Terbaru

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Konvoi Khilafah Dikriminalisasi, Sejarah di Masa Kolonial Berulang


TintaSiyasi.com -- Sejarawan Nicko Pandawa mengungkapkan bahwa kriminalisasi konvoi khilafah yang baru-baru ini oleh rezim bukanlah yang pertama, karena dalam catatan sejarah, hal serupa juga dilakukan oleh kolonial Belanda. 

“Ini adalah peristiwa sejarah yang berulang oleh sekelompok organisasi yang berbeda nama, tetapi polanya sama. Sementara yang mempermasalahkannya yaitu pihak pemerintah zaman kolonial,” katanya dalam Live Diskusi: Konvoi Khilafah Tempo Doeloe dan Sikap Rezim Kolonial di YouTube Khilafah Channel Reborn, Kamis (09/06/2022). 

Ia pun membeberkan peristiwa dimaksud di masa kolonial. Pertama, pada Juni 1915 di Surabaya. Saat itu, organisasi Sarekat Islam yang didirikan oleh HOS Cokroaminoto mengadakan pertemuan untuk mengumpulkan dana dari umat Islam di Surabaya yang akan digunakan untuk jihad bil mal dalam mendukung Khilafah Utsmaniah, pimpinan Khalifah Mehmed Rosyad V.  

Sarekat Islam kala itu, beber Nicko, bekerja sama dengan organisasi yang namanya Perkumpulan Bulan Sabit Merah Utsmani. Kemudian diadakan satu perhelatan besar di Surabaya dengan memajang foto Khalifah Mehmed Rosyad. 

“Nah, seorang penasihat pemerintah Belanda yang menggantikan Snouck Hurgronje, bernama Rinchest datang ke cara tersebut dan melihat poster Khalifah Mehmed Rosyad V itu dipajang besar-besar dan disebarkan,” ungkapnya. 

Nicko mengungkapkan, memungut sumbangan untuk dukungan Khilafah Utsmaniah yang dilakukan oleh Sarekat Islam baru persoalan aksi dalam ruang (indoor). Sementara aksi konvoi luar ruang (outdoor), ditemukan di Bandung, tepatnya di Jalan Braga pada tahun 1916, dan masih dalam suasana Perang Dunia I. 

Penyelenggaranya, kata Nicko, lagi-lagi adalah Sarekat Islam. Aksi dukungan untuk Khilafah Utsmaniah saat itu dilakukan dengan cara mengibar-ngibarkan bendera Khilafah di Braga. Dan tentu aksi tersebut mendapatkan penolakan dari polisi Hindia Belanda. 

Pascakhilafah Runtuh

Kemudian, tahun 1924 dan seterusnya pasca-Khilafah Utsmani runtuh, isu khilafah ramai lagi. “Dan dukungan terhadap khilafah dari Nusantara ditunjukkan di publik yang tentunya saat itu sangat menakutkan penjajah kolonial Belanda,” sebut Nicko. 

Sebab, runtuhnya khilafah, ungkapnya, adalah luka bagi umat Islam sedunia termasuk di Nusantara. Sehingga banyak yang memberikan respons terhadap runtuhnya khilafah di berbagai penjuru dunia. 

Jadi, bebernya, pascaruntuhnya khilafah mendapatkan respons dari umat Islam seluruh dunia karena menyisakan luka bagi umat Islam. Umat Islam di Nusantara pada tanggal 19-21 Mei tahun yang sama menyelenggarakan kongres di Garut untuk merespons cepat runtuhnya khilafah. 

“Kongres ini dihadiri oleh tokoh-tokoh terkenal yang menjadi rujukan organisasi Islam di Nusantara. Baik modern dan tradisional. Ada Cokroaminoto, ada Agus Salim, Haji Fakhruddin dari Muhammadiyah, ada dari organisasi Al- Irsyad, dan Kiai Wahab Hasbullah," jelas Nicko. 

Respons Dunia

Menurutnya, bukan hanya Turki yang memberikan respons terhadap runtuhnya khilafah di Istambul. Umat Islam lain yang ada di Albania, Damaskus, Libya, India, Al-Azhar, dan sebagainya juga turut merespons. Kemudian diselenggarakan Mu’tamar al Alam lil Khilafah, di Kairo. 

Kongres itu, ungkap Nicko, direspons oleh Cokroaminoto dengan mengeluarkan pernyataan bahwa seorang Muslim yang tidak mengindahkan dan tidak memperhatikan seruan dari Kairo, sungguh mati ruh keislamannya. 

