TintaSiyasi.com -- Belakangan ini Citayam Fashion Week (CFW) menjadi perbincangan hangat di media sosial. Gelaran yang kerap disebut juga SCBD (Sudirman, Citayam, Bojonggede, dan Depok) Fashion Week tersebut ramai mendapat tanggapan warganet dalam lingkup nasional, bahkan internasional. Berbagai kalangan, dari beragam usia dan latar belakang, bahkan artis hingga pejabat pun ikut tertarik dengan CFW dan tak ingin ketinggalan untuk menjajal sensasi tampil di sana.
Fenomena tersebut berawal dari para remaja yang ramai mendatangi kawasan Sudirman, Jakarta Selatan. Lewat CFW mereka seolah ingin "mengais eksistensi", dengan nongkrong dan beradu gaya fashion yang unik. CFW bisa dibilang bentuk unjuk kreasi anak muda yang ingin eksis tapi dengan dana yang minimalis. Seiring dengan viralnya fenomena tersebut, kini CFW tak lagi didominasi peragaan busana sederhana. Para bintang acara televisi hingga pekerja kantoran berbondong-bondong ikut memeriahkan festival fashion tanpa penyelenggara tersebut. Mereka sengaja datang untuk membuat konten media sosial, dengan melakukan peragaan busana di zebra cross yang disulap menjadi catwalk.
Tidak hanya di Jakarta, demam CFW juga menjalar ke kota lain. Di Surabaya misalnya, anak-anak Kota Pahlawan mengikuti jejak CFW di area Tunjungan Plaza. Di Kota Malang, aksi serupa juga digelar di daerah Kayutangan. Melihat fenomena CFW ini, banyak pihak yang mengapresiasi dengan alasan kebebasan berekspresi. Beberapa pejabat dan pemimpin negeri ini justru latah ikut meramaikan ajang CFW. Bahkan orang nomor satu di negeri ini juga mendukung CFW dengan menyatakannya sebagai bentuk kreativitas anak muda.
Adanya apresiasi dan dukungan terhadap CFW memperlihatkan persetujuan dari berbagai pihak terhadap kebebasan bertingkat laku. Seperti yang kita saksikan di CFW, anak ABG berpakaian serba bebas, memperlihatkan aurat, berlenggak-lenggok sepert model, berdandan berlebihan, juga bercampur baur antara laki-laki dan perempuan. Jelas sekali hal tersebut bertentangan dengan Islam dan justru identik dengan budaya Barat yang memang lebih mengedepankan kebebasan berekspresi.
Jika kegiatan ini terus didukung, tidak menutup kemungkinan akan melahirkan generasi yang selalu berkiblat pada Barat. Mereka akan terlena dengan racun "fun, fashion, food" yang sengaja dicekokkan kaum Barat untuk merusak generasi. Pada titik berikutnya, pola pikir individualis akan makin menguat, kepekaan sosial makin rendah, tidak ada rasa peduli pada sekitar dan tidak punya rasa empati. Lihatlah di CFW, remaja-remaja tersebut tak peduli aksi fashion show-nya menyebabkan lalu lintas tersendat. Banyak pula dijumpai remaja yang tidur di jalanan pasca menggelar CFW semalaman. Melihat pemandangan remaja seperti ini, eksistensi yang dikejar tidak berbanding lurus dengan perbaikan di tengah kondisi dekadensi moral di kalangan pemuda.
Namun, tanggapan yang berbeda terjadi saat digelar acara Malioboro Mengaji di Yogyakarta. Acara tersebut justru menimbulkan polemik yang memanaskan diskursus. Tidak sedikit yang memandang negatif kegiatan tersebut, dengan dalih tidak beretika jika mengaji Al-Qur'an di pinggir jalan. Pengelola Malioboro sudah menyatakan kompleks trotoar Malioboro adalah fasilitas umum yang dapat digunakan tanpa harus ada perizinan, namun sejumlah masyarakat menolak dengan alasan membaca Al-Qur'an di Malioboro akan memberi kesan bahwa Malioboro milik kelompok agama tertentu.
Padahal dari aspek pelaksanaan, acara tersebut tidak menggangu jalan dan ketertiban umum. Para santri duduk di tempat duduk yang sudah disediakan di kompleks Malioboro dan mengaji selama 15 menit saja. Dari sudut pandang manapun kegiatan Malioboro Mengaji tidak mengandung aspek yang negatif. Demikianlah sikap resistensi terkait Malioboro Mengaji yang tidak didapatkan pada CFW. Padahal dari Pemkot Jakarta sendiri mengimbau untuk tidak melakukan fashion show di fasum, namun CFW ini ditoleransi sebagai bagian dari ekspresi diri.
Lagi-lagi, akar persoalannya ada pada sistem yang dianut negeri ini, yaitu sekularisme. Asas kehidupan sekularisme telah menjungkirbalikkan nilai kehidupan, kegiatan di ruang publik yang bersifat islami dianggap sebagai eksklusivitas yang harus diwaspadai. Sementara kalangan pemuda dininabobokan dengan budaya hedonis dan permisif. Kesenangan materi dan popularitas menjadi nilai tertinggi menggantikan standar halal haram. Lantas, apakah generasi Muslim akan terus menjadi objek akulturasi budaya yang memojokkan mereka tanpa memiliki peran melukis sejarah yang gemilang dengan Islam?
Dukungan dari pemerintah terhadap acara yang tidak berfaedah tersebut juga menjadi bukti bahwa pemerintah saat ini tidak peka. Bukannya mengarahkan dan menyiapkan anak muda menjadi generasi penerus bangsa, malah menjerumuskan mereka pada jurang gemerlap dunia fana. Padahal sebagai pemimpin, kelak di akhirat akan dimintai pertanggungjawaban sebagaimana Rasulullah SAW bersabda, "Kalian semua adalah pemimpin dan masing-masing dari kalian akan dimintai pertanggungjawaban atas orang yang dipimpinnya" (HR Bukhari Muslim).
Seorang pemimpin Muslim harus berani menegakkan kebenaran, wajib berpendirian dan berkepribadian Islam, dengan memiliki pola pikir dan pola sikap Islam sehingga bisa membedakan mana kegiatan yang boleh atau tidak boleh, mana kegiatan yang baik dan buruk dengan standar penilaiannya adalah Islam. Sudah menjadi tugas para pemangku kekuasaan untuk bertanggung jawab terhadap masa depan generasi, untuk mengembalikan jati diri mereka pada jati diri yang sebenarnya sebagai seorang Muslim, dan segera menghentikan segala upaya yang merusak generasi muda sekarang, serta menuntun mereka tetap berada pada jalan Islam. Agar kelak di masa mendatang, Islam akan kembali berjaya di tangan pemuda-pemuda tangguh penjaga risalah Islam yang mulia. []
Oleh: Fera Ummu Fersa
Pengamat Sosial
0 Comments