TintaSiyasi.com -- Kepala Badan Nasional Penanggulangan Teroris (BNPT) Komisaris Jenderal Boy Rafli Amar menyebut modus baru radikalisme di kampus, dosen online Universitas Online (Uniol) 4.0 Diponorogo Prof. Dr. Suteki, S.H., M.Hum. dan Puspita Satyawati, S.Sos. mengungkapkan bahwa radikalisme merupakan alat politik demi membungkam ujaran kritis.
"Selama ini narasi radikalisme nampak sebagai alat politik membungkam setiap ujaran berbeda yang mengajukan koreksi kritis terhadap jalannya kekuasaan," tulis keduanya dalam Kuliah Daring Uniol 4.0 Diponorogo: Radikalisme Kampus: Alat Politik Bungkam Suara Kritis di grup WhatsApp, Sabtu (04/06/2022).
Prof. Suteki melanjutkan, narasi radikalisme itu untuk membungkam lawan politik penguasa dari kalangan ormas hingga sivitas akademika.
"Padahal, kampus mendidik setiap insan yang tumbuh dan dibesarkan di dalamnya agar senantiasa melakukan koreksi dan kritik terhadap kondisi dan alienasi publik berdasarkan ilmu dan pengetahuan," ujarnya.
Guru Besar Fakultas Hukum Undip ini membeberkan, war on radicalism bagai jala pukat harimau yang menyasar ikan besar hingga teri kecil sivitas akademika agar menjadi insan pembebek dan pengabdi kekuasaan, bukan insan mandiri pengabdi ilmu pengetahuan.
"Lantas, mampukah garis depan ilmu pengetahuan ini beringsut ke arah kemajuan? Mungkinkah akan berkembang pemikiran-pemikiran kampus yang dipenuhi karakter critical thinking? Masihkah berharap insan kampus menjadi the agent of change dari tradisi rule breaking?" sindirnya.
Sementara Puspita menerangkan, propaganda radikalisme kampus tak lepas dari agenda war on radicalism sebagai branding baru dari war on terrorism yang dipelopori oleh AS. Menurutnya, setelah isu terorisme mulai tidak laku, negara-negara Barat kafir imperialis menjual narasi radikalisme.
"Sasarannya sama yaitu Islam dan umatnya. Pasalnya, simbol Islamlah yang muncul dari berbagai isu yang terjadi," ujarnya.
Ia menambahkan, meski PBB telah menggulirkan resolusi Hari Antiislamofobia 15 Maret 2022, namun realitasnya islamofobia yang mewujud pada narasi radikalisme, terorisme, dan ekstremisme terhadap umat Islam terus terjadi, termasuk di negeri ini.
"Diduga, resolusi tersebut hanyalah lip service demi menyembunyikan permusuhan Barat terhadap kebangkitan Islam yang kian nyata," cetusnya.
Puspita menilai, propaganda radikalisme kampus diduga hendak mencitraburukkan Islam kepada sivitas akademika, khususnya para mahasiswa, agar mereka takut dan menjauhi Islam.
"Terlebih mahasiswa Muslim adalah generasi penerus perjuangan Islam. Kecintaan mereka terhadap Islam dan perjuangannya tentu mengkhawatirkan Barat dan pendukungnya," tegasnya.
Lebih lanjut keduanya mengulas, masifnya propaganda radikalisme kampus ditengarai bertujuan sebagai alat politik membungkam suara kritis oposisi.
"Serta untuk menebar ‘teror’ di lingkungan sivitas akademika, sekaligus propaganda jahat menjauhkan insan kampus dari ajaran Islam kaffah dan menekan dakwah Islam di lingkungan kampus," pungkas mereka.[] Alfia Purwanti
0 Comments