TintaSiyasi.com -- Menanggapi pernyataan Rektor Institut Teknologi Kalimantan (ITK) Prof. Ir. Budi Santoso Purwokartiko, Ph.D. di status media sosialnya dengan menyebut mahasiswi yang menutup kepala seperti manusia gurun, Ahli Hukum dan Masyarakat Prof. Suteki, S.H., M.H. mengatakan guru besar berotak kecil tampaknya akan terus ada, kemarin, kini, dan coming soon ketika tidak memiliki sense of crisis, karena sudah merasa enak di zona nyaman (comfort zone).
"Guru besar berotak kecil tampaknya akan terus ada, kemarin, kini, dan coming soon, ketika sang gubes tidak memiliki sense of crisis karena sudah merasa enak di zona nyaman (comfort zone) dengan cara menikmati jabatan yang disandangnya," bebernya kepada TintaSiyasi.com, Selasa (03/05/2022).
Ia menambahkan, guru besar yang berotak kecil tidak akan menjadi guru bangsa, bahkan ia akan menjadi Guru Besar Hanya Nama (GBHN).
"Dengan otak kecil tidak akan membantunya menjadi the agent of change, baik dalam keilmuan di universitasnya, ataupun di kehidupan politik bangsanya," imbuhnya.
Prof. Suteki membeberkan bahwa otak pada guru besar bisa berubah menjadi kecil dilihat dari lemah analisisnya, diksinya tidak tajam, lidahnya kelu jika bicara kebenaran dan keadilan. Bahkan mudah baperan, sehingga mudah ngegas hanya karena bergabung dengan rezim penguasa.
Namun, ia berharap otak guru besar Budi Santosa Purwokartiko tidak menjadi kecil sebagaimana dugaan banyak orang.
"Sebagai seorang guru besar yang beragama Islam, saya merasa sedih, rasisme, dan xenofobia tampaknya telah masuk ke ruang akademis, bahkan kalimat jahat itu keluar dari ketikan jari rektor," beber dia.
Menurutnya, pernyataan Prof. Budi Santosa Purwokartiko yang telah merendahkan muslimah berhijab dan taat seolah kalah jauh dan tertinggal, termasuk ke dalam islamofobia.
"Saya kira hal itu sungguh aneh, bagaimana seorang rektor bisa sangat 'kurang paham' dalam menarasikan pemikiran dan perasaannya. Apakah dia tidak membaca dan memahami apa tujuan pendidikan nasional kita (UU Sisdiknas), pendidikan tinggi kita (UU PT). Semua menyebutkan bahwa pendidikan nasional kita tidak hanya mengejar IQ, EQ, bahkan SQ. Yaitu menghasilkan peserta didik yang bukan hanya pintar dalam nalarnya tetapi juga beriman dan bertakwa," tegasnya.
Islamofobia
“Jika Prof. Budi membaca UUD NKRI 1945 dan UU HAM, pasti yang keluar dari pemikiran dan perasaannya tidak mungkin mendiskreditkan salah satu suku, ras, aliran, dan agama dengan segala atribut yang dimilikinya, apakah pakaian, bendera, bahasa, dan geografinya,” terangnya.
Karena hal tersebut dinilai ahli hukum dan masyarakat tersebut bertentangan dengan upaya penghapusan diskriminasi atas ras dan etnik. Menurut Pasal 4 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis di atur mengenai tindakan yang dimaksud diskriminatif.
“Tindakan diskriminatif ras dan etnis berupa, pertama, memperlakukan pembedaan, pengecualian, pembatasan, atau pemilihan berdasarkan pada ras dan etnis, yang mengakibatkan pencabutan atau pengurangan pengakuan, perolehan, atau pelaksanaan hak asasi manusia dan kebebasan dasar dalam suatu kesetaraan di bidang sipil, politik, ekonomi, sosial, dan budaya; atau yang kedua, menunjukkan kebencian atau rasa benci kepada orang, karena perbedaan ras dan etnis yang berupa perbuatan,” paparnya.
Prof. Suteki memberikan contohnya, membuat tulisan atau gambar untuk ditempatkan, ditempelkan, atau disebarluaskan di tempat umum atau tempat lainnya yang dapat dilihat atau dibaca oleh orang lain. “Berpidato, mengungkapkan, atau melontarkan kata-kata tertentu di tempat umum atau tempat lainnya yang dapat didengar orang lain,” imbuhnya.
"Aneh, apabila sebaliknya yang dinarasikan justru yang mengindikasikan profesor ini mengalami islamofobia yang seharusnya diberantas. Sebagaimana Amerika pun yang dahulu menderita islamofobia akut, namun PBB telah menerbitkan kebijakan untuk memerangi antiislamofobia," jelasnya.
Ia menilai, ada latar belakang yang telah menjadi faktor lahirnya akademisi seperti Prof. Budi Santosa, yaitu karena kompleksitas lingkungan dan kepentingan serta misi yang diusung. Lingkungan keluarga, pendidikan, dan masyarakat serta kantornya.
"Ia hidup seperti katak dalam tempurung, lalu keluar pun ke kolam katak yang keruh. Lingkungan pendidikan juga demikian, dia mungkin dikelilingi teman-teman yang hanya mengejar dan bersaing soal score tanpa core value, khususnya nilai spiritual. Hidupnya sangat hedonis, sekuler, dan berorientasi jangka pendek. Hanya dunia fana tidak memikirkan tentang tujuan hidup sesungguhnya," pungkasnya.[] Heni
0 Comments