Terbaru

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Blok Migas Dikuasai Asing, Analis PKAD: Rentan secara Politik dan Geostrategis

 


TintaSiyasi.com -- Analis Senior Pusat Kajian dan Analisis Data (PKAD) Fajar Kurniawan mengungkapkan, jika blok migas  Indonesia dikuasai oleh asing, maka akan rentan secara politik dan geostrategis.

"Akibatnya kita dalam beberapa hal itu bisa rentan secara politik dan geostrategi, karena migas itu sebagai salah satu sumber energi yang sangat strategis," tuturnya kepada TintaSiyasi.com, Jumat (24/06/2022). 

Fajar mencontohkan kasus perang Rusia dan Ukraina, "Rusia memanfaatkan migas itu sebagai salah satu senjata untuk melawan hegemoni yang telah dilakukan oleh Barat terhadap Rusia. Kalau Barat bisa menekan Rusia untuk tidak melakukan transaksi, ya tidak apa-apa, tetapi Barat tidak akan mendapatkan pasokan migas dari Rusia," ulasnya. 

"Jadi migas bisa menjadi alat diplomasi, alat negosiasi, dalam pertempuran sekalipun dalam perang," tandasnya. 

Celakanya menurut Fajar, kalau kemudian minyak-minyak Indonesia itu dikuasai oleh swasta asing, maka Indonesia tidak punya privileged. Karenanya, Indonesia tidak bisa menggunakan migas sebagai bagian bahan untuk negosiasi. 

Lebih parah lagi kata Fajar, manakala Indonesia membutuhkan pasokan migas yang lebih, maka tidak bisa serta-merta menekan pihak swasta yang telah menguasai blok-blok minyak. "Mungkin ada skema Domestic Market Obligation (DMO), artinya ada kewajiban dari seluruh pengelola untuk mendahulukan atau memenuhi kebutuhan dalam negeri Indonesia. 

"Namun tetap tidak bisa menguasai sepenuhnya, tidak punya kontrol dan kuasa terhadap pengusahaan, mengatur eksplorasi, dan eksploitasi sumber-sumber migas yang ada di wilayah kita," terangnya. 

Fajar melanjutkan, para swasta juga punya hak untuk menjual minyak kepada siapa saja yang dikehendaki, yang memberikan harga lebih tinggi, tentu para swasta akan lari ke sana. Ini yang secara dampak sudah rakyat rasakan saat ini. Minyak yang dikelola oleh perusahaan-perusahaan Asing banyak juga yang diekspor, termasuk gas, padahal sekarang ini Indonesia sedang defisit minyak. 

"Akhirnya yang terjadi, Pertamina sebagai pihak yang diberikan mandat oleh negara untuk menyediakan bahan bakar minyak (BBM) harus mengimpor, membeli minyak dari pasar internasional, dan bisa jadi minyak yang dibeli itu adalah minyak-minyak dari Indonesia, yang sudah di jual di pasar internasional. Kalau sudah begitu, maka kita harus membeli dengan harga internasional," bebernya. 

Fajar mengatakan itulah yang  membuat keuangan Pertamina berdarah-darah. Karena banyak juga minyak mentah yang Pertamina harus beli, walaupun harganya tinggi untuk menutup defisit antara supply and demand minyak di Indonesia. 

"Ini akibat yang paling absurd dan celakanya yang harus menanggung adalah rakyat Indonesia," cetusnya. 

Fajar mengatakan, ini sudah ada wacana bahkan sudah dieksekusi, misalkan untuk Pertamax harga dinaikkan Rp12.000. Rakyat dipaksa untuk pindah ke sana, mungkin pertalite sebentar lagi juga dihilangkan dari pasaran sebagaimana juga mengikuti proses hilangnya premium dari pasaran. 

Menurutnya, memang tidak dinaikkan, tetapi dibuatlah langka di pasaran. Kemudian rakyat menjadi jengah dan kemudian berpindah ke BBM yang lebih tinggi. Kalau sekarang Pertalite sebagai salah satu BBM yang harganya masih relatif terjangkau oleh masyarakat kemudian nanti juga akan 'dihilangkan' dari pasaran, maka pilihannya adalah Pertamax. Pertamax itu harganya hampir dua kali lipat dari Pertalite. 

"Ini kan memberatkan. Pada akhirnya rakyat lagi yang terkena dampaknya dan rakyat pula yang akan dirugikan," pungkasnya.[] Faizah

Baca Juga

Post a Comment

0 Comments