TintaSiyasi.com -- Polemik dibolehkannya keturunan PKI masuk menjadi anggota TNI (Tentara Nasional Indonesia) ditanggapi Pakar Hukum dan Masyarakat Prof. Dr. Suteki S.H., M,Hum. bahwa hal itu bagian dari moderasi komunisme.
“Pada kebijakan yang dulu, penyebaran paham ideologi komunisme, termasuk PKI (Partai Komunis Indonesia), di dalam Undang-Undang Pemilu dibatasi terutama untuk dipilih menjadi anggota DPR (Dewan Perwakilan Rakyat) atau DPRD (Dewan Perwakilan Rakyat Daerah), kemudian ada keputusan MK (Mahkamah Konstitusi) yang membolehkan itu, salah satunya bentuk moderasi komunisme,” tuturnya dalam Diskusi Publik yang bertajuk Bahaya Keturunan PKI Masuk AnggotaTNI, Ini Moderasi Komunisme, Kamis (31/03/2022) di channel Prof. Suteki.
Prof. Suteki menyesalkan, di sisi lain umat Islam selalu dikaitkan dengan permasalahan pemberontakan dan aksi terorisme. Akhirnya radikalisme diarahkan ke Islam
Lebih lanjut, ia mengkhawatirkan, jika ada PKI di tubuh TNI, kejadian masa lalu akan terulang kembali. Masa lalu partai komunis pernah mengejawantah ke dalam PKI dan telah memiliki bukti melakukan makar, baik terhadap Pancasila maupun kekuasaan pemerintah.
“Bangsa yang besar tidak pernah mengabaikan sejarah, bahkan ahli strategi militer Israel Moshe Dayan mengatakan, suatu bangsa tidak akan bisa bangkit kembali jika tidak peduli dengan sejarahnya. Terbukti secara historis dan ini sah. Namun, ada upaya untuk melunakkan atau membuat seolah-olah pengaburan revolusioner PKI itu,” ujarnya.
Ia mengungkapkan, ada potensi PKI bangkit kembali melalui kebijakan yang mungkin secara langsung tidak disadari. “Itu merupakan keputusan yang memoderasi revolusioner komunisme,” tegasnya.
“Kita sadar betul ideologi itu tidak pernah mati, maka kita perlu waspada sebagai bangsa yang religious. Kita sudah yakin bahwa komunisme itu bertentangan dengan ajaran Islam, apakah kita akan terus memberikan ruang?” tanya dia.
Prof. Suteki mejelaskan, PKI dengan moderasi sangat berkaitan. Moderasi itu sebagai pemahaman sisi yang berlawanan dari radikalisasi. “Moderasi adalah proses melunakkan keradikalan suatu pemikiran. Bisa melalui sikap atau Tindakan dan melalui berbagai cara narasi ataupun keputusan kongkrit,” ungkapnya.
“Komunisme itu disebut paham yang radikal, revolusioner, dan keradikalannya sudah dibuktikan. Adanya pemberontakan di tahun 1965 melalui G 30 S/PKI yang banyak memakan korban. Belakangan sepanjang era reformasi ada upaya untuk melakukan moderasi, melunakkan seolah-olah komunis sudah tidak radikal,” bebernya.
Ia menanyakan, mengapa hari ini yang menjadi musuh adalah Islam, sementara komunisme diberikan moderasi. Jika ditelusuri ke belakang, itu adalah fobia yang di desain Barat sejak dulu terhadap Islam. Bagaimana Barat itu dendam akibat berseteru dengan Kekhalifahan Turki Utsmani tahun 1924 dan itu tidak bisa dilepaskan dari masa lalu itu.
“Indonesia termasuk negara bentukan negara bangsa yang notabene di bawah rezim demokrasi, di situ tetap diusung arus besar sebagai fobia terhadap Islam oleh Barat,” jelasnya.
Prof Suteki menuturkan kembali, dari segi historis terkesan umat Islam dikaitkan dengan permasalahan pemberontakan seperti DII/TII dan aksi terorisme. Sementara, oleh penguasa dikembangkan sebuah teori bahwa terorisme itu berasal dari radikalisme, akhirnya radikalisme di arahkan ke Islam.
“Sementara kalau lebih cermat lagi, radikalisme itu absurd dan lentur tergantung siapa yang akan menggunakan. Sebenarnya musuh kita adalah komunisme dan segala penjawantahannya, bukan Islam dengan segala ajarannya. Tetapi Islam sudah disematkan radikal, teroris, seakan sudah tidak ada celah lagi umat Islam untuk mengelak,” tandasnya.[] Riana
0 Comments