoh serta menghambat ideologi pesaing dalam mengerahkan dinamika politik di kawasan ini. Maka, salah satu upaya yang ditempuh Amerika Serikat adalah dengan memanfaatkan proxinya yaitu Australia dengan mendirikan pangkalan militer di Pulau Cocos, Darwin yang dekat dengan perairan Indonesia. 

Sebagai negara pesaing, China tak mau ketinggalan. Menurut laporan Oxford Analytica, tujuan China memperluas jangkauannya ke Pasifik Selatan adalah untuk menarik mereka bergabung dalam proyek One Belt One Road (OBOR) dengan menawarkan infrastruktur kepada mereka, terutama fasilitas pelabuhan untuk memudahkan perdagangan dan penyebaran angkatan laut. Selain itu, China sudah menjalin kerja sama dagang dengan negara-negara yang ada di Pasifik Selatan, terutama penghasil ikan dan kayu. 

Oleh karena itu, Amerika Serikat dan China kini menjadi negara-negara yang memiliki kepentingan terselubung di balik kasus Papua. Lantas, bagaimana Islam menyelesaikan tindakan separatisme ini?


Solusi Mendasar Islam

Islam adalah agama yang komprehensif. Dalam menumpaskan aksi separatisme sampai ke akar-akarnya, Islam memiliki solusi mendasar, yaitu:

Pertama, politik kesejahteraan. Bibit-bibit separatisme yang tumbuh di Papua adalah manifestasi atas ketidakadilan, diskriminasi, dan ketimpangan sosial yang dialami oleh rakyatnya. Untuk menghapus itu semua, negara tidak hanya fokus pada pembangunan infrastruktur, namun turut pula membangun manusia dengan pemahaman tentang hakikat integrasi. Kebutuhan sandang, pangan, dan papan wajib dipenuhi ketersediaannya oleh negara. 

Kedua, politik keamanan. Jaminan keamanan dan ketenteraman rakyat adalah tanggung jawab negara. Sudah menjadi kewajiban negara untuk menumpas aksi separatis demi menjaga kesatuan dan persatuan. Dalam Islam, memisahkan diri dari negara hukumnya haram. Pelaku makar (bughat) akan diberi sanksi dengan jalan diperangi. Maksud dari diperangi adalah sebagai pelajaran (ta’dib) tanpa membunuhnya agar mau kembali bersatu dalam negara. 

Ketiga, politik kemandirian. Negara akan memastikan posisinya di dunia Internasional tidak bergantung pada pihak asing maupun aseng, baik secara ekonomi, militer, dan ideologi. 

Setiap kalian adalah pemimpin dan akan ditanya kepemimpinannya. Pemimpin negara yang berkuasa atas manusia adalah pemimpin dan ia akan ditanya tentang kepemimpinannya” (HR. Bukhari dan Muslim).

Memperjuangkan keadilan namun menempuh jalan pemberontakan hingga banyak nyawa yang melayang, menginginkan kesejahteraan mewujud nyata namun darah manusia lain menjadi bayaran, maka tepat jika kita menyebut KKB Papua adalah teroris yang sesungguhnya.

Bilakah aksi KKB Papua terhentikan? Harus berapa banyak nyawa lagi baik warga sipil maupun militer yang berjatuhan? Sistem kufur sekuler kapitalisme telah kita saksikan kebobrokannya, sungguh layak untuk dicampakkan dari muka bumi. Kini, sudah saatnya Islam dengan sistem pemerintahannya—khilafah—hadir menjadi solusi atas separatisme di negeri ini. 

Wallahu a'lam bishshawab. []


Oleh: Dian Afianti Ilyas
Sahabat TintaSiyasi
Baca Juga

Post a Comment

0 Comments