Terbaru

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Mengambil Utang dari Asing Justru Memperparah Krisis Sri Lanka


TintaSiyasi.com -- Pengamat Ekonomi Dr. Arim Nasim, M. Si. Ak. C.A. angkat bicara soal krisis yang ada di Sri Lanka. “Solusi yang diambil pemerintah justru memperparah krisis sebenarnya ya. Ketika terjadi kesulitan devisa, Sri Lanka malah mengambil utang lagi dari International Monetary Fund (IMF) sekitar U$ 600 miliar," ujarnya dalam diskusi yang bertajuk Krisis Ekonomi Sri Lanka, Ada Apa? Di kanal YouTube Khilafah Channel, Ahad (04/06/2022).

Menurut Arim, hal itu tidak mampu mengatasi krisis ekonomi hingga akhirnya saat ini memicu krisis poliitk, yang menimbulkan ketidakpercayaan masyarakat lagi terhadap rezim yang ada saat ini. 

Arim menyebutkan, krisis Sri Lanka cukup menarik untuk dibahas sebab kondisinya tidak jauh beda dengan yang menimpa Indonesia saat sekarang. “Kondisi krisis yang melanda Sri Lanka ini menarik saya kira untuk dibahas. Karena bisa kita tarik juga dengan situasi di Indonesia sekarang yang tidak jauh berbeda,” ujarnya.

Arim mengungkapkan bahwa krisis kali ini merupakan yang terburuk menimpa negara Sri Lanka sejak merdeka pada tahun 1948. Dari beberapa informasi yang ia dapatkan, penyebab krisis yang melanda negara tersebut adalah karena gagalnya membayar utang, terjadi kenaikan harga bahan pokok serta kelangkaan energi. 

Namun, menurut ekonom senior itu, harus dikaji mendalam lagi penyebab krisis yang terjadi di sana. Sebab seperti yang telah disampaikan oleh pemberitaan bahwa krisis sekarang yang terjadi di Sri Lanka adalah terburuk sepanjang negara itu merdeka. 

“Nah, tetapi kita harus lihat lebih mendalam lagi penyebab krisis ini. Walaupun tadi ya disebutkan hal-hal yang diberitakan penyebabnya. Karena krisis ini adalah krisis terbesar yang menimpa Sri Lanka sejak tahun 1948," tegasnya. 

Menurut pengamatannya dari berbagai informasi yang ada, bahwa sebenarnya ada beberapa penyebab dasar atau utama sebagai penyumbang krisis di Sri Lanka. 

Pertama, berdasarkan opini masyarakat di sana bahwa krisis tersebut terjadi karena negara salah urus dalam bidang ekonomi . Adapun yang sangat menonjol adalah terkait dengan proyek-proyek yang banyak terjadk korupsi dan nepotisme di dalamnya. Hal itulah yang menyebabkan eknomi dan pembangunan-pembangunan tidak tepat sasaran. Proyek juga berputar hanya untuk kepentingan kapitalis. 

Kedua, meskipun bukan termasuk akar masalah, namun tidak bisa diabaikan. Karena bisa mendorong terjadinya krisis ekonomi diberbagai negara termasuk Sri Lanka. Itulah  pandemi covid-19. 

Walaupun sudah hampir berlalu tetapi dua tahun menyebabkan kondisi yang sangat parah. Dan dampak yang sangat terasa bagi ekonomi  Sri Lanka adalah penurunan turis yang berkunjung ke sana. Kunjungan turis merupakan sumber devisa besar bagi Sri Lanka. 

Kemudian penyebab ketiga menurutnya adalah kebijakan utang yang dilakukan oleh pemerintah Sri Lanka. Sri Lanka kata Arim sama dengan negara-negara berkembang lainnya yang ekonominya tumbuh karena di-back up salah satunya dengan utang. 

“Kalau kita telusuri lagi sebenarnya itu hanyalah hasil atau buah dari sebuah kebijakan utang. Jadi, Sri lanka sama saya kira dengan negara-negara berkembang lainnya yang ekonominya tumbuh karena di-back up salah satunya dengan utang. Hingga menimbulkan dampak  kenaikan harga yang akhirnya berujung pada inflasi yang cukup tinggi,” jelas Arim Nasim. 

Kini, utang negara Sri Lanka sebutnya mencapai  U$ 51 milyar atau sekitar 732 triliun rupiah. Dan utang sebanyak itu diambil oleh Sri Lanka dari China sebesar  seperenam. Arim Nasim mengatakan bahwa karakteristik utang atau proyek-proyek dari China sangat sedikit dapat menggerakkan ekonomi masyarakat lokal. Karena biasanya China itu bukan hanya memberikan pinjaman, tetapi juga memaksakan tenaga kerjanya sampai urusan teknis pun biasanya disatu paketkan dengan utang atau proyek dari China. 

Utang kian menumpuk, sementara cadangan devisa terus menipis. Dua hal ini ungkapnya menjadi pemicu gagal bayar utang luar negeri Sri Lanka. Kebutuhan masyarakatnya tidak terpenuhi karenaa negaranya sudah tidak memiliki uang. 

“Ketika utang semakin menumpuk, sementara cadangan devisa menipis. April bulan lalu cadangan devisa yang dimilik Sri Lanka dikabarkan hanya skeitar U$ 1,94 miliyar   atau sekitar 28 triliun rupiah. Sementara untuk memenuhi kebutuhan dari luar negeri (import) membutuhkan sekitar U$ 4 miliyar. Inilah yang saya kira menjadi pemicu akhirnya gagal bayar. Banyak kebutuhan masyarakat tidak terpenuhi karena negara sudah tidak memiliki uang,” bebernya. 

Krisis Sri Lanka semakin melebar hingga menyentuh tatanan politik, yaitu munculnya ketidakpercayaan masyarakat lagi terhadap rezim yang memimpin Sri Lanka saat ini tutur Arim Nasim. Apalagi,  solusi yang diambil justru memperparah krisis ekonomi yang sedang terjadi yaitu, dengan menambah utang dari IMF.[] M. Siregar
Baca Juga

Post a Comment

0 Comments