Terbaru

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Simalakama, Pilih APBN Bangkrut atau PLN Bangkrut?


TintaSiyasi.com -- Menyoal penanganan krisis Perusahaan Listrik Negara (PLN), Pengamat Politik Ekonomi Salamuddin Daeng mengingatkan adanya potensi simalakama, apakah Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang akan angkrut ataukah PLN yang bangkrut.

“Negara telah membatasi harga batu bara dan gas alam yang dijual ke PLN untuk menahan biaya yang membatasi beban subsidinya, namun belum jelas sampai kapan ini bisa dilakukan. Pendapatan royalti batubara negara sangat bergantung pada komersialisasi batubara. Kalau harga Batubara ditetapkan, maka negara tidak dapat pendapatan atau pendapatannya rendah. Simalakama, pilih APBN bangkrut atau PLN bangkrut?” ujarnya kepada TintaSiyasi.com, Senin (06/06/2022).

Daeng, sapaan akrabnya, mengingatkan jika kompensasi tidak dibayar oleh pemerintah, skema take or pay (TOP) pembangkit energi fosil tidak diakhiri, transisi energi dan proyek ramah lingkungan tidak dijalankan dan dikembangkan, maka PLN yang akan bangkrut lebih cepat. “Sementara APBN pemerintah masih bisa buat gaji dan tunjangan pegawai pemerintah dan DPR. Piye, pilih mana?” tanyanya.

“Pembekuan tarif yang diperpanjang juga meningkatkan ketergantungan PLN kepada pemerintah untuk memenuhi kekurangan pendapatan. Pembekuan tarif oleh pemerintah memiliki konsekuensi pemerintah membayar kompensasi dalam jumlah besar, karena peningkatan biaya di PLN yang berasal dari harga energi dan pembelian listrik swasta,” jelas Daeng. 

Dikatakannya, ketergantungan pada subsidi dan kompensasi yang tidak sanggup dibayar pemerintah, namun sangat diharapkan PLN. PLN tetap bergantung pada dukungan negara untuk mempertahankan operasinya dalam jangka menengah. PLN tidak dapat mempertahankan EBITDA (Earning Before Interest, Taxes, Depreciation, and Amortization) tanpa subsidi dan pendapatan kompensasi, yang jika digabungkan, berjumlah sekitar Rp66 triliun pada tahun 2020, dibandingkan dengan EBITDA sebesar Rp74 triliun. 

“Pemerintah memiliki catatan melakukan penggantian subsidi kepada PLN, namun terjadi keterlambatan pencairan pendapatan kompensasi dalam tiga tahun terakhir. Sementara sekarang APBN tengah sekarat, pendapatan negara melemah, penerimaan utang yang rendah, peringkat utang yang lemah,” ungkapnya. 

Lebih lanjut, Daeng mengungkapkan, pembekuan tarif makin membuat subsidi meningkat. “Perkiraan peningkatan subsidi dan pendapatan kompensasi pada tahun 2021, seiring dengan penjualan listrik yang lebih tinggi, namun keringanan tarif yang berkelanjutan, pembekuan tarif, dan kenaikan harga komoditas,” ulasnya.

Sedangkan, ujarnya, jumlah pendapatan subsidi dan kompensasi turun 10,9 persen pada tahun 2020 karena sedikit penurunan volume penjualan listrik dan biaya pasokan listrik per unit di tengah harga komoditas yang lebih rendah terhadap tarif listrik yang dibekukan.

“Akibatmya negara tidak bisa bayar kompensasi. Kalau melihat keterlambatan pembayaran kompensasi dan tidak ada penyesuaian harga, maka dipastikan 2022 dan 2023 menjadi masa kritis bagi PLN. Kemungkinan IPO atau penjualan langsung aset aset PLN kemungkinan dilakukan sebagai jalan keluar,” tandasnya.

Susah 

Daeng mengatakan bahwa adanya desakan transisi energi akan membuat PLN tidak bisa dapat utang lagi di tahun tahun mendatang. Mengingat komitmen yang tinggi lembaga pembiayaan untuk menentukan pembiayaan pembangkit fosil. 

“Jika tambang batubara dalam negeri juga gulung tikar karena terhalang pembiayaan, maka ini menjadi kebangkrutan rame-rame. PLN sendiri tidak punya proyek terbaharukan yang menarik minat investor global yang juga di hadapkan dengan isue perubahan iklim,” khawatirnya. 

Sedangkan, ujarnya, Standalone Credit Profile (SCP) 'bb+' PLN rendah, perkiraaan leverage bersih berbasis FFO sekitar 5,5x (2021: 4,2x) karena rencana belanja modal yang tinggi. Tampak PLN sangat mengandalkan pinjaman untuk melanjutkan operasi perusahaan. 

“Manajemen PLN tidak ada terobosan dalam mencari dana dan terutama meningkatkan cash flow, karena sangat bergantung pada mekanisme kompensasi dan dana subsidi. Optimalisasi pembangkit ramah lingkungan seperti PLTA dan PLTSA kurang mendapat tempat. Boleh jaid perusahaan masih dikendalikan pemain fosil. Padahal pembangkit ramah lingkungan adalah proyek baru yang digandrungi lembaga pembiayaan,” paparnya.

Ia menyatakan, PLN jalan ditempat dalam menekan biaya, baik yang datang dari biaya pemeliharaan maupun biaya dari bahan bakar yang merupakan komponen terbesar dari biaya PLN. “Tahun depan PLN Mungkin tidak memiliki kemampuan membayar utang terutama utang sukuk dalam negeri yang sangat besar, sehingga PLN jadi benchmark dalam pembuatan utang di BUMN,” prediksi Daeng.

Daeng menyarankan, “Perlu sosialisasi yang serius kepada masyarakat mengenai beban keuangan PLN, keterlambatan kompensasi oleh pemerintah, dan tingginya beban pembelian listrik swasta. Agar publik memiliki kepedulian kepada penyelamatan PLN di masa mendatang. Kemungkinan meminta dukungan agar TOP pembangkit batubara dan fosil IPP diakhiri.”

“PLN untuk dapat uang banyak ke depan haruslah serius dalam mencari mega proyek perubahan iklim atau transisi energi. Karena masalah globalisasi yang sangat mendesak agenda ini dan mau membiayainya. Berbeda kalau bank-bank nasional masih cukup banyak uang. Maka PLN bisa mengandalkan sumber pembiayaan dalam negeri. BI dan OJK pun tidak tidak terlalu peduli dengan perubahan iklim. Jadi lembaga keuangan Indonesia tidak punya agenda mendukung transisi energi,” tandasnya.[] Reni Tri Yuli Setiawati


Baca Juga

Post a Comment

0 Comments