Terbaru

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Hakikat Penghambaan pada Allah


TintaSiyasi.com -- Anugerah akal yang dipergunakan untuk berpikir secara mendalam, akan menuntun manusia pada kesadaran akan hakikat diri. Kesadaran bahwa dirinya lemah, serba kurang dan butuh pada selain dirinya. Hal ini akan menghantarkan manusia pada keyakinan akan adanya kekuatan yang lebih darinya, yang mustahil lebih rendah atau sama dengan dirinya. Kekuatan tersebutlah yang menciptakan dirinya yaitu Sang Khaliq (Pencipta). Apalagi alam semesta beserta segala isinya menjadi bukti tak terbantahkan akan keberadaan Al Khaliq yaitu Allah yang Mahasempurna. Allah SWT berfirman: 

اِنَّ فِىۡ خَلۡقِ السَّمٰوٰتِ وَالۡاَرۡضِ وَاخۡتِلَافِ الَّيۡلِ وَالنَّهَارِ لَاٰيٰتٍ لِّاُولِى الۡاَلۡبَابِ

Artinya : Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan pergantian malam dan siang terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi orang yang berakal (QS. Ali Imran ayat 190).

Secara naluriah bentuk pengakuan manusia sebagai hamba bagi Allah dilakukan melalui dua cara, yaitu taqdis dan tadbir. Taqdis maksudnya mensucikan Allah. Artinya dalam segala aktivitas amal manusia dalam kehidupan dunia haruslah diarahkan pada amal taqdis ini. Amal dalam pemenuhan kebutuhan jasmani dan naluri untuk keberlangsungan hidupnya haruslah didasarkan kesadaran hubungannya dengan Allah. Diniatkan sebagai bentuk ta’abbud (penyembahan), ta’dzhim (pengangungan), dan ihtiram (penghormatan) pada Allah SWT. Inilah yang menjadikan amal bernilai ikhlas untuk Allah semata dan mendatangkan ridha-Nya.

Ikhlas menjadi syarat mutlak diterimanya amal di sisi Allah. Melaksanakan amal semata karena perintah-Nya dan larangan-Nya. Hukum syarak yang menurut manusia tak masuk akal pun tetap dilaksanakan. Karena keyakinan Allah Mahamengetahui sedangkan akal dirinya terbatas.

Bukan kebalikannya baru mau mengamalkan aturan Allah setelah mengetahui adanya manfaat dari aturan tersebut dari sisi ilmiah sains. Jadi dorongan manfaat mengalahkan perintah-Nya dan larangan-Nya. Jelas ini bukan bentuk keikhlasan dalam beramal. Belum dikatakan ada kesadaran hubungan dengan Allah. Ini menjadikan amal sia-sia karena tidak didasarkan pada perintah dan larangan Allah.

Maka dapat dipahami mengapa orang-orang kafir dalam surat Al Furqan ayat 23 dikatakan Allah amal-amalnya seperti debu beterbangan. Karena amal perbuatannya tidak didasari pada kesadaran hubungannya dengan Allah. Ditujukan amal tadi pada sembahan selain Allah. Sekalipun amal mempesona di hadapan manusia, tapi tak ada manfaat sama sekali dalam pandangan Allah. 

Tadbir maksudnya pengaturan dirinya dengan syariat Allah. Ketika akal manusia mengamati, meneliti ciptaan-ciptaan Allah yang tak terhitung jumlahnya, nampak keteraturan, kesempurnaan dan tak ada kebatilan dalam ciptaan-Nya. Ini akan menumbuhkan kesadaran bahwa Allah yang menciptakan dirinya pasti menurunkan aturan yang terbaik bagi hamba-Nya. Aturan yang membawa kemashlahatan dirinya dan menjauhkan kemudharatan pada dirinya. 

Tak hanya itu akan menumbuhkan kesadaran bahwa ketundukan pada syariat Allah secara kaffah adalah kewajibannya. Mustahil mencela syariat-Nya dan memilih memilah syariat-Nya sesuai hawa nafsunya. Mustahil menganggap aturan buatan akal manusia lebih baik dan lebih wajib diamalkan dalam kehidupan dari syariat-Nya. Karena ini menunjukkan kekufuran dan pembangkangan pada Allah. 

اَفَتُؤْمِنُوْنَ بِبَعْضِ الْكِتٰبِ وَتَكْفُرُوْنَ بِبَعْضٍۚ فَمَا جَزَاۤءُ مَنْ يَّفْعَلُ ذٰلِكَ مِنْكُمْ اِلَّا خِزْيٌ فِى الْحَيٰوةِ الدُّنْيَا ۚوَيَوْمَ الْقِيٰمَةِ يُرَدُّوْنَ اِلٰٓى اَشَدِّ الْعَذَابِۗ وَمَا اللّٰهُ بِغَافِلٍ عَمَّا تَعْمَلُوْنَ

Artinya : Apakah kamu beriman kepada sebagian Kitab (Taurat) dan ingkar kepada sebagian (yang lain)? Maka tidak ada balasan (yang pantas) bagi orang yang berbuat demikian di antara kamu selain kenistaan dalam kehidupan dunia, dan pada hari Kiamat mereka dikembalikan kepada azab yang paling berat. Dan Allah tidak lengah terhadap apa yang kamu kerjakan (QS. Al Baqarah ayat 85).
 
Muncul ketakutan dalam dirinya kembali pada Allah dalam keadaan suul khatimah dan di akhirat mendapat azab dari-Nya. Sehingga akan mendorong lisannya mengatakan sami’naa wa atha’naa (kami mendengar dan taat) pada syariat-Nya. Serta membuktikan imannya dalam amal perbuatannya. 

Wallahu a’lam bishshawab. []


Oleh: Desti Ritdamaya
Praktisi Pendidikan
Baca Juga

Post a Comment

0 Comments