“Cokroaminoto juga pernah mengeluarkan pidato, jika umat Islam tidak punya khalifah, maka ibarat badan tanpa kepala, seperti yang terjadi sekarang,” bebernya. 

Kongres Kairo disambut oleh para pemimpin ormas Islam di Nusantara di era kolonial tersebut dengan bersepakat untuk membuat satu organisasi yang memayungi seluruh ormas Islam di Nusantara, untuk satu kepentingan yaitu Central Committee Chilafat Hindia Timoer. 

"Para pemimpin lintas ormas Islam kala zaman kolonial, sepakat untuk membuat organisasi akbar yang memayungi seluruh organisasi Islam di seluruh Nusantara hanya untuk satu kepentingan, yaitu Central Committee Chilafat Hindia Timoer untuk menegakkan kembali khilafah. Awal-awal didirikan ada di Surabaya. Tetapi cabang-cabangnya ada di mana-mana, " tuturnya. 

Selanjutnya, para pemimpin ormas Islam yang tergabung dalam Central Committee Chilafat tersebut, menurut Nicko, mengadakan pawai-pawai akbar alias konvoi khilafah di berbagai kota. Seperti di Menes (Banten), kemudian Makassar, Garut, Sukabumi, Kalimantan yaitu Banjarmasin, serta Palembang di Sumatera. 

Sehingga, kata Nicko, saking ramainya konvoi khilafah yang terjadi di berbagai daerah zaman itu, kolonial Belanda tidak bisa berbuat apa pun. Cuma bisa memantau saja seperti bersikap toleransi terhadap konvoi khilafah umat Islam. Sebab jika Belanda represif, seketika bisa habis pemerintahan kolonial oleh para aktivis Islam saat itu dengan semangat mereka yang sedang membara. 

Konvoi khilafah yang tidak kalah besar terjadi di Cianjur. "CCC ini atau Central Committee Chilafat ini juga punya cabang-cabang di daerah. Nah seperti Cianjur, ada satu yang saya dapatkan dari Perpusnas, dimuat dalam Suara Perdamaian tahun 1926 disebutkan, cabang Cianjur berhasil mengadakan pawai akbar khilafah, konvoi khilafah dengan jumlah peserta 3000 orang," terangnya. 

Oleh karena itu, lanjut Nicko, organisasi pertama di Nusantara yang ingin mendirikan khilafah bukan Hizbut Tahrir, bukan Khilafatul Muslimin, bukan FPI. 

"Kalau bicara yang pertama itu boleh dikatakan adalah CCC (Central Comittee Chilafat). Ini yang harus dipahami. Inilah organisasi pertama zaman kolonial yang ingin menegakkan kembali khilafah,” tegasnya. 

Bahkan enggak tanggung-tanggung, ungkapnya, mereka sanggup mengirim perwakilan untuk dikirim ke Kairo untuk rapat persoalan khilafah. Dari Sarekat Islam, ada Muhammadiyah, dari Wahab Hasbullah yang nantinya mendirikan NU ikut Internasional Khilafah Congress

“Mereka ini ulama Nusantara yang tidak pernah mengatakan khilafah tertolak bahkan mereka sendiri mendukung khilafah,” sebutnya.  

Sikap Kolonial

Terkait dengan sikap pemerintah kolonial terhadap khilafah dan perjuangan menegakannya, menurut Nicko, sesuai dengan keterangan yang ditulis oleh Snouck Hurgronje dalam salah satu artikelnya yang menyatakan, "Apa pun atau siapa pun yang dapat menghentikan kepopuleran khalifah, patut diberi penghargaan setinggi-tingginya."

“Jadi memang polanya dari dulu sudah begitu. Khilafah dan jihad ini adalah hal yang mengancam dan sudah diakui rezim kolonial,” bebernya. 

Ia juga menyebut rezim kolonial sepakat antikhilafah. “Dan Orang-orang yang antikhilafah ya rezim kolonial. Jadi ya, rezim kolonial baik itu Prancis, Inggris, dan Belanda itu satu mufakat yaitu anti khilafah dan jihad. Jadi kalau ada pemerintah hari ini yang merasa sama-sama terancam oleh khilafah dan jihad padahal ini adalah ajaran Islam yang mulia, ya choose by your own (pilih sendiri). Kalian mau disamakan dengan rezim kolonial atau tidak, begitu. Hehehe, " pungkasnya.[] M. Siregar 
Baca Juga

Post a Comment

0 Comments