Terbaru

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Puasanya Pelaku Riba Sah, tetapi Pahalanya Hilang


TintaSiyasi.com -- Menjawab pertanyaan batalkah puasa orang yang melakukan transaksi ribawi, Ahli Fiqih Islam Kiai Shiddiq Al Jawi, S.Si., M.Si. menyatakan bahwa puasanya orang yang melakukan transaksi riba tetap sah dan tidak batal, tetapi pahala puasanya telah hilang karena dihapuskan oleh dosa besar yang dilakukannya.

“Kesimpulannya, puasanya orang yang melakukan transaksi riba tetap sah dan tidak batal, tetapi pahala puasanya telah hilang karena dihapuskan oleh dosa besar yang dilakukannya,” bayannya dalam Kajian Soal Jawab Fiqih: Batalkah Puasa Orang yang Melakukan Transaksi Riba? di kanal Ngaji Shubuh, Kamis (14/04/2022).

Kiai Shiddiq memaparkan penjelasan ulama Muhammad Sulaiman Nashrullah Al Farra` di dalam kitab Al Tsalatsuuna Hadiitsan Al Ramadhaaniyyah halaman 43-44, terkait persoalan tersebut bahwa para ulama berbeda pendapat mengenai batal tidaknya puasa orang yang melakukan dosa-dosa besar (al kabaa`ir).

“Seperti menggunjing orang lain (gibah), memberikan kesaksian palsu (qaul az zuur), terlibat dalam suap menyuap (risywah), termasuk melakukan transaksi ribawi, seperti pegawai bank yang melayani transaksi riba, nasabah yang mengambil kredit berbunga dari bank, dan sebagainya,” bebernya.

Menyitat pandangan ulama Mahmud Abdul Lathif ‘Uwaidhah di dalam kitab Al Jami’ li Ahkam al Shiyam halaman 248, sebagian ulama seperti Imam Al Auza’i dan Imam Ibnu Hazm berpendapat bahwa puasanya orang yang melakukan dosa besar adalah batal dan wajib diqada. Itu juga satu versi pendapat dari ‘Aisyah ra.  

“Imam Al Auza’i berkata, ‘Puasa orang yang melakukan gibah adalah batal dan wajib diqada (yabthulu al shaumu bi al ghiibah wa yajibu qadha`uhu).’,” nukilnya dari Imam Nawawi dalam Al Majmu’, VI/398.

Lebih lanjut, ia menukil dari Imam Ibnu Hazm yang termaktub dalam kitab Al Muhalla, IV/306, “Maka barang siapa yang mengerjakan sesuatu dari yang demikian itu (dosa besar) secara sengaja dan ingat akan puasanya, berarti dia tidak berpuasa sebagaimana diperintahkan. Dan barangsiapa yang tidak berpuasa sebagaimana diperintahkan, berarti dia tidak berpuasa.” 

“Dalil batalnya puasa pelaku dosa besar menurut sebagian ulama tersebut antara lain hadis Nabi ï·º, ‘Barangsiapa siapa yang tidak meninggalkan perkataan dusta (qaul az zuur), tidak meninggalkan beramal dengan kesaksian palsu, dan yang tidak meninggalkan perbuatan bodoh (al jahl) (berbuat zalim dsb), maka Allah ï·» tidak membutuhkan orang yang meninggalkan makanan dan minumannya itu.’,” ujarnya menyebutkan hadis riwayat Bukhari nomor 6057. 

Imam Ibnu Hazm berhujah di dalam kitab Al Muhalla, IV/306 dengan hadis tersebut mengatakan, “Allah tidak meridhai puasanya orang yang demikian itu, dan tidak menerima puasanya. Dan jika Allah tidak meridhai puasanya dan tidak menerima puasanya, berarti puasanya batal dan gugur (laa yardha shaumahu dzalika wa laa yataqabbaluhu, wa idza lam yardhahu walaa qabilahu fahuwa baathilun saaqithun).”

“Namun, pendapat yang rajih (lebih kuat) adalah pendapat jumhur ulama yang berpendapat bahwa dosa-dosa besar (al kabaa`ir) tidak termasuk hal-hal yang membatalkan puasa (mufaththirat al shaum) dan mewajibkan qada, tetapi termasuk hal-hal yang menghapuskan pahala puasa (mudzhibaat ajri al shaum),” sebutnya. 

Kiai Shiddiq menguatkan penjelasannya dengan mengutip perkataan Imam Ahmad yang dijelaskan oleh ulama Mahmud Abdul Lathif ‘Uwaidhah di dalam kitab Al Jami’ li Ahkam al Shiyam halaman 248, ”Siapa di antara kita yang tidak melakukan gibah? Kalau sekiranya gibah termasuk yang membatalkan puasa, niscaya tak ada dari kita yang sah berpuasa.” 

“Jadi, puasa pelaku dosa besar tetap sah, hanya saja tidak mendapat pahala apa-apa di sisi Allah. Dalilnya adalah hadis yang diriwayatkan Abu Hurairah ra bahwa Rasulullah ï·º telah bersabda, ‘Betapa banyak orang yang berpuasa tetapi bagiannya hanyalah haus saja, dan betapa banyak orang yang melakukan shalat malam (qiyam al lail) tapi bagiannya hanyalah begadang (al sahr) saja.’ Hadis riwayat Ibnu Khuzaimah di dalam Shahih Ibnu Khuzamah nomor 1997,” paparnya. 

“Menurut ulama Muhammad Sulaiman Nashrullah Al Farra` di dalam kitab Al Tsalatsuuna Hadiitsan Al Ramadhaaniyyah halaman 44, hadis ini bermakna bahwa betapa banyak orang yang tidak mendapat pahala puasa (tsawab al shiyam) dan pahala shalat malam (tsawab qiyam al lail), dikarenakan pahalanya telah dihapuskan oleh dosa-dosa besar yang dilakukannya,” tandasnya.[] Reni Tri Yuli Setiawati
Baca Juga

Post a Comment

0 Comments