Terbaru

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Benarkah Sistem Zonasi untuk Keadilan Akses Pendidikan?


TintaSiyasi.com -- Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) melalui jalur zonasi telah dilaksanakan sejak tahun 2017. Ternyata sistem zonasi ini sudah dirancang pada tahun 2016 (Pikiran Rakyat.com, 28/05/2018).

Jumeri mengatakan bahwa kebijakan zonasi dalam sistem Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB), merupakan salah satu upaya meningkatkan akses layanan pendidikan yang berkeadilan (Gatra.com, 20/06/2022).

Nyatanya, sejak dilaksanakan pada tahun 2017 hingga saat ini, keadilan akses pendidikan yang menjadi tujuan diadakan jalur zonasi ini belum dapat terealisasi. Yang ada malah menyisakan berbagai macam problematika. 

Misalnya, di SDN 197 Sriwedari Solo hanya mempunyai 1 murid pada tahun ajaran 2022/2023. Hal ini akibat sistem zonasi Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) daring. Kepala SDN 197 Sriwedari Solo, Bambang Suryo Riyadi mengatakan sejak diterapkan sistem zonasi memang dari tahun ke tahun jumlah siswa baru cenderung menurun. Apalagi, SDN Sriwedari no.197 letaknya tidak di tengah perkampungan (detikNews.com, 11/06/2022).

Selain itu, lokasi sekolahnya berada di seberang rel kereta api. Maka mayoritas orang tua siswa menyekolahkan anaknya di SD Negeri dekat rumahnya. Karena mereka khawatir bila anak-anak menyebrang rel kereta api. 

Karena adanya sistem zonasi ini, orang tua peserta didik melakukan manipulasi tempat tinggal atau bahkan pindah rumah agar dekat dengan sekolah yang ingin di tuju karena dinilai sekolah unggulan atau favorit (Tirto.id, 08/07/2022).

Masalah lain dari sistem zonasi ini, tidak semua kelurahan memiliki sekolah negeri termasuk kota besar seperti Jakarta. Selain itu sekolah negeri yang tidak merata di seluruh wilayah Indonesia (Cakaplah.com, 14/07/2022).

Sistem zonasi sangat bermasalah. Hal ini sudah cukup menjadi bukti bahwa penerapan sistem kapitalisme yang berasaskan sekularisme telah gagal mewujudkan keadilan akses pendidikan.

Maka dari itu, sudah saatnya kita mencampakkan sistem kapitalisme dan menggantikannya dengan sistem Islam. Karena hanya sistem Islam yang dapat menerapkan hukum-hukum Islam secara keseluruhan.

"Seorang Imam (Khalifah/Kepala Negara) adalah pemelihara dan pengatur urusan rakyat dan ia akan dimintai pertanggungjawaban atas urusan rakyatnya" (HR. al-Bukhari).

Dengan peran utama ini, negara bertanggung jawab untuk memberikan sarana prasarana, baik gedung sekolah beserta seluruh kelengkapannya, guru yang berkompeten, kurikulum sahih, maupun konsep tata kelola sekolahnya.

Negara juga harus memastikan setiap warna negara dapat memenuhi kebutuhan pendidikan secara mudah dan sesuai kemampuannya. Dalam sistem Islam tidak diperlukan adanya sistem zonasi. Karena negara bakal membangun banyak sekolah dan siswa bisa memilih sekolah sesuai dengan bakat dan minatnya.

Contoh praktisnya adalah madrasah Al-Muntashiriah yang didirikan oleh Khalifah Al-Muntashir Billah di Kota Baghdad. Disekolah ini setiap siswa menerima berupa emas seharga satu Dinar (4,25 gram emas).
 
Kehidupan keseharian mereka dijamin sepenuhnya oleh negara. Fasilitas sekolah disediakan seperti perpustakaan beserta isinya dan rumah sakit. Negara pun akan memanfaatkan keterampilan dan pemikiran yang luar biasa dari generasi yang baik untuk pengembangan negara. Dengan begitu, kemampuan berharga mereka tidak disia-siakan atau di bajak oleh pemerintah asing.

Terlebih suasana yang dibangun di tengah-tengah masyarakat adalah fastabiqul khairat (berlomba-lomba dalam kebaikan). Nah, dengan senang hati rakyat ingin membantu negara mewujudkan kemaslahatan.

Maka tidak heran jika dalam peradaban Islam akan di temui banyak sekali orang-orang yang berpolymath bahkan keilmuan mereka dijadikan sebagai dasar peletakan llmu modern saat ini. Seperti Al-Zahrawi yang mewariskan ilmu bedah, Al-Khawarizmi yang menemukan angka 0 yang dimanfaatkan untuk pengembangan Ilmu algoritma saat ini dan masih banyak lagi.

Sungguh, sistem Islam benar-benar sukses mewujudkan pendidikan bermutu berkeadilan bagi semua.

Wallahu a'lam bishshawab. []


Oleh: Wardah Atikah Rianthoby
Mahasiswi Makassar
Baca Juga

Post a Comment

0 Comments