TintaSiyasi.com -- Pertengahan tahun ini dunia pendidikan disibukkan dengan agenda tahunan Penerimaan Peserta Didik Baru atau disingkat dengan PPDB. Para calon siswa ramai mendaftar dan memilih sekolah yang difavoritkan. PPDB kini menggunakan sistem zonasi yakni kebijakan yang mengarahkan calon murid untuk bersekolah di sekolah yang terdekat dari rumah dengan asumsi mutu sekolah di mana pun sama atau hampir sama. Namun dengan sistem zonasi yang diterapkan dalam PPDB ternyata menyisakan persoalan.
Seperti yang terjadi di SDN 197 Sriwedari Surakarta, Jawa Tengah. Setelah diumumkan, dilansir dari tirto.id (8/7/2022), Kepala SDN 197 Sriwedari Surakarta, Bambang Suryo Riyadi mengatakan, sejak diterapkan sistem zonasi memang dari tahun ke tahun jumlah siswa baru cenderung menurun. Apalagi, SDN Sriwedari No 197 letaknya tidak berada di tengah perkampungan. Selain itu, kata Bambang, karena lokasinya yang berada di seberang rel kereta api, maka mayoritas orang tua siswa menyekolahkan anaknya di SD Negeri dekat rumahnya. Karena mereka khawatir bila anak sekolah harus menyebrang rel kereta api.
Koordinator Perhimpunan Pendidikan dan Guru (P2G) Satriwan Salim pun menilai masalah lain dari sistem zonasi ini seperti orang tua peserta didik melakukan manipulasi data tempat tinggal atau pindah rumah agar dekat dengan sekolah yang ingin dituju karena dinilai unggulan atau favorit. Sejak zaman PPDB ini dibuat [2017], banyak kasus manipulasi tempat tinggal, yang dia tiba-tiba Kartu Keluarganya di Jakarta Selatan agar masuk SMA 8. Pindah jauh-jauh hari. Sekolah negeri yang tidak merata di seluruh wilayah Indonesia. Dengan adanya kasus seperti SDN Sriwedari akan terdampak kepada jam mengajar guru yang berkurang karena siswa dan kelasnya sedikit. Jam mengajar guru minimal 24 jam seminggu. Hal ini akan berdampak pula kepada sertifikasi, tunjangan, dan honor para guru (tirto.id, 7/7/2022).
Namun dalam persoalan ini Direktur Jenderal Pendidikan Anak Usia Dini, Pendidikan Dasar, dan Pendidikan Menengah Kemendikbud Ristek, Jumeri mengatakan bahwa kebijakan zonasi dalam sistem Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB), merupakan salah satu upaya meningkatkan akses layanan pendidikan yang berkeadilan (gatra.com, 20/6/2022).
Alih-alih meningkatkan layanan pendidikan berkeadilan, sistem zonasi nyatanya dominan berdampak pada banyak pihak, pada peserta didik, orang tua maupun sekolah dan guru. Hak peserta didik dibatasi dalam memilih sekolah yang diidamkan namun terpaksa beralih ke sekolah lain sesuai sistem zonasi. Alhasil berpengaruh terhadap pembelajaran dan keaktifan di sekolah. Selain itu peserta didik yang tidak bisa masuk sekolah negeri harus masuk sekolah swasta yang berbiaya mahal. Orang tua yang khawatir akan nasib anaknya akhirnya nekat menempuh segala cara agar anaknya diterima di sekolah yang dituju. Ada yang mendadak pindah rumah dekat sekolah, ada yang pura-pura miskin dengan mengurus SKTM (Surat Keterangan Tidak Mampu), ada yang menyuap oknum panitia PPDB, dsb. Akibat sistem zonasi ada sekolah yang jumlah muridnya membludak, dan ada juga yang muridnya hanya segelintir sehingga berdampak jam mengajar guru yang minimal 24 jam sehingga sangat mempengaruhi sertifikasi, tunjangan, dan honor para guru.
Kisruh sistem zonasi berpangkal pada masalah tidak meratanya sekolah di Indonesia baik dari sisi jumlah, kualitas, dan lokasi. Dilihat dari jumlahnya, masih banyak daerah yang kekurangan sekolah. Dari sisi kualitas terjadi ketimpangan menjadi gap sekolah favorit dan nonfavorit. Terkendala lahan membuat jarak sekolah dan pemukiman tidak relevan. Namun jika pemerataan layanan pendidikan ini teratasi maka sistem zonasi bisa diterapkan.
Mulai pemerataan layanan pendidikan dengan peningkatan kualitas pendidikan secara merata melalui penetapan rasio ideal antara jumlah sekolah dan jumlah penduduk. Selain menyiapkan sekolah dengan jumlah ideal, pemerintah harus menjadikan kualitas semua sekolah sesuai standar. Para guru pun harus mendapatkan pelatihan untuk meningkatkan kapabilitasnya.
Selain itu harus ada jaminan kesejahteraan guru. Gaji guru harus layak sesuai dengan lelahnya dalam memberikan ilmu yang bermanfaat bagi murid. Begitu pula dengan sarana dan prasarana harus ditingkatkan kualitasnya secara merata. Istilah favorit dan nonfavorit yang sudah tidak asing di masyarakat harus dihilangkan dengan peran pemerintah untuk memberikan edukasi kepada masyarakat tentang 3 pilar pendidikan, yakni sekolah, orang tua, dan masyarakat. Sehingga penentu output pendidikan tidak hanya sekolah melainkan sinergi di antara ketiganya. Sehingga selain kurikulum yang berkualitas, butuh dukungan orang tua yang peduli pendidikan dan masyarakat yang menghargai ilmu.
Dalam Islam negara tak boleh lepas tangan dalam pendidikan. Islam memiliki konsep pendidikan berbasis akidah Islam. Kurikulumnya berkualitas tinggi karena bersumber dari wahyu Allah. Negara memposisikan dirinya sebagai pelayan dan pengurus rakyat:
Imam/kepala negara adalah pemelihara dan pengatur urusan rakyat, ia akan dimintai pertanggunjawaban atas urusan rakyatnya (HR. Bukhari dan Muslim).
Pendidikan bisa diakses semua orang dengan mudah dan gratis. Dana Pendidikan berasal dari pengelolaan kepemilikan umum yang merupakan milik seluruh rakyat. Mengenai zonasi, murid dalam sistem Islam berhak sekolah di mana saja yang dia inginkan. Karena semua sekolah sudah memenuhi standar. Maka tidak perlu terjebak pada pilihan zonasi atau tidak. []
Oleh: Indriyani Sirfefa
Sahabat TintaSiyasi
0 Comments